.
Jangan mau jadi seperti aku, aku gak sempurna.
“Jadi gitu, paham?” tanya Fito ke Ran yang sedari tadi menyimak Fito menjelaskan rumus-rumus matematika kepadanya.
Dengan polosnya Ran menjawab dengan gelengan.
“Ahhh, gak paham.” Ran mendengus kesal.
Fito mendecak kesal. “Dari tadi dengerin aku jelasin gak hm?”
Ran mengangguk polos. “Denger kok, tapi Ran tetap gak paham,” jawabnya berhasil membuat Fito gemas.
Fito memejamkan matanya, ia merasa kesal. Karena ini bukan menit pertama ia menjelaskan semuanya kepada Ran, namun sudah hampir tiga jam, dan jawaban Ran masih sama.
“Tapi Fito gak usah khawatir, Ran pasti bisa jawab semuanya.”
“Gimana?”
“Waduh anak-anak pinter lagi belajar nih,” ucap bunda menghampiri Ran dan juga Fito yang berada di ruang tamu.
“Ini bunda bawain susu, terus ada buah sama kue biar semangat belajarnya,” sambung bunda.
“Kalo Ran minum susu buatan bunda Alya pasti Ran bisa jawabnya, iyakan bunda?”
Bunda tersenyum lalu mengangguk. “Pasti dong! Ran gitu, anak pinter, yaudah lanjut ya.”
Ran merasa senang karena jawaban dari bunda, dan juga Ran merasa senang seakan-akan dirinya mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu, kasih sayang yang tidak pernah Ran dapatkan.
Fito menatap ke arah Ran, ia merasa heran padahal baru saja Ran ceria, namun tiba-tiba Ran menjadi pendiam lagi.
“Hei.” Fito menjentikkan jarinya di depan wajah Ran.
Ran dibuat kaget karena Fito.
“Kenapa, capek?” tanya Fito memastikan.
Ran menggeleng. “Bukan, Ran gak capek,” jawab Ran pelan.
“Terus?”
“Ran senang— karena Ran mengucapkan satu kata yang tidak pernah Ran ucapkan selama hidup Ran.”
Fito mengerutkan keningnya kebingungan. Kata apa yang dimaksud Ran.
“Bunda, Ran gak pernah ucap kata itu,” sambung Ran.
Fito mengangguk paham, lalu tangannya tergerak mengusap lembut kepala Ran.
“Yaudah, ini mau lanjut pr nya?”
Ran menoleh menatap Fito.
“Ran pengen jadi seperti Fito,” ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Fito kebingungan.
“Fito punya bunda yang sayang banget sama Fito, Fito pintar, sedangkan Ran bodoh, dan Ran gak punya bunda, ayah gak pernah ada waktu untuk Ran.”
Ran jujur tentang perasaannya sekarang. Jujur, pada saat pertama bunda menyuruh agar Ran memanggilnya dengan panggilan bunda, Ran sangat senang.
Karena dirinya tidak pernah mengucapkan kata itu, bahkan dirinya tidak pernah tau dimana ibunya berada.
Fito terdiam sejenak, sebelum ia menjawab, “Jangan mau jadi seperti aku, karena aku tidak sempurna.”
“Manusia gak ada yang sempurna Fito.”
“Jangan mau Ran— aku benci diri aku sendiri.”
Ran terdiam, keheningan menghampiri mereka.
“Jangan benci diri kamu sendiri Fito, karena itu tugas orang lain. Tugas kamu mencintai diri kamu sendiri, seperti apapun keadaan kamu,” ucap Ran memecahkan keheningan.
Ran tersenyum lembut ke arah Fito, tidak seharusnya Ran menciptakan suasana seperti ini.
“Ayok lanjut belajar!”