Luka
tw // kekerasan tw // abusive , blood cw // harsh word Harap bijak, ya. Sekiranya topiknya mentrigger, tolong segera ditinggalkan.
Valen berjalan dengan langkah pelan, jujur ia takut untuk pulang, namu mau bagaimanapun rumahnya hanya itu, hanya itu rumah untuk ia pulang.
Walau ia tau kepulangannya akan membuatnya terluka kembali, Valen siap menghadapi itu.
“Pak,” sapa Valen kepada satpam komplek yang sedang keliling.
“Loh baru pulang, Valen.”
“Iya, nih, pak. Duluan, ya, pak.”
“Hati-hati nak.”
Baru ia sampai di gerbang rumah, perasaan takutnya semakin menjadi-jadi. Tangan Valen ragu untuk membuka gerbang yang sudah tertutup rapat, mulutnya enggan untuk memanggil satpam yang menjaga rumahnya.
“Gak usah takut, Val. Lo bukan pengecut.”
Dengan ragu Valen membuka gerbang rumahnya, langkahnya bergetar namun yakin.
“Abang pulang!” Valen disambut oleh suara teriakan Alea saat dirinya baru ssaja membuka pinut.
“Abang jahat! Masa tadi adek gak dijemput, Alea ngambek!” ucap Alea marah kepada Valen.
Valen hendak mengusap kepala Alea, namun tangannya tertahan karena suara teriakan dari Agatha.
“Jangan sentuh anak saya!”
Valen menoleh ia mendapatkan Agatha dan Jayden yang baru saja turun dari tangga sedang berjalan menghampiri dirinya dan Alea.
“Bawa Alea ke kamar, ma,” perintah Jayden tegas ke Agatha.
“Ih papa, adek masih mau marahin abang.”
Jayden tersenyum, senyum yang tak pernah Valen lihat sebelumnya.
“Anak papa yang cantik tidur, ya. Sudah malam, biar papa yang marahin abang.”
Alea dibawa oleh Agatha ke kamar, tersisa Valen dan Jayden di sana. Namun tanpa satupun dari mereka yang tahu, Lauren sedari tadi melihat dari jauh.
“Dari mana saja kamu anak haram?”
Kalimat pembuka dan juga sapaan dari Jayden untuk Valen, sudah membuat goresan di hati Valen.
“Sekolah, pak,” jawab Valen lirih.
Jayden mendekat ke arah Valen, ia menggunakan jarinya untuk menoyor kepala Valen yang sedari tadi hanya menunduk. Satu toyoran, dua toyoran hingga kelima toyoran Valen terima hingga kepalanya sedikit teerbentur ke dinding.
“Kamu jagoan, kan? Lawan saya sekarang, jagoan kamu, kan!” bentak Jayden dengan suara meninggi.
Valen tidak menjawab, bahkan hanya untuk menatap mata Jayden ia sangat takut, apalagi untuk menggerakkan bibirnya.
“Jawab anak haram!” teriak Jayden dengan tangan yang kini ia gunakan untuk menarik rambut Valen cukup kuat.
“Maaf, pa,” lirih Valen.
Plak
Satu tamparan keras berhasil membuat Valen tersungkur dan mengeluarkan darah dari hidungnya.
“Mana yang buat onar di sekolah tadi!” Jayden menarik kerah kemeja seragam yang Valen kenakan.
Valen menatap Jayden dengan tatapan sayu, hanya kata maaf yang bisa ia keluarkan dari mulutnya.
“Maaf .... Maaf .... Maaf.”
“Saya tidak butuh maaf kamu! Bisa satu hari saja kamu tiddak buat masalah, saya butuh kamu supaya harta orang tua saya bisa turun ke tangan saya. Dan itu akan terjadi saat kamu menginjak umur dua puluh lima tahun dengan gelar yang sudah ayah saya tentukan. Setelah itu saya tidak peduli dengan kamu!”
Jayden lagi-lagi menampar Valen cukup keras.
“Bisa kamu tidak buat ulah sampai saat itu datang? Saya muak!”
“Bisa, pa.” Dengan wajah yang sudah babak belur, hidung yang terus mengeluarkan darah, dan kepala yang terasa sangat pusing Valen menjawab dengan yakin.
“Maaf, pa.”
Jayden melepas cengkramannya, membuat tubuh Valen benar-benar terjatuh.
“Sekali lagi kamu buat masalah, saya tidak segan berbuat lebih dari ini!” ancam Jayden lalu meninggalkan anak laki-lakinya di sana sendirian.
Valen tertawa, mulutnya mengeluarkan darah begitu juga dengan hidungnya. Namun sekuat tenaga Valen berusaha untuk berdiri. Dirasa kuat Valen berjalan pelan menuju kamarnya.
“Lawan Valen,” kata Lauren yang kini sedang menangis karena menyaksikan kebrutalan papanya dengan mata kepalanya sendiri.
Langkah Valen terhenti, ia tersenyum namun tak menoleh untuk menatap Lauren.
“Kehadiran Valen hanya untuk luka, kak. Selagi Valen kuat, Valen akan terus menahannya.”
“Val-”
“Tidur, kak. Jangan bergadang gak baik buat kesehatan, bisa terkena gagal jantung, depresi juga, kan. Valen gak mau kakak sakit.”
“Terus lo gimana, Valen. PTSD .... Lo udah duluan sakit daripada gue, Valen. Gue gagal.”
Tangis Lauren semakin menjadi, ia benar-benar merasa gagal. Gadis itu selalu menjadi saksi bisu saat Valen dipukul, disiksa, bahkan ditendang oleh Jayden sedari kecil.
Lauren juga orang pertama dan satu-satunya keluarga yang mengetahui Valen mengalami PTSD. Lauren hanya bisa membantu dengan membayar dokter pribadi untuk Valen secara diam-diam.
“Valen sedikit membaik, kak. Valen akan damai dengan masa lalu, Valen kuat.”
“Val-”
Valen tidak mendengar panggilan dari Lauren, ia kembali berjalan memasuki kamarnya.
Setibanya di kamar, Valen terjatuh tepat di samping tempat tidurnya.
“Sakit, semuanya sakit. Tolong,” lirih Valen. Namun ia sama sekali tidak menangis.
Suara pintu kamar Valen terbuka menandakan seseorang masuk ke sana. Valen tidak kuat untuk membuka matanya, ia hanya berkata, “Keluar kak, Valen harus belajar.”
“Abang, ini adek.” Suara kecil nan lembut Alea membuat Valen memaksakan dirinya untuk duduk.
Valen duduk menyandarkan tubuhnya di tempat tidurnya.
“Tidur, Ale,” ucapnya dengan susah payah.
Bukannya menuruti ucapan Valen, Alea malah mendekat dan duduk di depan Valen.
“Jangan mendekat, Alea.”
“Alea bawa handuk, Alea bersihin darahnya, ya?”
Saat Alea akan membersihkan darah yang memenuhi wajah Valen, segera Valen menahan tangan Alea. Ia takut kalau tangan gadis kecil itu menyentuh dirinya, ia akan kembali dipukul oleh Jayden.
“Jangan, Alea,” larang Valen tegas. Saya nggak apa-apa, keluar Alea, tidur.”
Alea menggeleng. “Alea lihat abang dipukul, papa. Maafin adek, abang. Gara-gara adek, abang dipukul sama papa.”
Dengan mata sayunya Valen melihat Alea meneteskan air mata.
“Alea mau abang maafin?”
“Mau abang!” seru Alea semangat.
“Alea balik ke kamar, ya. Tidur besok sekolah, abang antar terus abang jemput.”
“Beneran? Abang gak marah lagi? Abang jangan pake saya lagi, ya serem.”
“Iya.”
Alea tersenyum senang, ia menghapus air matanya, lalu mendekatkan dirinya ke Valen. “Adek ada plaster frozen, adek pakein di hidung abang, ya? biar darahnya gak keluar lagi.”
Valen pasrah, ia tidak mau menolak karena itu akan menyakiti perasaan Alea tentu saja, dan ia tidak mau hal itu terjadi.
“Iya, boleh.”
Pukul dua belas dini hari, setelah semua luka yang ia terima tadi, kini Valen duduk di kursi meja belajarnya. Ia tidak bisa menjadikan hal tadi sebagai alasan ia tidak belajar.
“Besok ulangan lagi, Val. Fokus,” ucapnya pada diri sendiri.
Valen meraih buku-bukunya, ia juga menghidupkan kembali handphone yang sempat mati tadi. Begitu banyak notifikasi masuk, namun ia tidak punya waktu untuk membaca itu, ia harus belajar.
“Buktiin ke papa kallo lo bisa, Val.”