Prolog

If I turn back time, I just want to hug you.

tw // self harm , blood


Dera Juankala, anak sulung serta Abang satu-satunya bagi Juinara Kalandra, kini dia baru saja tiba di rumah orang tuanya kembali—setelah beberapa tahun memutuskan untuk tinggal di rumahnya sendiri.

Dera yang baru saja menikmati kesuksesan karirnya, kini harus kembali lagi ke rumah yang terus dia hindari itu, hanya demi Nara, adik satu-satunya yang selama ini dia abaikan secara tidak sengaja.

Wajah Dera begitu panik ketika dia sampai di depan rumahnya itu. Rumah itu tampak sepi dan berantakan. Banyak pecahan vas bunga yang berserakan di lantai.

“Nara,” panggil Dera sedikit berteriak, Dera berharap Nara menyambutnya seperti yang Nara lakukan ketika Dera pulang dari sekolah dulu.

Namun sayangnya Nara tidak melakukan itu sekarang, bahkan gadis kecil itu tidak menyahuti panggilan dari Dera.

Dera menaruh kecemasan di benaknya, apalagi setelah pesan terakhir yang dikirimkan oleh Nara.

Tangan Dera tertahan saat dia ingin membuka kenop pintu kamar Nara, dia seakan belum siap untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun, sedikit berharap semuanya baik-baik saja.

“Nara ... Abang pulang, kamu mau ikut Abang, 'kan? Abang udah pulang, Nara,” kata Dera ketika pintu kamar Nara terbuka.

Tidak ada siapapun di dalam sana, hati Dera seketika terasa sakit, dan dia semakin takut. Kamar Nara begitu berantakan, tidak seperti biasanya, Dera tahu Nara bukan anak yang berantakan.

Kaki Dera melangkah menuju kasur Nara yang sudah berantakan, dia duduk di sana. Dera melihat beberapa tumpukan novel yang sudah tersobek di atas sana.

Saat Dera sedang melihat kesekeliling, indera pendengaran Dera menangkap suara yang berasal dari kamar mandi. Segera Dera bangkit dan menuju ke sana.

Tanpa ragu Dera membuka pintu kamar mandi itu, saat dia mendengar suara gemercik air mengalir dari dalamnya.

“Nara!” Pekik Dera begitu kuat sambil melangkah ke dalam.

Bagaimana tidak, baru saja Dera melihat Nara yang sedang terduduk dengan tatapan kosong di bawah shower yang terus mengalirkan air membasahi tubuh gadis itu. Air yang mengalir dari shower berwarna jernih berubah menjadi merah ketika mengenai tangan Nara.

Di samping Nara juga tergeletak laptop dan juga beberapa sobekan kertas yang sudah basah.

“Nara ...,” panggil Dera lirih ketika dia kini sudah duduk di samping Nara—tidak lupa dia mematikan shower sebelumnya.

“Abang di sini.”

Nara tidak menjawab tatapannya masih kosong, namun Dera bisa melihat air mata mengalir dari mata gadis kecil di sampingnya.

Tidak peduli dengan tubuh Nara yang sudah basah, Dera menarik tubuh Nara ke dalam pelukannya, memeluk tubuh itu dengan begitu erat, pelukan yang seharusnya dia berikan sejak dulu.

“Kata mereka Nara gagal, Nara harusnya mati aja,” ucap Nara tanpa menoleh ke Dera seakan-akan dia sedang berbicara sendiri.

“Mereka siapa? Mereka bukan siapa-siapa kamu, Nara. Jangan didengar, ya. Nara sama sekali nggak gagal,” balas Dera menenangkan sang adik, walau dia tahu itu tidak akan berhasil.

“Papa sama Mama yang bilang begitu, Abang. Nara gagal, Nara enggak berguna, mereka menyesal.”

Nara menoleh hingga kini netra dirinya dengan Dera saling bertemu. Dera yang ditatap terdiam saat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Nara.

“Menyesal karena punya anak seperti Nara.”