Kelemahan Valen

tw // bullying tw // mention of mental issue cw // harsh word

tolong bijak, ya. sekiranya mentrigger langsung tinggalin aja


Suasana kelas 11-Ipa1 hanya dipenuhi suara pena dan suara kertas yang dibolak-balikkan. Ulangan harian matemati yang membuat seluruh murid kini hanya bisa fokus menjawab soal demi soal.

Tidak terkecuali Valen, namun dengan kecerdasan yang ia miliki, laki-laki yang selalu meraih peringkat pertama di kelas dan juga di angkatan, sudah menyelesaikan soal-soal yang ada dihadapannya.

Valen terus diganggu oleh teman-temannya terlebih Haydan yang duduk tepat di bangku belakang Valen, namun Valen tidak bisa membantu banyak, soal yang diberikan memang sama namun selalu beracakan begitulah gaya pak Dipta. Guru muda nan killer.

“Haydan kamu diam, atau soalnya saya tarik?”

Teguran kedua dari Dipta untuk Haydan.

“Baik, pak. Maaf, pak,” sahut Haydan dengan perasaan takut.

Valen tersenyum kecil tanpa menoleh menatap Haydan yang sudah berhenti mengganggunya. Tiba-tiba ia merasakan getaran dari saku celananya, notifikasi dari handphone yang ia bedakan, notifikasi yang sangat menakutkan bagi Valen.

Segera Valen mengeluarkan handphonenya diam-diam, lalu membaca pesan masuk itu.

Valen panik seketika, panik dan takut. Nafasnya mulai tak beraturan, kepalanya terasa sangat pusing. Valen kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celana agar tidak ketahuan Dipta ia sedang bermain handphone.

Valen kembali di serang serangan panik untuk yang kesekian kalinya, ia tidak bia berbuat banyak, terus-terusan mengatur nafasnya, namun sia-sia.

“Pak.” Valen mengangkat tangannya. “Saya boleh izin ke toilet, pak?” tanya Valen meminta izin.

“Boleh jika ulangan kamu sudah selesai, silahkan bawa ke depan.”

Tangan Valen bergetar saat hendak meraih kertasa ulangan miliknya, namun ia segera menahannya dengan tangan yang satu lagi, setelah di rasa aman Valen membawa kertas ulangan itu ke meja Dipta.

“Val!” Haydan menahan tangan Valen saat Valen berjalan melewatinya, namun segera ditepis oleh Valen. Valen berlalu dengan cepat keluar dari kelas.

“Anjir basah banget tangannya, ngompol ya dia.”

“Haydan.”

“Baik, pak, salah, pak.”


Valen berjalan menyusuri korider sekolah, tanpa ia sadari ia baru saja melewati kelasa 12-Ips3 dan melewati Malvin dan teman-temannya yang sedang berkumpul di depan kelas.

“Wih, ikutin gak bos?”

“Gas.”

Sesampainya Valen di toilet, ia masih tidak menyadari Malvin dan teman-temannya mengikuti dari belakang.

Valen masuk ke dalam satu bilik toilet, dan menguncinya dengan segera. Laki-laki itu terduduk lemah di lantai, berusaha mengatur nafasnya. Berulang kali ia memukul-mukul dadanya yang terasa sakit.

“Fuck,” lirihnya pelan.

Di luar bilik toilet itu diam-diam Malvin dan teman-temannya menunggu Valen keluar. Malvin keheranan saat melihat Valen dari sela-sela yang terduduk di lantai.

“Lemah banget kayaknya, tegang banget, ya? Punya cewe, kan, ngapain solo.”

Suara gelak tawa memenuhi toilet, Valen tidak bisa melawan, ia sedang melawan rasa panik yang menyerangnya.

Kepalanya seratu kali lipat terasa sakit, kedua tangan Valen bergerak meremas dan menarik rambutnya sendiri.

“Arghhh.” ringisan kerasa Valen terdengar sampai keluar, tentu saja didengar oleh Malvin dan teman-teman.

“Wow, hebat!” seru Malvin dengan kekehan.

Lagi dan lagi gelak tawa mengejek keluar dari mulut mereka.

“Gimana kalo kita kunci dari luar, bos?” usul salah satu teman Malvin.

Malvin berfikir sejenak lalu ia mengangguk setuju, detik kemudia mereka menahan pintu bilik toilet yang ada Valen menggunakan ember yang berisikan air, dan menahan gagang pintu menggunkan pel yang ada di sana.

“Semoga puas, ya, bro.”

Valen tidak mendengar suara Malvin lagi, ia sedikit merasa tenang walaupun kondisinya masih terlihat sama.

Wajah Valen berubah pucat, saat ia hendak berdiri Valen hilang kendali sehingga tubuhnya kembali terjatuh di lantai. Dengan sekuat tenaga Valen meraih knop pintu, namun tidak bisa terbuka karena sudah tertahan dari luar.

Valen menyandarkan tubuhnya lemas, matanya terasa sangat berat, Valen kembali mengingat dengan jelas hal-hal yang membuatnya trauma, memori saaat ia dipukul dan disiksa oleh papanya kembali terputar.

“Ma .... Sakit, ma,” gumaman terakhir dari mulut Valen sebelum matanya tertutup dengan sempurna.