Kembali terluka

Valen sedari tadi hanya fokus dengan buku-buku yang ada dihadapannya.

Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar karena gugup dan takut. Setelah mengetahui kalau sang papa tau nilai ulangannya turun, namun Valen tidak bisa melakukan banyak hal selain diam di kamar.

Bahkan yang tadi otaknya berfungsi dengan sempurna, kini tiba-tiba berhenti dan hanya memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Tubuh Valen benar-benar membeku saat mendengar pintu kamarnya terbuka, sudah dapat dipastikan itu Jayden ; papa Valen.

“Saya bukan monster, kamu tidak perlu takut.” Bahkan hanya mendengar suaranya membuat darah Valen membeku di dalam sana.

Valen tertegun karena Jayden yang kini sudah berada di belakangnya, meletakkan tangan kanannya pada pundak kanan Valen.

“Apa kamu benar-benar belajar selama ini, Valen?” tanya Jayden dengan suara yang begitu mengintimidasi.

Anggukan cepat dilakukan oleh Valen. “Iya, pa,” jawab Valen.

Jayden mengangguk dan menepuk-nepuk pundak Valen perlahan.

“Tapi kenapa hasil ulangan fisika bulan ini sembilan puluh delapan?”

Valen tertegun. Ia tidak tau darimana Jayden mengetahui hal itu, padahal Valen sudah menutupinya rapat-rapat.

“Valen melakukan kesalahan, pa.”

“Bagus kamu sadar— kamu tau, kan? Saya tidak suka kalau kamu berbuat salah?”

Valen menjawab hanya dengan anggukan, ia menggenggam kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja, lalu ia memejamkan kedua matanya seakan siap dan tau dengan apa yang akan terjadi nanti.

Ctar...

Tali pinggang yang sudah Jayden lepaskan dari celananya, kini sudah berhasil membuat luka di punggung Valen.

“Kenapa kamu ngelakuin itu, Valen.”

*Ctar...”

“Maaf, pa.”

*Ctarr...”

“Kata maaf tidak bikin nilai kamu sempurna.”

“Valen akan memperbaikinya, pa.”

Jayden menghentikan aktivitasnya, ia kembali memakai tali pinggang tersebut.

“Bagus— lalu kenapa kamu buat anak saya menangis?”

Sudah Valen duga, pasti Alea akan mengadu kepada Jayden dan menangis melebih-lebihkan.

“Valen minta maaf, pa.”

“Anak saya cuman mau berbagi cerita kepada kamu, bahkan anak saya membelikan makanan kesukaan kamu, kenapa kamu begitu jahat kepada anak saya?”

“Valen bukan tidak mau, pa. Valen lagi belajar.”

“Sekali lagi saya melihat anak saya menangis karena kamu, habis kamu!”

Jayden meninggalkan Valen kembali sendirian di kamarnya.

Valen sama sekali tidak menangis atau marah, buka karena tidak sakit, namun menangis tidak ada gunanya.

Dan hal itu sudah biasa terjadi, pukulan, hinaan, kemarahan, dari Jayden sudah biasa ia terima.

Ia tidak menangis hanya saja hatinya terasa sangat sakit. Apalagi saat mendengar Jayden menyebutkan Alea dengan sebutan anak saya.

Valen juga menginginkan hal itu.


Pukul 2.00 setelah kembali terluka, Valen melanjutkan kegiatan belajarnya, walaupun mengantuk, ia sama sekali tidak ingin tidur sekarang.

“Keluar, kak.” Valen bersuara saat menyadari pintu kamarnya kembali terbuka. Ia tau itu pasti Lauren, sang kakak.

“Tidur, Val, udah malem jangan biasakan bergadang, kena gagal jantung nanti.”

Lauren berjalan menghampiri Valen, lalu ia duduk di kasur yang ada di samping meja belajar Valen.

“Sakit, Val? Sorry,” lirih Lauren seakan menyesal.

Valen menggeleng dengan tatapan masih fokus dibuku yang ada ditangannya.

“Sudah biasa, kak. Tapi hati Valen, mungkin akan selalu terasa sakit kalau kembali terluka.”

“Lo kenapa gak nangis?”

“Nangis, pun, tidak akan mengubah keadaan, Valen akan terus dibenci, kak. Valen hanya anak haram bagi papa.”

“Val—”

“Valen harus belajar, kak. Besok ada ulangan matematika, Valen tidak mau gagal lagi.”

Pertahanan Lauren gagal, ia menangis saat mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Valen. Suara Valen lembut namun kata yang ia ucapkan begitu menyakitkan.

“Jangan nangis—”

“Tunjukkin ke papa kalo lo sakit, Val. Jangan seakan-akan lo kuat!” Lauren memekik emosi.

“Valen kuat.”

Lauren mengusap pipinya kasar, lalu ia bangkit dan berdiri di samping Valen, yang tidak sama sekali menoleh untuk menatap Lauren.

“Setidaknya andalin gue sebagai kakak, lo. Jadiin gue tempat keluh kesah, lo, Valen. Kalo mau nangis gue ada di sini.”

Valen tersenyum, perlahan hati yang terasa sakit sedikit pulih. Ia menoleh menatap Lauren yang kembali menangis.

“Tidur, kak. Jangan suka bergadang nanti kena gagal jantung, kalo lo meninggal karena gagal jantung, nanti gue nangis kemana?”

Lauren memukul-mukul lengan Valen pelan, ia kesal dengan adiknya itu. Bisa-bisanya adiknya itu mengembalikan ucapan yang tadinya ia ucapkan kepada sang adik.

“Aduh, kak, sakit. Masih perih,” ringis Valen sedikit lebay.

“Sorry— sorry.

“Bercanda, hahahaha.”

“Ngeselin!”

“Udah, kak, jangan nangis. Valen baik-baik saja, selama ada, lo.”