kami dahulu

“Yak! Yang terakhir sampai dia yang cuci piring nanti malam,” seruku saat mereka bertiga tiba di halaman—tempat biasa kami menghabiskan waktu.

Mereka bertiga kompak mendesis dan menatap tajam ke arahku.

“Gak ada. Tetap jadwal lo malam ini,” protes Rainan tidak terima.

Dasar Rainan, pasti tidak mau kalau aku untung seperti ini. Karena aku sedang dalam mood yang baik, jadi aku memutuskan untuk merusak mood mereka.

Aku bercanda, hari ini aku tidak berniat jahil ... Banyak ... Hanya jahil sedikit.

“Azel memang gitu, dasar pemalas.” Navan yang duduk di ujung ikut bersuara memanaskan suasana. Kalau begini aku akan kalah suara, Jovan pasti akan ikut protes.

“Ya, ya, gue yang cuci tetap,” sahutku sebelum Jovan angkat suara juga.

“By the way, kenapa ngajak kemari, sih?” Tanya Rainan.

Aku terdiam sejenak, memang tidak ada alasan khusus. Hanya ingin menghabiskan waktu saja. Tapi, enak jika digunakan untuk berangan-angan seperti biasa.

“Enak kali, ya, kalau kita punya rumah,” kataku.

Aku menatap mereka secara bersamaan, mereka mengerutkan kening keheranan mendengar ucapanku.

“Kan itu udah ada rumah,” jawab Jovan, disetujui oleh Rainan dan Navan.

Aku menggeleng. “Itu mah, bukan rumah. Maksud gue, tuh ..., Rumah yang nyaman.”

“Ini ceritanya lagi ngajak berangan-angan, lagi?”

Aku mengangguk membenarkan pertanyaan Rainan. Lalu kembali menatap mereka satu persatu.

Aku kira mereka akan menolak dan pergi dari sana. Nyatanya mereka setuju, dan kini kita memulai berangan-angan lagi seperti biasanya. Mengungkapkan semua imajinasi yang terus berkembang di pikiran.

Sesekali aku tertawa saat mendengar angan-angan mereka yang begitu tinggi.

Kalau aku, tidak banyak, hanya ingin rumah yang ramah saja, tidak lebih.