#.
Sudah lebih dari satu jam Ran menunggu, namun sang ayah tak kunjung datang, bahkan pesan Ran saja tidak dibalas.
Wali kelas Ran tidak bisa menunggu lagi, dan raport Ran tidak bisa diambil, kalau bukan orang tua atau wali yang ambil.
Ran melangkahkan kakinya pelan-pelan menuruni anak tangga. Kini Ran sampai di lantai satu sekolah, sekolah sudah lumayan sepi.
Ran ingin menangis, banyak hal yang akan menjadi alasan Ran ingin menangis.
Hari ini Ran melihat sendiri kedua abangnya dipanggil ke depan karena mendapatkan juara umum satu di angkatannya, Ran melihat ayah tersenyum kepada kedua abangnya.
Hanya Ran yang tidak dapat, Ran malu, Ran gagal membuat ayah bangga.
“Ran bodoh sih,” lirih Ran pelan.
Ia melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah, namun Ran tidak berbelok ke arah jalan menuju rumahnya.
“Ran!” Panggil seseorang dari belakang Ran, dengan cepat Ran membalikkan tubuhnya.
Itu Fito dan bunda, Ran terkejut karena kehadiran mereka berdua.
“Kok bunda sama Fito datang ke sini?” tanya Ran kebingungan.
“Raport kamu udah diambil Ran?” tanya bunda.
Ran menggeleng pelan, lalu ia kembali menunduk.
“Yaudah ayo, bunda yang ambil.”
Ran terkejut, ia mengangkat kembali kepalanya. “Beneran bunda?”
“Iya Ran, bunda yang ambil ya.”
Senyum Ran mengembang. “Terima kasih bunda! Terima kasih Fito!”
Kini ketiganya berjalan kembali memasuki gerbang sekolah Ran. Ran mengambil alih, membantu mendorong kursi roda milik Fito.
“Bunda ruang gurunya ada di lantai empat, Fito nya gimana?”
“Yaudah, Fito tunggu di sini sebentar gak apa-apa kan nak?” tanya bunda ke Fito.
Fito tersenyum lalu mengangguk. “Gak apa-apa bunda, gih sana Ran,” jawab Fito tenang.
Ran dan bunda meninggalkan Fito sendirian di koridor sekolah lantai dasar.
Fito tidak keberatan sama sekali, karena dirinya lah yang meminta bunda untuk datang ke sekolah Ran. Karena setelah melihat tweet-an Ran, Fito merasa kasihan terhadap gadis malang tersebut.
“Kalo boleh tau ibu siapanya Ran?” tanya bu Prima, wali kelas Ran.
“Saya bundanya Ran,” jawab bunda sedikit membuat Ran terkejut.
“Oh begitu, kalo begitu ini raportnya Ran, Alhamdulillah Ran dapat ranking sepuluh dari tiga puluh siswa, dan nilai-nilai Ran bagus-bagus semua, selamat ya Ran, ditingkatkan lagi,” kata bu Prima dengan senyum mengembang menatap Ran.
Ran terdiam tidak percaya, dirinya benar-benar tidak percaya mendapatkan angka itu dengan kondisinya seperti ini.
“Anak bunda pinter banget, selamat ya Ran, dengerin kata ibu nya ditingkatkan lagi.” Kini bunda yang memberi selamat kepada Ran yang masih terdiam mematung di sana.
“Satu lagi Ran, kamu terlalu diam di kelas, walaupun kamu rajin dan pintar, tapi usahakan kamu bersosialisasi dengan teman-teman kelas ya, dan lebih aktif sama guru-guru.”
Ran menghela nafasnya, tersenyum tipis mendengar ucapan bu Prima.
Ran sangat ingin bersosialisasi, dan Ran sangat ingin menjadi murid yang aktif, namun keadaannya sangat-sangat tidak memungkinkan.
Bahkan Ran kesulitan untuk mengingat nama-nama guru dan seluruh teman-temannya.
“Iya bu, Ran usahakan.”
“Yasudah kalo begitu, terima kasih banyak ya bu Prima, mohon bantuannya ke depan untuk Ran,” ucap bunda.
“Baik bu, dengan senang hati.”
Sudah tiga puluh menit Fito menunggu di bawah, ia melihat tiga orang yang sangat ia kenal, melewati nya.
Orang tersebut adalah Johnny dan juga kedua anak anak lelakinya. Ia kebingungan, jika ayah Ran masih ada di sini, lantas mengapa tidak sekalian mengambil raport punya Ran.
Pandangan Fito tidak lepas dari mereka, sampai mereka keluar dari gerbang sekolah.
“Fito!”
Suara teriakan Ran membuat Fito mengalihkan pandangannya.
“Udah? Cepet banget.”
“Fito Ran dapet ranking sepuluh!” seru Ran dengan sangat bersemangat.
“Wah beneran? Hebat, jeleknya Fito hebat!” Balas Fito tak kalah semangat.
“Nilainya Ran juga bagus-bagus loh To, gak ada yang di bawah 70, rata-ratanya aja 89,” ucap bunda bangga terhadap pencapaian Ran.
“Kan aku bilang apa, kamu bisa!”
“Tapi Fito.”
“Kenapa?”
“Hasil yang Ran dapatin pasti buat ayah malu.”