good luck

Aku sudah mendengar ketukan di jendela beberapa kali, awalnya aku biasa saja, tapi setelah lima menit aku ketakutan, apalagi ini sudah begitu larut.

Tapi ternyata ketakutan itu harus aku ubah menjadi kekesalan, ternyata itu Rayna. Ada apa gadis itu mengetuk jendela kamar seorang pria malam-malam.

Daripada dia ngamuk aku pun beranjak untuk membukakan jendela kamarku.

Tidak terduga Rayna langsung manjat dan masuk ke dalam kamarku. Aku terbelalak kaget tentu saja.

“Udah lihat barang-barang punya, lo?” Tanyanya to the point'.

Aku masih terdiam di tempat, karena masih terkejut dengan tingkah Rayna.

“Woi.” Rayna menjentikkan jarinya di depan wajahku.

“Ya, udah.” Aku menjawab asal-asalan, soalnya aku juga belum mengerti apa yang dia tanya.

“Bagus. Gue cuman mau bilang, apapun yang lo pelajari besok di sekolah ... .”

Ah, ternyata sekolah, dan aku sekarang mengerti barang-barang yang dimaksud adalah perlengkapan sekolah yang kini ada di atas kasur ku.

“Jangan pernah dilupain,” sambungnya sembari menunjuk kepalanya menggunakan telunjuk kanannya.

Aku menghela napas panjang sambil melangkahkan kaki dan duduk di atas kasurku. Aku meraih name tag yang bertuliskan nama ku Azel Khaisan Adhitama.

“Tanpa lo bilang juga gue bakalan ngelakuin hal itu.”

Rayna tiba-tiba saja duduk di sampingku, di atas kasurku tentu saja.

“Bagus, jangan main-main.”

“Ya ... Ya ... .”

Aku teringat akan satu hal, segera aku membalikkan tubuhku dan meraih sebuah berkas di sana.

“Apa yang dipelajari di sekolah bisnis dan manajemen?” Tanyaku, tentang sekolah baru yang akan aku datangi besok. Anehnya itu bukan sekolah biasa, yang seperti sebelumnya, melainkan sekolah bisnis dan manajemen.

Rayna terdiam sejenak, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Kearsipan, kewirausahaan, administrasi perkantoran, keuangan, semuanya tentang bisnis management, dah,” jawab Rayna.

Aku sedikit ragu dengan jawabannya. Tapi juga sedikit percaya.

“Hal dasar yang harus lo rubah, Zel.”

Aneh, ini pertama kalinya dia menyebutkan namaku.

“Tata krama dasar, semua tata krama etika lo harus ingat di luar kepala. Semuanya, manner dalam berbicara, berpakaian, makan, lo harus rubah dari apapun yang lo pernah lakuin di panti asuhan.”

Dari cara Rayna berbicara sepertinya dia sedang memperingati aku, tapi kenapa?

“Ok.”

“Lo—”

Sebelum Rayna melanjutkan ucapannya, suara ketukan pintu terdengar dengan jelas.

Rayna dengan cepat beranjak dari sana, bahkan dia tidak pamit kepadaku, dan langsung keluar dari jendela. Tanpa menunggu lagi aku segera membukakan pintu, ternyata itu Mama.

“Selamat malam, Ma,” sapa ku dengan begitu ramah.

Mama tersenyum entah mengapa rasanya sangat nyaman.

“Belum tidur, ya, Mama kira sudah. Kenapa?”

“Gatau, Ma, aneh aja,” jawabku.

Mama mengangguk seakan paham dengan yang aku rasakan.

“Mama cuman mau ngecek kamu aja, sayangnya Papa masih kerja di ruangannya. Ya, sudah, tidur, ya? Besok, 'kan, harus sekolah. Biar enggak terlambat.”

“Iya, Ma.”

“Besok diantar sama supir, ya?”

“Supir?” Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulutku.

“Iya, memang kenapa?”

“Tidak, Ma. Kalau begitu Azel izin tidur, ya, Ma. Selamat malam.”

Setelah berpamitan dengan Mama, aku kembali menutup pintu kamarku. Aneh, tapi tidak aneh juga. Dulu Rainan pernah bilang kalau diadopsi akan menyenangkan, bukan? Dapat kasih sayang dan bahkan diantar ke sekolah.

Aku segera menggelengkan kepala, apa yang aku pikirkan, sekarang aku sudah kelas dua SMA, berharap diantar dan dibuatkan bekal? Balik ke sekolah dasar saja.

Aku pun melangkah untuk menutup gorden jendela. Aku terkejut untuk kesekian kalinya, karena ternyata Rayna masih di sana.

“Good luck.” Kira-kira itu yang dia ucapkan, karena aku pun tidak bisa dengar dengan jelas.

Good luck untuk apa? Aku semakin penasaran, apa yang akan aku hadapi setelah ini.