Malvin dan kepergiannya

Setelah perjalan panjang dari Indonesia ke Jepang. Nasya, Danial, dan juga Malvin dan juga beberapa orang-orang sekolah yang hendak menemani Nasya mengikuti lomba keesokan hari, kini tiba di Jepang.

Alih-alih ke Hotel, Nasya minta izin untuk pergi dengan Danial dan Zarra sebentar, sesuai permintaan Hezekiah.

Nasya sedikit terkejut, karena yang menjemput mereka adalah ayahnya sendiri.

Selama di perjalanan tidak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut mereka.

Nasya merasa keheranan, kenapa ayahnya memberhentikan mobil di sebuah rumah sakit.

“Kok ke rumah sakit yah? Ayah sakit?” Tanya Nasya sebelum turun dari mobil.

Ayah Nasya menatap mata anaknya sebentar. “Kamu percaya ayah?”

Nasya mengerutkan keningnya kebingungan. “Percaya apa Ayah?” Tanyanya lagi.

Ayah tidak menjawab, mereka semua turun dari mobil. Nasya mengikuti kemanapun ayahnya pergi, diikuti oleh Danial dan juga Zarra.

Mereka berhenti tepat di depan sebuah ruangan VVIP. Nasya terdiam, sontak ia berjalan mundur ketika membaca nama yang ada di pintu tersebut.

“Gak mungkin,” ucap Nasya tidak percaya.

Zarra tidak bisa menahan air matanya, namun ia tetap berusaha untuk menenangkan Nasya.

“Ayo ca,” ujar Zarra seraya menggenggam tangan Nasya.

Ayah Nasya membukakan pintu ruangan tersebut. Di sana sudah ada papa Malvin, Hezekiah, dan Malvin yang tertidur lemah dengan bermacam-macam alat mengelilingi dirinya.

Tubuh Nasya melihat pemandangan itu. Ia tidak percaya, ia berharap bahwa ini adalah mimpi.

“Ca .... ” Panggil Malvin dengan pelan.

Dengan langkah yang pelan, Nasya menghampiri Malvin, ia duduk di kursi yang ada di sebelah kiri Malvin.

“Nasya disini kak,” jawabnya pelan.

Nasya dapat melihat Malvin tersenyum di balik masker oksigen yang ia kenakan.

“Cantiknya Malvin apa kabar?” Tanya Malvin dengan susah payah.

Nasya berusaha keras untuk tidak menjatuhkan air matanya, ia tersenyum ke Malvin.

“Baik, sangat baik,” jawab Nasya berbohong, tentu saja keadaannya kini sedang tidak baik-baik saja.

Malvin lagi-lagi tersenyum, ia mengangguk pelan.

“Pacarnya Malvin besok lomba ya?” Tanya Malvin lagi.

Ia benar-benar bersusah payah agar bisa berbicara.

Lagi-lagi Nasya mengangguk. “Iya, pacar kak Malvin besok lomba,” jawabnya.

Hati Nasya terasa sangat sakit, ia terkejut ketika Malvin masih memanggil dirinya dengan sebutan pacar.

Malvin menggerakkan tangan kirinya pelan, ia meletakkan tangannya di pipi kanan Nasya.

“Hebat pacarnya Malvin,” puji Malvin dengan senyum yang tak pernah luntur.

Nasya tidak tau harus menjawab apa, hatinya terasa sakit. Ia sangat ingin berteriak dan nangis sekencang mungkin saat ini.

“Aku juga pengen hebat kayak cantiknya aku.”

Nasya memegang tangan Malvin yang masih mengusap pipinya.

“Kak Malvin hebat! Besok kakak duduk di sebelah Nasya ya? Kita lomba sama-sama,” pinta Nasya.

Malvin mengangguk lemah.

“Cantik, besok tampilkan seakan-akan aku juga ikut dalam lomba itu ya?”

Nasya mengangguk. “Pasti kak!”

“Tadi capek?”

Nasya menggeleng. “Gak, sama sekali enggak. Kak Malvin capek ya?” Tanyanya.

Malvin mengangguk, tangannya masih mengusap lembut pipi Nasya.

“Aku pengen istirahat,” jawabnya.

“Istirahat kak,” sahut Nasya.

Nasya meletakkan kembali tangan Malvin di kasur, namun ia letakkan di atas tangannya.

Malvin mengalihkan pandangannya, menatap setiap orang yang ada di ruangan tersebut.

Ia menatap Hezekiah, Danial, Zarra, Papanya, dan juga Ayah Nasya secara bergantian.

“Aku izin istirahat ya?” Izinnya ke mereka semua.

Mereka semua mengangguk.

“Istirahat Vin,” jawab Danial.

“Dan, Ze, gue titip anak Riddin ya?” Lirihnya pelan.

Mereka berdua mengangguk. “Sampe lo udah selesai istirahat Vin,” ujar Danial dengan suara bergetar karena menahan tangis.

Tatapan Malvin beralih ke Zarra. “Zar,” panggilnya.

“I-iya kak?”

“Titip anak kecil cantik gue ya?”

Zarra mengangguk, namun ia tidak bisa menahan tangisnya.

“Iy-a kak,” jawab Zarra.

“Kenapa kakak nitip aku ke Zarra? Harusnya kakak yang jaga aku kan?” Protes Nasya.

Malvin kembali menatap Nasya.

“Cantik, kamu tau gak aku dipanggil apa di sekolah?” Tanya Malvin dengan suara yang terputus-putus karena lemah.

“Panglima,” jawab Nasya dengan suara parau.

Malvin mengangguk, ia memejamkan matanya sejenak.

“Itu takdir aku sayang,” ucapnya. “Panglima yang memimpin di club aku, dan juga pemimpin rumah tangga kita nanti,” tambahnya.

“Kalo gitu nikahin Nasya kak, Nasya mau nikah sama kak Malvin!”

“Ayah, boleh kan Nasya nikah sama kak Malvin?” Tanya Nasya ke ayahnya.

Ayah tersenyum lembut. “Boleh sayang,” jawab Ayah.

“Om, Nasya boleh nikah sama kak Malvin?” Kini Nasya bertanya ke Papa Malvin.

Papa Malvin mengangguk. “Sangat boleh.”

“Ayo kak nikah!”

Malvin tersenyum ia mengangguk. “Aku istirahat dulu ya?”

Nasya menggeleng dengan kuat. “Nasya punya banyak Pororo drink!” Ujar Nasya.

Malvin terkekeh pelan mendengarnya. “Aku boleh minta?” Tanya Malvin bercanda.

Nasya mengangguk dengan serius. “Nasya kasih dua puluh!”

“Kalo gitu aku minta seratus.”

“Nasya kasih semuanya gratis.”

Senyum Malvin semakin mengembang, air matanya mengalir membasahi pipinya.

Ia merasa sakit di segala sisi, menahan perihnya harus melihat gadis yang ia cintai. Dan menahan sakitnya penyakit ganas yang bersarang di tubuhnya.

“Nasya mau cium kak Malvin,” pinta Nasya tanpa peduli siapa yang ada di ruangan tersebut.

Malvin mengangguk memberi izin.

Nasya bangkit dari duduknya, ia mengecup kening Malvin lalu menatap mata Malvin.

“Sekarang kak Malvin udah boleh istirahat, tapi sebentar ya?”

Malvin mengangguk. “Iya cantik,” jawabnya.

Nasya mengusap air mata Malvin.

“Selamat beristirahat Panglima Malvin, istirahat sebentar agar semuanya membaik. Nasya sayang sama kak Malvin sekarang dan selamanya.”

Malvin tersenyum mendengar hal tersebut, ia hendak menjawab pernyataan Nasya, namun bibirnya terasa berat, matanya juga.

Perlahan Malvin menutup matanya, bersamaan dengan itu monitor yang ada di sebelah Malvin menunjukan garis lurus, menandakan kini Malvin telah beristirahat dengan tenang.

Tangis Zarra pecah, namun dengan cepat Danial memeluknya. Begitupun dengan Danial sendiri, ia tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Hezekiah yang sedari tadi menahan dirinya agar tidak jatuh, kini ia benar-benar jatuh terduduk lemah.

Nasya masih memaksakan agar ia tetap tersenyum, walaupun air matanya tidak bisa tertahan.

“Kak Malvin hanya istirahat sebentar,” ucapnya meyakinkan diri.

Ayah Nasya menarik Nasya ke pelukannya.

“Ikhlasin Malvin ya nak,” ucap papa Malvin memohon.

Tangis Nasya pecah, kini ia tidak bisa menahannya lagi.

“Bangunin Nasya dari mimpi ini ayah!” Teriak Nasya.

Nasya berharap bahwa ini adalah mimpi, namun ini semua adalah kenyataannya.

Malvin telah tidur berisitirahat seperti yang ia bilang. Tidur tenang, meredakan semua rasa sakitnya.

Namun ia beristirahat untuk selamanya.