prolog

“Ada Papa di sini, Nak.”

tw // mention of bullying , self harm , darah , cutter


Saat itu dia masih menduduki kelas tiga sekolah menengah pertama. Dia, namanya Sanna Varrellia Khaisan, atau lebih dikenal dengan gadis murah senyum.

Dia sering dipanggil dengan panggilan San oleh semua orang, biar pendek saja. Bukan tanpa alasan San dikenal dengan gadis murah senyum, sebabnya satu komplek perumahan dia tahu kalau San adalah gadis murah senyum.

Setiap pagi atau setiap San keluar rumah dia akan selalu menyapa dengan senyuman ramahnya.

Namun, senyum itu hilang seketika, direnggut oleh kejamnya dunia kepada gadis tidak bersalah itu.

Malam itu gadis itu pulang seperti biasa ke rumahnya, setelah satu harian belajar di luar. San pulang dengan penampilan yang tidak biasanya, tidak ada senyum yang terukir, seragam sekolah yang sedikit berantakan.

Llilia—Mama San—merasa heran ketika gadisnya itu melaluinya begitu saja. Biasanya San akan menghampiri Llilia dan menceritakan semua kegiatannya hari ini, namun malam itu tidak ada. San terus melalui Llilia dengan tatapan kosongnya.

Llilia merasa heran pun segera menghubungi suaminya—Jeffery Khaisan— yang masih bekerja. Untung saja Jeffrey saat itu sedang dalam perjalanan pulang, jadi Llilia tidak begitu khawatir.

Llilia terus berusaha memanggil dan mengetuk pintu kamar San, namun tidak ada jawaban. Sampai akhirnya Jeffrey pun sampai di rumah, dengan cepat dia mendobrak pintu kamar San.

Jeffrey khawatir karena beberapa hari yang lalu San cerita kepadanya kalau dia hampir menjadi korban bullying. Saat mendapatkan laporan kalau San pulang dengan keadaan berantakan, Jeffrey semakin khawatir.

Pintu kamar San berhasil didobrak oleh Jeffrey, namun Jeffrey dan Llilia tidak menemukan San di dalamnya. Llilia melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar San.

Setibanya Llilia di depan pintu kamar mandi, kakinya membeku seketika.

“Mas!” teriak Llilia dengan begitu keras hingga menarik perhatian Jeffrey yang segera menghampirinya.

Tak kalah terkejutnya dengan sang istri, Jeffrey segera berlari ke dalam kamar mandi ketika mendapatkan San yang kini terduduk di bawah shower dengan air yang terus mengalir membasahi tubuh gadis kecil itu. Yang membuat mereka terkejut tidak hanya itu, tapi juga air yang mengalir di lantai kamar mandi berwarna merah, berasal dari darah yang mengalir dari lengan San, bercampur dengan air.

Jeffrey segera melepaskan jas yang dia kenakan, kemudian dia kenakan ke tubuh San, dan memapahnya segera keluar dari sana menuju tempat tidur.

“Ambil baju ganti, Ma,” titah Jeffrey yang segera dipatuhi oleh Llilia.

Jeffrey kembali fokus kepada San yang kini ada di pelukannya. San masih sama, masih dengan tatapan kosongnya.

“Kenapa? San kenapa? Ada yang jahatin kamu, Nak? Siapa?” Jeffrey memancing San dengan pertanyaan.

Namun percuma karena San tetap diam, hanya ada air mata yang mengalir dari matanya. Air mata itu membuat Jeffrey dan Llilia begitu sakit melihatnya.

Jeffrey kembali memeluk erat tubuh San, berusaha memberikan kehangatan dan juga keamanan untuk anaknya itu.

“Nggak apa-apa, ada Papa di sini, Nak.”

“Ada Papa.”