Kebenaran dari Luna
“Siapa yang ngelakuin ini ke lo?” tanya Théo begitu tegas.
Luna hanya diam, dan memainkan jari-jarinya kasar. Ia merasa takut dengan kehadiran Théo, abang kandung yang selalu ia hindari.
“Gue abang lo, kalo lo masih inget,” ucap Théo.
Suara Théo memang biasa saja, namun tetap saja membuat Luna ketakutan.
“Bilang, biar gue habisin orangnya,” sambung Théo masih tidak terima dengan keadaan sang adik.
Théo berlutut di hadapan Luna, ia menggenggam tangan Luna, menyalurkan kehangatan dan juga kenyamanan.
“Jangan takut, gue masih Théo yang dulu, yang selalu ajak lo main saat yang lain gak pernah merhatiin lo.”
Air mata Luna berhasil menetes membasahi tangannya dan juga tangan Théo.
“Papa sama Mama yang minta lo pulang— mereka kangen sama lo.”
Disela-sela tangisnya Luna tertawa miris. Ia melepas genggaman tangan Théo, lalu menyeka air matanya dengan kasar.
“Memang ada orang tua yang minta anaknya balik, setelah ngebuang anaknya? Lo gak inget bang, di umur gue masih sembilan tahun gue dibawa ke rumah ini, gue di tinggalin—” Luna semakin terisak saat kembali mengingat masa lalu yang membuatnya takut.
“Tapi kan itu karena l—”
“Iya, gue tau karena gue salah. Tapi anak mana yang gak sakit hati saat mereka dibuang?”
“Papa sama Mama gak pernah ngebuang, lo. Mereka cuman mau lo jadi pribadi yang lebih baik.”
Luna kembali tertawa, bukan karena lucu namun karena merasa aneh.
“Gue udah nyaman sama bunda, kalo bisa gue mau hidup selamanya sebagai Laluna Grey, tanpa ada Poetry Winata di belakang nama gue,” ucap Luna dengan penuh penegasan.
Luna kembali menangis sesenggukan, bahkan dadanya terasa sangat sakit.
Théo menunjukkan sebuah surat, awalnya Luna tidak tertarik namun saat ia melihat nama Patra di sana, ia menjadi tertarik.
“Papa baca semua chat yang lo kirim, papa memang gak pernah balas, dia juga merasa bersalah karena ngebuang lo. Lo chat papa kan, lo bilang mau dia kan? Mau Nabil Zayydeyn Patra,” kata Théo.
Luna menggeleng. “Itu dulu— gue udah gak mau, gue gak mau menuhin kemauan gue dengan uang.”
Théo menghela nafas kasar, ia kembali menggenggam tangan Luna dengan sangat erat.
“Papa sama Mama udah nerima kepergian Natha, mereka menyesal atas semua hal yang telah mereka lakukan ke lo. Semuanya Luna, dari lo yang gak pernah dianggap, sampai kejadian besar yang menimpa Natha— mereka menyesal.”
Luna kembali mengingat masa kecilnya, ia mempunyai seorang kakak, lebih tepatnya kembaran dirinya. Namanya adalah Nathalia G.W.
Walaupun mereka kembar, namun Luna dan Natha mempunyai nasib yang berbeda. Luna sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian yang lebih, bahkan Luna tidak pernah diperkenalkan sebagai putri keluarga Winata, yang lebih parah Luna tidak bersekolah di luar, dengan alasan yang tidak jelas.
Sampai pada suatu hari Luna merasa iri dan juga marah, saat Natha dengan bebasnya bercerita dengan mama papa, dan juga merasakan pelukan hangat dari mama papa, Luna hanya bisa melihatnya dari jauh.
Saat Natha sedang bermain dengan boneka yang ia dapatkan dari teman lelaki yang ia ceritakan kepada mama papa tadi, Luna mengambil kesempatan untuk melukai Natha.
Luna menghampiri Natha beralasan ingin bermain bersama, setelah bermain sedikit lama, Luna mengambil kesempatan mengajak Natha bermain ke jalanan, Luna beralasan ingin memetik bunga yang ada di seberang jalan.
Natha menyetujui ajakan Luna. Saat mereka tiba di depan gerbang rumah, di sanalah Luna mengambil kesempatan, ia mendorong tubuh Natha bersamaan dengan mobil yang melaju dengan sangat cepat.
Natha tertabrak akibat ulah Luna, dan Luna hanya menatapnya tanpa rasa bersalah, walaupun Natha sudah terbaring bersimbah darah.
Setelah kejadian itu Natha meninggal dunia, Luna merasa senang, ia pikir ia akan mendapatkan posisi Natha. Namun ternyata semuanya salah, Luna dititipkan kepada Ririn seoran wanita yang sama sekali tidak Luna kenal, dan saat itu juga kedua orang tuanya dan juga abang satu-satunya pergi meninggalkan Luna ke Paris.
Hal yang terakhir ia lihat sebelum orang tuanya meninggalkan Luna di sana adalah Winata ; papa Luna, memberikan uang kepada Ririn.
Mulai dari situ Luna benci dengan uang, ia benci dengan orang yang menyelesaikan masalah dengan uang.
“Tapi gue sekarang nyesel udah ngelakuin itu ke Natha— seseorang nunggu dia di sini.” Luna menunduk dan menangis penuh penyesalan.
“Gue gak mungkin berhasil rebut posisi dia lagi, Théo. Gue aja gagal merebut posisi dia sama mama papa.”
Théo berdiri menjulurkan tangannya. “Ayo gue bantu berdiri, gue bakalan bantu lo sampai akhir nanti.”