.
Fotonya buat Ran lihat kalo Ran mau ngobrol sama ayah, karena ayah gak pernah mau ngobrol sama Ran.
“Kamu foto saya?” tanya Johnny yang menyadari bahwa Ran sedang memfoto dirinya.
“M-maaf ayah,” lirih Ran pelan.
“Panggil abang-abang kamu buat sarapan,” suruh Johnny.
Ran menghela nafas lega mendengar ayah tidak memarahinya.
Ran dengan segera berlari untuk memanggil kedua abangnya untuk sarapan.
Tok tok
“Bang Raka dipanggil ayah buat sarapan,” panggil Ran seraya mengetuk pintu.
“Iya Ran bentar,” sahut Maraka.
Maraka membukakan pintu kamarnya. “Wih udah siap aja nih adeknya abang, padahal masih pagi banget,” ucap Maraka ke Ran.
Ran tersenyum mendengar hal itu. “Iya dong bang!”
“Abang tau gak, tadi Ran sempet foto ayah, tapi ketahuan, tapi anehnya ayah enggak marah loh,” bisik Ran pelan agar tidak terdengar oleh Johnny.
Maraka tertawa kecil lalu mengusap lembut kepala Ran. “Memang buat apa fotonya?”
“Fotonya buat Ran lihat kalo Ran mau ngobrol sama ayah, karena ayah gak pernah mau ngobrol sama Ran,” jawab Ran tenang dengan senyum yang tak luntur.
Berbeda dengan Ran, justru Maraka yang tadinya tersenyum kini melunturkan senyumannya mendengar jawaban dari Ran.
Ia merasa kasihan dan juga merasa bersalah.
“Abang gih ke dapur, Ran mau ke kamar bang Hazel dulu,” ucap Ran membuat Maraka tersadar.
“Iya Ran,” jawabnya.
Ran melangkahkan kakinya menuju kamar Hazel yang berada di sebelah kamar Maraka.
Dari tadi Ran tidak melunturkan senyumannya, ia merasa sangat senang pagi ini karena Johnny bersikap sedikit baik kepada dirinya.
Tok tok
“Do you wanna build a snowman.” Ran mengetuk pintu kamar Hazel seraya bernyanyi.
Hazel keluar dari kamarnya, sama seperti Maraka, Hazel juga sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Bang ditunggu ayah tuh di dapur, kita sarapan bareng-bareng,” seru Ran bersemangat.
“Hm.”
“Ha ha ha, abang kayak Nisa Sabyan.”
Bukannya menjawab, Hazel melangkahkan kakinya melewati Ran. Tidak mau ambil pusing, Ran mengikuti Hazel dari belakang dengan langkah yang gembira.
Kini mereka semua sudah berkumpul di meja makan, tidak berhenti-henti Ran berseru ketika memandang makanan yang ada di atas meja.
Ini bukan yang pertama kali Johnny masak untuk anak-anaknya, namun moment ini sangat jarang terjadi. Bahkan bisa dihitung dengan jari.
“Tunggu apa lagi, cepat di makan,” perintah Johnny.
“Selamat makan ayah.” Ucap ketiga anaknya dengan serentak.
Tidak ada satupun suara yang keluar dari mulut mereka, hanya ada suara sendok yang bersentuhan dengan piring.
Selesai makan satu persatu dari mereka meninggalkan dapur, di mulai dari Johnny lalu Maraka. Kini tinggal Hazel dan juga Ran di sana.
“Nih,” kata Hazel seraya meletakkan sesuatu di atas meja.
Coklat! Coklat yang harus dibawa Ran hari ini.
“Cuman bisa beli yang kecil, gue harus hemat. Gak apa-apa kan?”
Ran mengangguk dengan sangat kuat. “Gak apa-apa banget abang! Terima kasih banyak ya!” ucapnya dengan semangat.
“Hm.” Hazel melangkah pergi meninggalkan Ran sendirian di dapur.
Ran tersenyum dengan sangat lebar memandang coklat yang diberikan Hazel tadi.
“Setidaknya Ran punya pegangan biar gak dimarahin kakak osis nanti!”