.

Kini apartemen Embun sedikit rame karena teman-temannya. Yudhis, Cherry, Daffa, bahkan Sandy kini sedang berada di ruang tengah apartemennya.

“Kalo mau dateng lain kali kabarin dulu dong,” Protes Embun, karena penampilannya tadi beneran acak-acakan.

“Ihh mana tau kita, kalo bumil lagi galau,” Sahut Cherry lalu di sahut gelak tawa mereka semua.

“Tapi jangan lama-lama nangisnya kasih bayi nya,” Ucap Sandy.

“Tuh bumil denger kata calon,” Timpal Cherry blak-blakan.

Sandy sedikit bingung.

“Calon babu bumil nanti ha ha ha ha,” Lanjutnya dengan tawa canggung.

Keheningan tiba-tiba saja terjadi. Membuat mereka menatap satu sama lain sebelum tertawa terbahak-bahak.

Embun sedikit lega, ia sedikit melupakan kegelisahan yang selalu menghantui dirinya.


“Kak,” panggil Embun ke Sandy yang sedang sibuk dengan handphonenya.

Sandy sedikit terkejut, ia dengan segera memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya.

“Iya kenapa?” Tanya Sandy sedikit tergesa-gesa.

Embun terkekeh. “Biasa aja kak, maaf ya ngagetin,” Jawab Embun membuat Sandy sedikit lega.

“Ini susu panas, di luar dingin.” Embun menyerahkan segelas susu panas ke Sandy, mengingat kini Sandy sedang berada di balkon apartemen Embun.

Sandy menerima gelas susu tersebut. “Terima kasih Embun,” Ucapnya.

Embun mengangguk. “Embun ke dalam dulu ya, jangan lama-lama di luar kak,” pamit Embun seraya melangkahkan kakinya kembali ke dalam.

Sandy tersenyum, ia menatap punggung Embun yang sedikit demi sedikit menjauh.

“Mam, Sandy menemukan seseorang yang bernasib sama seperti mama,” monolog Sandy.

“Cantik, kuat, ceria. Tolong beri kekuatan agar dia kuat menahan ini semua ya ma.”

“Seperti mama yang kuat menjalankan semuanya, sesaat mama bertemu dan hidup bersama papa,” ucap Sandy.

“Papa.....”

“Papa Arkananta,” Lanjutnya seraya tersenyum dengan tatapan kosong.