.
“Gimana dok? Embun bisa buktiin kan, bahwa Embun bisa bertahan, Embun bakalan buktiin kalo dokter salah diagnosis, itu biasa terjadi kan?” Kata Embun bangga atas perjuangannya selama ini.
Dokter Keenan yang sudah sangat menghadapi keras kepalanya Embun, kini tidak bisa lagi berkata-kata.
“Tapi ada baiknya kamu dirawat untuk gangguan kanker dan radiaksi Embun,” sahut dokter Keenan pasrah.
Embun menggelengkan kepalanya, dan yakin bahwa dirinya baik-baik saja.
“Dengan vitamin dan juga obat dari dokter, Embun bakalan baik-baik saja sampai 5 tahun kedepan,” tolak Embun.
Dokter Keenan menghela nafas, kini ia sungguh sudah pasrah dengan Embun.
“Yang saya lakukan semuanya hanya untuk kebaikan kamu Embun.”
“Embun takut dok, Galaxy masih kecil, Embun masih kuat sampe nanti Galaxy sudah bisa mengenal dunia.” Dari hati kecil Embun, dia tau bahwa apa yang didiagnosa oleh dokter itu benar, dan ia mengalami gejala-gejala yang pernah dibilang oleh dokter, namun ia tetap menahannya. Ia masih ingin merawat Galaxy dengan tangannya sendiri.
Embun keluar dari ruangan dokter Keenan dengan perasaan bahagia, walaupun ia harus berdebat kecil dengan dokter Keenan, lagi-lagi ia menang atas perdebatan itu.
Di perjalanan, tak sengaja Embun melihat seseorang yang ia kenal memasuki ruangan dokter Tristan.
Orang itu adalah Bella, sahabat Jonathan mantan suaminya.
“Apa Bella hamil?” Monolog Embun. “Hamil anaknya Jonathan?” Sambungnya dengan nada kecil, dada Embun tiba-tiba saja merasa sakit tidak seperti biasanya.
“Hufftt ayolah Embun, ikhlasin.”
“Hayoloh abang mau kemana.” Sandy sedang becanda dengan Galaxy.
Layaknya ayah dan anak, Galaxy sama sekali tidak takut dengan Sandy. Malah dirinya lebih banyak tertawa dengan Sandy dibandingkan dengan Embun.
“Sini-sini anak om papa, jangan jauh-jauh,” ucap Sandy seraya meraih Galaxy yang kini sedikit demi sedikit bisa merangkak.
Sandy menggendong bayi kecilnya itu, lalu ia mengangkat Galaxy tinggi-tinggi.
Galaxy tidak takut, malah ia sangat senang. Melihat ekspresi senang Galaxy, Sandy berinisiatif melempar Galaxy ke atas, tentu saja dengan pelan, ia tidak akan menyakiti bayi kecil kesayangannya itu.
“Ihhh kak!” Seru Embun yang baru saja tiba di apartemennya. “Jangan dilempar-lempar!” Bentak Embun yang tadi melihat aksi Sandy.
Bukannya merasa bersalah Sandy malah tertawa bersama dengan Galaxy. “Bunda galak ya nak,” kata Sandy berbicara dengan Galaxy.
Bayi kecil itu seakan-akan mengerti apa yang diucapkan oleh Sandy, ia tertawa dengan keras.
“Ihhh kok malah diketawain bundanya!” Rengek Embun tidak terima.
Embun menghampiri Galaxy dan juga Sandy, ia mengecup pipi gembul Galaxy yang dipenuhi dengan air liurnya.
“Maaf ya bunda pulangnya lama, gemessss banget anak bunda.”
“Aku?” Tanya Sandy.
Fokus Embun yang tadi ke Galaxy kini beralih ke Sandy. “Aku?”
“Cium juga,” pinta Sandy tak mau kalah dengan Galaxy.
“Ihhh gamau, wleeek,” ejek Embun.
“Yaudah aku aja yang cium,” sahut Sandy tiba-tiba mendekati wajah Embun.
Refleks Embun menjauh, dan segera meraih Galaxy yang ada di gendongan Sandy.
“Masih ada abang ih!” Protes Embun.
“Yaudah mau juga.”
“Yaudah sini,” jawab Embun mengalah.
Ia segera berjinjit hendak mengecup pipi kanan Sandy. Namun tiba-tiba saja Sandy mengalihkan pandangannya.
Cup
Yang tadinya sasaran Embun adalah pipi Sandy, kini bibir Embun malah mendarat di bibir Sandy.
Dengan cepat Embun menjauh dari Sandy, merasa kesal karena telah dikerjain.
“Ihh kak!”
Sandy tertawa penuh kemenangan, ia senang bukan karena ciuman itu, namun karena berhasil menggoda Embun dan melihat wajah Embun memerah.
“Udah ah! Nyebelin, Embun mau bobo siang aja sama abang,” kesal Embun seraya melangkahkan kakinya menuju kamar.
Sandy tidak berhenti tertawa melihat tingkah Embun yang sedang malu.
Kini Sandy seorang diri di ruang tengah. Ia tidak pernah masuk ke kamar Embun, walaupun Embun dan dirinya sudah dekat. Kecuali Embun menyuruhnya untuk membantu mengurus Galaxy.
Tiba-tiba saja mata Sandy beralih ke handphonenya yang berbunyi. Sebuah panggilan dari Ocha.
“Abang udah tidur,” kata Embun yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya.
Dengan cepat Sandy mematikan panggilan masuk di handphonenya.
“Sini,” jawab Sandy seraya merentangkan kedua tangannya.