pahitnya kehidupan

“Darimana aja?” suara yang pertama kali Atha dengar saat dirinya membuka pintu kamar adalah, suara berat Johnny, sang abang.

Atha tidak langsung menjawab pertanyaan dari Johnny, ia sedang sibuk melepas sepatu yang ia kenakan, lalu ia letakkan pada rak yang berada di luar rumah.

“Jawab.” Johnny menarik tangan Atha karena Atha hendak pergi begitu saja.

“Not your problem,' jawabnya pelan namun tegas.

Atha hendak menepis tangan Johnny, namun kekuatan Johnny lebih kuat membuat tangan Atha terasa sakit.

“Mau lo apa, sih?”

Atha mendengkus kesal. “Lepas,” tegasnya. “Lepas gue bilang!”

Karena tidak mau membuat keributan Johnny melepas cengkraman tangannya. “Jawab, mau lo apa.”

“Gampang kok, mau gue, lo jangan ikut campur dikehidupan gue, udah itu aja.”

“Lo itu masih adik gue, Athalia!”

Emosi Johnny hampir tidak terkontrol, membuat ia membentak Atha dengan suara sedikit keras.

Atha sama sekali tidak takut, sudah biasa terjadi hal seperti ini, ia hanya tersenyum mendengar bentakan dari Johnny.

Then, gak usah jadi abang gue lagi, gampang, kan?”

Atha memutar bola matanya malas seraya membalikkan badannya hendak melangkah menuju kamar.

“Minum susu dulu, nak,” ucap seorang wanita paruh baya berama Devi ; mama Atha dan juga Johnny, yang sedari tadi mendengar pertengkaran abang adik itu.

“Gak usah sok peduli,” jawab Atha sangat tidak ramah, ia melewati Devi begitu saja dan menaiki tangga satu persatu.

“Gak bisa di biarin.” Johnny hendak menghampiri Atha, ingin memberi pelajaran karena sikap gadis itu yang sudah sangat kelewatan.

“Jangan, nak,” larang Devi seraya menahan tangan Johnny. “Wajar dia begitu, dia pasti trauma dan marah ke mama,” sambung Devi lirih.

Johnny menghela nafas mengatur emosinya, perlahan ia berlutut di hadapan Devi. Johnny mengambil gelas susu yang tadinya hendaka Devi berikan kepada Atha, ia meletakkannya di lantai untuk sementara. Lalu Johnny menggenggam tangan Devi yang terasa sangat dingin.

“Maafin Atha ya, ma?”

Devi mengangguk dan tersenyum dengan sangat lembut. “Wajar dia seperti itu, dia marah dan trauma ke mama, seharusnya juga mama yang minta maaf ke Atha.”

“Gadis kecil yang harus merasakan pahitnya kehidupan karena keegoisan mama dan papa,” lanjut Devi lirih, bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

“Mama gak usah mikir begitu, pasti Atha bakalan damai dengan masa lalu nantinya, kayak Jo. Sekarang mama, Jo antar ke kamar, ya? mama harus istirahat, besok mama ada jadwal ke rs, kan?”

Devi mengangguk sebagai jawaban. “Iya Jo, terima kasih, ya.”


“Lo bisa sopan?” ucap Johnny tanpa permisi membuka pintu kamar Atha yang tidak terkunci.

Johnny sedikit terkejut saat mendapati adiknya yang hendak membuka hoodie yang ia kenakan. “Jangan di lepas dulu, gue mau ngomong.”

“Lo bisa sopan? masuk ke kamar orang ketuk dulu pintunya.” Atha tidak memperdulikan perkataan Johnny barusan, ia tetap melepas hoodienya, untung saja masih tersisa kaos di dalamnya.

“Stop Atha, lo tau kan mama sakit?”

“Gak.”

Johnny mengusap wajahnya kasar karena jawaban dari Atha.

“Udah Atha, udah. Udah saatnya kamu lupain masa lalu, berdamai gak ada salahnya, lo gak kasihan sama mama?”

Atha yang tadi sedang sibuk mengeluarkan dompet-dompet hasil copetnya hari ini, ia memberhentikan aktivitasnya ia. Gadis itu melangkah dan berhenti di hadapan Johnny.

“Lo gak kasihan sama gue?” tanya Atha dengan emosi yang hampir menguasai dirinya, ia sengaja memberi jeda pda ucapannya itu. “Lo gak tau betapa sakitnya gue?”

Atha menujuk telinganya dengan jari telunjuk, lalu berkata, “Dengan kuping ini, gue denger semua pertengkaran mama sama papa, dan dengan kuping ini, gue denger kalo mama itu kupu-kupu malam.”

Tangan Atha berpindah menunjuk matanya, lalu ia kembali berkata, “Mata ini melihat sendiri papa check in dan ciuman dengan wanita lain, LO KIRA GUE GAK SAKIT, JOHNNY!” Atha berteriak seakan-akan tidak peduli siapa lawan bicaranya sekarang.

Air mata Atha menetes dengan emosinya, luka lama kembali memutar diingatannya, semua kejadian pahit itu terputar jelas di kepalanya. Atha emosi namun ia hanya bisa meluapkannya dengan menangis.

“Capek bang, capek,” lirih Atha kepada Johnny yang hanya diam mematung.

Johnny hanya bisa diam karena Atha, ia sama sekali tidak marah, yang ada ia menyesal telah membuat adik satu-satunya menangis.

Tangan Johnny tergerak menarik Atha ke pelukannya, mengusap pelan punggung gadis itu agar merasa tenang.

“Stop Johnny stop, jangan paksa gue lagi, gue juga capek. Berulang kali gue berusaha untuk mati, berulang kali gue melakukan kejahat, lo kira gue nyopet karena apa? Gue berharap ditangkap polosi, Jo. Gue rela habisin hidup gue di penjara.”

“Sttttt, udah, sorry abang kelepasan, tidur, ya? Besok sekolah, udah abang daftarin, semua yang kamu butuhin ada di atas meja.”

“Terserah, gue udah capek, Jo.”