izin
“Pa,” panggilku sebelum Papa keluar dari pintu rumah untuk berangkat kerja.
“Ya? Ada apa, Zel?” Papa berbalik badan menatapku.
Aku sedikit takut sebenarnya, bagaimana caranya untuk meminta izin kalau aku harus membawa teman-teman ke rumah untuk kerja kelompok.
“Itu ... Azel ada kerja kelompok, dan harus dikerjakan di rumah ini, boleh, tidak, Pa?” tanyaku sedikit hati-hati.
Papa diam sejenak, aku mulai khawatir Papa akan memberikan reaksi yang tidak aku inginkan.
“Sure, why not? Jangan lupa bilang bibi biar semuanya disiapkan. Terus gimana les kamu?”
Ah, benar saja, aku lupa bilang sesuatu ke Papa.
“Gurunya ada urusan hari ini, Pa. Jadi Azel cuman dikasih tugas buat dibawa besok.”
Papa mengangguk sambil tersenyum. “Les piano lancar, kan?”
Aku menunduk, bingung harus menjawab apa, pasalnya aku belum ada perkembangan sama sekali. Perlahan aku menggenggam tanganku agar tidak terlihat bekas luka akibat dipukul oleh guru les piano ku.
“Lancar, Pa. Tapi Azel masih biasa saja.”
“Wajar, gimana nanti malam belajar sama Papa?”
Aku harus jawab apa sekarang, aku yakin tidak akan baik-baik saja kalau belajar dengan Papa. Memang dia tidak kasar, tapi begitu mengintimidasi.
“Boleh, Pa.”
“Kamu ngapain, sih, kalau di mobil main handphone terus, Zel?” Damar, supir pribadi mu bertanya sambil melirik ku sesekali melalui kaca depan.
“Sambat.”
“Apa itu?”
“Keluh kesah di twitter, Pak.”
Damar menggelengkan kepalanya pelan. “Dasar anak muda.”
“Oh, ya, Pak. Nanti Azel pulang sekalian sama teman-teman, ya? Ada kerja kelompok,” kataku sembari menyimpan ponsel di saku celana.
“Baiklah.”
Setelah itu aku menikmati jalanan kota menuju sekolah yang begitu padat. Aku berpikir apa yang akan terjadi nanti di sekolah. Apa aku akan terus dilirik dengan mata tajam mereka, dan terus dicemooh? Entahlah, yang penting aku harus tetap diam.