Hurt
Perlahan gue membuka pintu kamar Johnny. Pintunya enggak di kunci.
Gue menghela nafas kasar. “Ayo bisa bell,” monolog gue meyakinkan diri.
Ceklek
Ketika gue berhasil membuka pintu kamar Johnny, begitu terkejutnya gue melihat keadaan Johnny yang bener-bener memprihatinkan.
“Stop it !” Teriak gue.
Gue ngelihat Johnny berusaha menyakiti dirinya menggunakan pecahan kaca botol wine.
Suara yang ia dengar tadi kemungkinan besar berasal dari botol wine itu.
Gue berlari ke arah dia, Johnny sedikit terkejut dengan kedatangan gue. Gue udah gak peduli kalo habis ini gue bakal di pecat karena memasuki privasi bos gue.
“Lo bodoh ya? Kalo ada masalah itu ya di selesaikan bukan begini!” Teriak gue menasihati dia. “Bukan mengakhiri hidup Lo, Lo udah dewasa! Anak Lo udah ada satu, Lo gak kasihan?” Johnny hanya menjawab dengan seringai di mulutnya.
Gue yakin dia udah mabuk berat. Dengan cepat gue berjalan mengambil sebuah selimut tebal yang ada di lemari Johnny.
Dengan cepat gue menggeser dan menutupi pecahan botol wine itu menggunakan selimut tebal tadi. Urusan beberes biar di urus sama maid Johnny besok.
Gue duduk di depan Johnny yang menunduk lemah. “Jo, kamu itu pria dewasa, kalo ada masalah gak gini Jo,” kata gue sehalus mungkin
“Kamu gak akan paham, pasti kamu gak punya masalah hidup hahaha,” Jawab dia dengan seringai ngeselin.
Gue terkekeh mendengar itu. “Aku juga manusia Jo.” Gue memegang tangan Johnny membuat dia menatap gue, gue tersenyum ke arah dia. “Semua manusia punya masa lalu yang kelam Jo, I have too, menyakitkan tapi mengakhiri hidup bukan cara untuk berdamai dengan masa lalu.” Perlahan gue mengusap tangan Johnny, tangannya bergetar ketakutan apa yang membuat seorang Johnny Suh sampe segininya.
Gue menghela nafas karena masih tidak ada tanggapan dari dia. “Tidur yuk, tenangin diri kamu,” ajak gue lalu membantu dia berdiri.
Johnny sama sekali tidak menolak ajakan gue. Gue berhasil meniduri dia, perlahan gue menyelimuti badannya. Ketika gue hendak melangkahkan kaki, ia menahan tangan gue. “Saya takut,” lirihnya.
Ya gue juga takut Jo, takut pas Lo sadar malah gue di dor.
Dengan perasaan enak tidak enak gue duduk di samping Johnny. Namun sialnya dia malah menarik gue, lalu menenggelamkan kepalanya di dada gue.
Fuck, jantung gue hampir copot.
“Saya takut,” lirihnya lagi.
Perlahan gue mengusap kepala Johnny, membiarkan ia terlelap di pelukan gue.
“It's okay, ada aku ada Haechan dan sahabat kamu di sini. Selamat istirahat,” Sahut gue.
Gue gak mendengar suara Johnny lagi, pas gue lihat ternyata dia udah terlelap di pelukan gue.
Gue mau beranjak dari sana, namun gue takut Johnny malah nyakitin dirinya lagi. Ya tapi kalo besok dia sadar gue yang di dor gimana?!

Gue terbangun, dan penampakan yang gue lihat adalah dada Johnny.
Fuck gue lupa, gue tidur di kamar dia. Perlahan gue menatap mata Johnny.
Gue tersenyum, sempurna. Satu kata itu bisa mendeskripsikan orang yang di depan gue.
Sadar bell, Lo itu jauh banget dari dia, yok sadar diri.
Perlahan gue melepaskan tangan Johnny yang ada di pinggang gue. “Sebentar lagi,” Protesnya.
“Jo-”
“Sebentar lagi Bella, saya nyaman,” kata dia.
Perkataan Johnny membuat gue hilang kesadaran, please gue lemah masalah cowo.
“Jo semalem ada yang telfon kamu berkali-kali dan ada chat yang masuk juga,” lapor gue, siapa tau itu penting.
Johnny mengangguk bukannya merespon ia malah mendekatkan tubuh gue semakin dalam di dekapan dia. “Nyaman,” ungkapnya.
Jo bilang kalo lo belum sadar, dan semoga gak akan ada salah paham di antara kita nanti.