#.
“Kenapa Rel?” tanya Maraka ketika dirinya dan juga Aurel sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.
Aurel tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak dan berpikir, apa sudah saatnya ia jujur mengenai keadaan Ran.
“Rel?” Maraka mengusap pelan pundak Aurel, membuat Aurel tersadar.
“Kamu jangan marah ya?” tanya Aurel membuat Maraka kebingungan.
Maraka menatap Aurel dengan tatapan kebingungan, kenapa dirinya harus marah.
“Kenapa sayang?”
“Ran .... ” Aurel menggantung ucapannya.
“Iya, Ran kenapa?” heran Maraka.
Aurel mendengus kasar. “Ran mengidap short term memory loss Raka.” Air mata Aurel terjatuh bersamaan ucapannya.
Deg
Maraka terdiam, tidak paham dengan apa yang baru saja ia dengar dari Aurel.
“M-maksud kamu?” Maraka menagih penjelasan yang lebih jelas kepada Aurel.
“Waktu kamu suruh aku bawa Ran ke rumah sakit, aku tau semuanya. Ran mengidap short term memory loss karena setres dan kesehatan mental dia, dan kondisi kepalanya memang tidak baik-baik saja—”
“Ran menceritakan semua— semua yang dilakukan ayahnya ke dirinya sendiri.”
Maraka terdiam mencerna semua hal yang dikatakan oleh Aurel.
“Ran sama sekali tidak marah Ka, dia berterima kasih karena Tuhan telah membantunya untuk tidak membenci ayahnya yang kasar.”
Air mata Aurel semakin deras mengalir membasahi pipinya.
“Maafin aku,” lirihnya seraya menangis.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang?”
“Karena Ran— dia gak mau kalian tau, dia gak mau kalian terbebani karena dia Raka.”