Pagi

“Pagiku, cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku, di pundak.” Aku bersenandung ria saat kakiku berjalan menuju dapur.

Pagi ini aku sedikit senang karena berhasil bangun pagi, tentu saja hari ini aku akan dapat jatah telur yang bagus tanpa ada yang mencurinya setengah.

Ya, hari ini aku sudah berniat dengan sungguh, bahkan aku mandi lebih awal.

Tapi, kaki ku terasa lemah ketika sampai di depan meja makan—dimana Ayah, Rainan, Jovan dan Navan berada—aku heran, aku kira mereka belum bangun.

“Padahal gue udah niat buat bangun pagi, keduluan juga,” cicitku sembari menarik kursi yang sudah biasa menjadi kursi ku saat makan.

Mereka sontak tertawa, bahkan Ayah pun tertawa.

“Pagi kamu jam berapa, Azel? Jam tujuh? Ayam aja jam tujuh udah jemur baju,” kata Ayah, mengejekku tentu saja. Buat mereka itu lucu, tapi buatku itu sangat menyakitkan Oke berlebihan.

“Biasa, 'kan, Azel bangun jam tujuh pas, Yah. Ini jam tujuh dia udah siap,” respon Jovan disetujui oleh yang lainnya.

“Yang penting telur gue aman.” Ya, tujuan aku bangun pagi, 'kan, agar telur sarapan ku aman.

“Adik-adik juga belum bangun, Zel. Makanya aman, untung kita baik hari ini,” kata Navan.

Gue cuman ngangguk dan melanjutkan sarapan gue, begitu juga dengan Ayah dan yang lainnya.


“Yah, kita berangkat!” Teriakku.

“Ya, hati-hati.”

Setelah mengenakan sepatu kita segera beranjak berangkat sekolah, jalan kaki? Tentu tidak. Karena kita akan berangkat dengan kendaraan kebanggaan, yaitu, angkot.

Seperti biasa kita harus ke jalan raya dulu untuk menunggu angkot, jadi mau tidak mau dari panti asuhan kami harus jalan. Tidak jauh, hanya sepuluh menit kalau jalan.

Tapi, hari ini kita hampir terlambat.

“Lari bego!” Teriak Rainan kemudian berlari terlebih dahulu.

“Selain terlambat angkot bakalan penuh, cepetan!” Susul Jovan yang ikutan berlari.

Aku dan Navan masih jalan santai, kemudian aku menoleh ke arah Navan.

“Lo ... Sanggup?” Tanyaku memastikan keadaan Navan.

Navan terlihat pasrah. “Jadi orang susah harus sanggup, toh.”