.

Lima belas menit berlalu, kini jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas, dan bel tanda masuk pun berbunyi, membuat semua murid sekolah berhamburan masuk ke dalam gedung sekolah.

Namun tidak dengan murid angkatan baru, mereka semua akan berkumpul di lapangan, termasuk juga Ran.

Kini Ran dan juga murid baru berbaris di lapangan sekolah, namun ada satu hal yang menarik perhatian Ran, yaitu semua orang tua masih menunggu anak-anak mereka di sana.

Ran menunduk, ia sebisa mungkin menahan untuk tidak menangis.

“Selamat pagi semua!” Suara kakak osis yang akan membuka acara mpls tahun ini.

“Wahhh dedek dedeknya gemes banget ya ndre!”

“Bener banget Za, jadi keinget pas pertama kita masuk sekolah .”

“Bener banget Ndre, masih polos-polos semua.”

Setelah pembukaan dari kakak osis, kini kepala sekolah yang akan memberikan kata sambutan dan melakukan proses pemotongan pita.

Ternyata mplsnya tidak dilakukan di sekolah, namun di aula yang berada tidak jauh dari sekolah, semua murid baru di haruskan untuk ke sana. Ada yang berjalan kaki, dan ada yang diantar oleh orang tuanya.

Tentu saja Ran harus berjalan menuju ke sana, memang siapa yang akan mengantarkan dirinya.

“Ran belum dapet temen,” lirihnya pelan.


“Loh pak Johnny?”

Johnny dengan cepat menoleh ke sumber suara.

“Bu Ema,” sahut Johnny.

“Bapak ada apa ke sekolah? Maraka Hazel gak kenapa-kenapa kan pak?” tanya bu Ema.

Sedari tadi memang Johnny berada di sekolah, bukan untuk keperluan Maraka ataupun Hazel.

“Bukan bu, saya kemari mau lihat anak saya yang paling kecil, baru masuk ke sekolah ini,” jawab Johnny.

Tanpa sepengetahuan Ran, Johnny berada di sana untuk melihat Ran, bahkan sesekali Johnny mendapati Ran yang hanya menunduk tanpa senyum yang biasanya ia lihat di diri Ran.

“Loh saya baru tau bapak punya anak lagi.”

Johnny tersenyum. “Iya bu, saya punya tiga anak, dua cowok dan satu cewek.”

Bu Ema mengangguk paham. “Baiklah pak, kalau begitu saya mohon izin, mau ngajar soalnya.”

“Bu,” panggil Johnny.

“Iya pak?”

Johnny mengeluarkan ponselnya lalu menunjukan foto Ran kepada bu Ema.

“Ini anak saya, namanya Randika putri Aditya, saya minta tolong ya bu, tolong jaga anak saya,” ucap Johnny memohon.

“Dengan senang hati pak, saya yakin Ran tidak akan aneh-aneh sama seperti Maraka dan juga Hazel, anak bapak semuanya baik-baik seperti bapak sendiri, kalau begitu saya permisi ya pak.”

Bu Ema melangkahkan kakinya menjauh dari Johnny.

Johnny mengingat kembali kalimat terakhir dari bu Ema, nyatanya ia jauh dari kata baik untuk menjadi seorang ayah.