kamu itu Adhitama
Samar-samar aku mendengar suara ketukan pintu dan suara memanggil namaku dari luar. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera melangkah dan membukakan pintu.
Ternyata itu Mama, segera aku memberikan senyum menyambutnya.
“Selamat malam, Ma. Maaf Azel habis dari kamar mandi,” kataku sedikit tidak enak.
Mama membalas senyumku dengan senyum elegannya.
“Nggak apa-apa, ayo makan malam, udah ditunggu Papa,” ajak Mama sembari merangkul pundak ku.
Rasanya masih sama, masih aneh. Biasanya aku akan pergi sendiri ke dapur dan balap-balapan siapa yang akan mendapatkan lauk banyak untuk makan. Tapi hari ini, aku dijemput oleh seorang wanita cantik yang kupanggil Mama. Benar-benar seperti sedang mimpi.
Makan malam sama seperti sarapan tadi, tidak banyak ada yang bersuara, hanya ada suara sendok dan piring yang bersentuhan.
Setelah makan aku tidak langsung beranjak seperti biasa, melainkan menunggu Papa dan Mama selesai makan juga.
Papa sudah menyelesaikan makan malamnya itu, entah mengapa aku merasa tegang, terlebih Papa kini menatapku.
“Gimana sekolahnya, Azel?” Tanya Papa, menarik perhatian Mama yang sedang minum.
Aku tersenyum sebelum menjawab, “Baik, Pa. Azel ketemu teman-teman yang baik.” Tidak lupa aku menatap Papa ketika menjawab pertanyaannya.
Papa mengangguk kemudian dia kembali meneguk air putih. Lalu Papa berkata, “Setelah ini ke ruangan kerja Papa, Papa tunggu.” Papa segera berdiri dari tempat duduknya dan beranjak dari sana.
Aku mengangguk. “Baik, Pa.” Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak, rasa takut dan was-was menjadi satu.
Mama yang menyadari perubahan sikapku, dia segera beranjak dari kursinya dan duduk di kursi yang ada di sampingku.
“Kamu takut?” Tanya Mama dengan suara lembutnya.
Aku terdiam sesaat sebelum menggeleng canggung.
“Enggak, Ma,” jawabku dengan suara yang sedikit bergetar.
Mama tersenyum kemudian meraih kedua tanganku dan dibawa ke genggamannya.
Dia menggenggam tanganku begitu erat, aku bisa merasakan hangat tangannya.
“Jangan takut, kamu sekarang putra Adhitama, kamu spesial.”
Aku tersenyum kikuk. Entah kenapa aku jadi ingat perkataan Rayna tadi, yang menyinggung tentang aku adalah Azel Khaisan Adhitama sekarang.
Sedikit bingung dengan posisi ku. Sebenarnya aku harus takut atau senang?
Entahlah, yang terpenting aku harus segera ke ruangan kerja Papa sekarang.
“Iya, Ma. Azel ke ruang kerja Papa dulu, ya?” Pamit ku.
Mama mengangguk dan segera melepaskan genggaman tangannya.
Aku tiba di depan pintu ruang kerja Papa. Padahal masih di depannya, tapi jantungku seakan ingin berhenti begitu saja.
Tanganku tertahan di knop pintu, tidak berani membukanya, bahkan tangan satunya lagi tidak berani aku angkat untuk mengetuk pintu.
Tapi, aku tidak bisa seperti ini. aku menarik napas panjang dan ku buang perlahan, setelah ku rasa tenang, aku ketuk perlahan pintu itu.
“Pa, Azel masuk.”
Setelah pintu terbuka aku lihat Papa sedang duduk di kursi kerjanya, dengan komputer dan beberapa berkas di atas mejanya.
Mendengar suara pintu terbuka Papa menoleh ke arah pintu dan dia tersenyum kepadaku.
“Sini,” katanya, menunjuk kursi yang ada di hadapannya.
Setelah aku tutup pintu, aku melangkah menuju kursi yang ditunjuk Papa. Langkahku boleh saja terlihat santai, tapi detak jantung ku berpacu dengan cepat sekarang.
“Beneran sekolah kamu baik-baik saja tadi?” Tanya Papa lagi, setelah aku duduk di kursi di hadapannya.
Aku mengangguk, tak lupa aku tersenyum agar tidak terlihat begitu tegang.
“Baik, Pa. Teman-teman juga baik.”
“Oh, ya? Berarti benar kata Ayah Dovi, kamu memang cepat bergaul dengan orang sekitar,” ucapnya.
Ayah ... Sudah berapa hari aku tidak mengabarinya, mendengar namanya aku menjadi tenang seketika.
“Iya, Pa. Walaupun sedikit canggung, tapi untungnya ada dua orang yang mau deket sama Azel,” kataku.
Aku tidak berbohong, memang tadi aku berhasil berbincang dengan beberapa murid lainnya. Tapi hanya Yan dan Gisel saja yang bisa sedekat itu denganku sampai sekarang.
“Siapa namanya?”
“Yan dan Gisel.”
Papa mengangguk, hanya itu reaksi yang dia berikan. Tapi entah mengapa aku senang, karena setidaknya Papa peduli dengan apa yang aku lakukan di sekolah tadi, berbeda dengan Ayah. Ayah sama sekali tidak ingin tahu tentangku. Wajar saja, dia hanya Ayah yang mengurusku di panti asuhan bukan, dia harus adil dengan anak-anak lainnya.
“Mata pelajaran di sekolah itu, susah bagi kamu?”
Aku menggeleng, untuk hari ini sebenarnya sama sekali tidak susah, karena pelajaran hari ini termasuk pelajaran umum. Matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, tapi ada satu mata pelajaran jurusan tadi aku lupa, tapi seingatku yang kupelajari tentang surat menyurat.
“Termasuk gampang, Pa. Karena masih pelajaran umum, matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,” jawabku.
Papa mengangguk. Lalu dia melepaskan kaca mata yang dia kenakan tadi, dan memijit matanya pelan, sebelum dia kembali menatapku.
“Kamu suka matematika, Azel?”
Aku harus jawab apa sekarang. Bukannya tidak suka, tapi ... Susah dijelaskannya.
“Hmm ... Azel paham tadi tidak terlalu suka matematika,” jawabku jujur. Jujur aku takut Papa akan marah.
Tapi bukannya marah, Papa malah tertawa mendengar jawabanku.
“Sama kayak, Papa. Memang kalau angka-angka begitu bikin pusing,” ujarnya.
Untunglah Papa enggak marah. Setelah mengatakan itu, Papa mengambil sesuatu dari laci mejanya, aku tidak tahu apa, tapi seperti kertas.
Ya, benar. Ada beberapa kertas yang Papa keluarkan, tapi aku tidak tahu apa isinya.
“Papa punya permainan, sebenarnya buat lihat sampai mana pengetahuan Papa.”
Papa menyerahkan beberapa lembar kertas kepadaku, dan juga dia sisakan untuk dirinya.
Aku mengangkat kertas itu dan membaca isinya. Kertas itu berisikan beberapa soal matematika dan juga bahasa Indonesia. Tidak sampai situ ternyata, saat aku lihat kertas berikutnya, juga ada soal bahasa Inggris dan juga soal tentang surat menyurat.
Aneh. Aku langsung menegakkan kepalaku agar bisa menatap Papa.
“Cuman dua puluh soal, bisa, kan?” Tanya Papa.
Aku mengangguk. “Bisa, Pa.”
“Waduh kayaknya Papa harus kalah, nih, soalnya anak Papa yakin banget. Mulai!”
Aku tertegun lalu kembali menatap soal-soal itu. Aku merasa seperti de javu. Benar saja, aku mengerjakan soal-soal ini tadi di sekolah. Aku mengernyit kemudian mengangkat kepala ku lagi. Aku lihat Papa yang kini sedang mengerjakan soal-soal itu dengan begitu serius.
Lalu aku kembali dan mulai mengerjakannya, karena aku mengingat semuanya dengan jelas, jadi ini mudah bagiku.
Ayo lah, aku ini Azel Khaisan, biasanya juga aku yang menantang.
Butuh waktu hampir satu jam untukku menyelesaikan soal-soal itu, karena ada beberapa soal essai yang membutuhkan konsentrasi penuh. Disusul oleh Papa yang juga menyelesaikannya setelah beberapa menit aku selesai.
Aku menyerahkan kertas milikku kepada Papa. Sekarang Papa seperti sedang memeriksanya, aku sedikit takut kalau ada yang salah.
“Kamu suka musik, Azel?” Tanya Papa, setelah dia membaca soal-soal tadi.
Aku tersentak sedikit, merasa heran kenapa Papa tidak menyinggung tentang soal itu? Malah bertanya tentang hal lain.
“Su-suka, Pa,” jawabku sedikit grogi.
“Papa daftarkan kamu les piano. Papa udah lihat jawaban-jawaban kamu ...” Papa kembali mengangkat kertas milikku. “Jawabannya benar semua. Kamu pintar, benar kata Ayah Dovi.”
Aku masih diam tidak menunjukkan reaksi apa-apa, karena masih bingung dengan keadaan sekarang.
Tiba-tiba aku ditantang mengerjakan soal, dan tiba-tiba aku sudah didaftarkan les piano.
Papa seakan paham dengan reaksi yang aku tunjukan, dia tertawa kecil kemudian berkata, “Kamu itu Adhitama, Azel. Azel Khaisan Adhitama.”
Deg!
Aku baru paham sekarang. Alasan mengapa Rayna menyuruhku belajar, alasan Rayna menyuruhku untuk mengingat semua apa yang aku lakukan dan apa yang aku pelajari di sekolah.
Agar aku bisa menghadapi Papa. Lantas, bagaimana kalau aku gagal tadi? Pasti Rayna tahu jawabannya.
Kalimat bahwa aku sekarang adalah Adhitama, sama seperti yang Rayna katakan sebelumnya. Tapi, aku masih belum bisa mengerti maksudnya. Satu-satunya yang tahu adalah Rayna tentu saja.
Apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan aku hadapi setelah ini, apa yang akan menjadi tanggung jawab ku setelah ini. Setelah aku menjadi Azel Khaisan Adhitama.
Hanya dia yang tahu. Rayna ... Sebenarnya kamu itu siapa?