prolog
Hari sudah hampir sore, sudah biasa kalau suasana sedikit berisik terlebih oleh anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman panti asuhan yang tidak terlalu besar.
Hai, perkenalkan aku Azel, Azel Khaisan, panggil saja Azel. Saat ini aku dan ketiga teman? Ah, bukan, sahabat? Sepertinya lebih baik aku katakan keluarga. Aku sedang duduk di halaman yang sama dengan mereka, tidak banyak yang kami lakukan, hanya bercengkrama dan sesekali tertawa karena candaan.
Sesekali aku juga menatap mereka hanya sekedar melihat ekspresi wajah yang mereka tunjukan kala mereka berbicara atau tertawa. Rasanya hangat sekali, kehangatan dalam kesederhanaan yang sudah belasan tahun aku rasakan.
Aku belum memperkenalkan mereka, ya. Mereka itu adalah Rainan, Jovan, dan Navan. Sedikit tentang mereka yang aku tahu, Rainan umurnya tidak terlalu berbeda jauh dari ku, tapi dia sedikit tua dari ku. Rainan itu ... Aku sedikit takjub dengan dia, terlebih kepintarannya.
Lalu Jovan dan saudara kembarnya Navan. Jovan dia sangat suka senyum kalau Navan dia suka membuat siapapun tersenyum atau tertawa, sayangnya dia melakukan itu demi untuk menutupi rasa sakit yang sedang dia alami. Seperti sekarang dia sedang mengatakan tentang harapannya—dia mau sembuh, sakit itu tidak enak, bisa sembuh nggak—tentang kehidupannya.
Lalu ku lihat juga Jovan sedang menatap Navan dengan begitu tulus. Aku pernah lihat kerja keras dia bahkan pernah mendengar kalau dia sangat bersungguh-sungguh ingin membantu Navan dari sakitnya. Tapi keterbatasan dana, hanya doa dan semangat yang bisa Jovan berikan.
Lalu ku alihkan pandanganku menatap Rainan yang sedari tadi hanya diam, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Biar ku tebak, sepertinya dia sedang embayangkan bagaimana seharusnya hidupnya bisa bahagia tanpa ada rasa khawatir sedikitpun seperti saat ini.
Karena aku pernah mendengar dari dirinya sendiri, dia sedih kala mendengar harapan demi harapan, khayalan demi khayalan yang setiap kali kami bicarakan. Terlebih tentang harapannya yang mungkin tidak akan pernah terwujudkan.
Aku hanya bisa tersenyum, lebih tepatnya berusaha untuk tersenyum. Lalu aku berpikir sesuatu untuk merubah suasana yang semakin menyedihkan ini.
“Suatu saat kita pasti punya rumah,” ucapku spontan sambil menatap ke arah mereka satu persatu.
Mereka tidak langsung menanggapi ucapan ku, terlihat dari wajah mereka yang kebingungan.
“Pasti kita bahagia. Terus nanti kita bakal ngerasain punya orang tua, keluarga, dan kita gak akan kesepian lagi,” respon Rainan sambil meluruskan kakinya dan menatap ke arah ku.
Aku mengangguk sembari mengukir senyum tipis. Rainan benar-benar memahami kata 'rumah' yang aku ucapkan tadi.
Bukan rumah buat berteduh karena sekarang pun mereka punya itu. Tapi kebahagiaan dan juga keluarga utuh, terlebih orang tua ... Di sini aku dan yang lainnya hanya mempunyai Ayah yang selalu mengurus kami.
Aku mendengar hembusan napas kasar Navan, itu menarik perhatian ku menjadi menatapnya.
“Emang ada yang mau ngadopsi gua? Gue 'kan penyakitan,” kata Navan begitu terdengar putus asa. Padahal aku tahu Navan sangat ingin diadopsi oleh seseorang yang mampu, tapi rasanya dia tidak percaya diri. Seakan mengatakan memang ada yang mau anak penyakitan kayak gue? Sakit. Aku sangat sakit hati mendengarnya.
“Nggak ada yang nggak mungkin, 'kan, Nav?” Jovan menyenggol tangan Navan. Aku mengangguk setuju dengan Jovan. Aku menyungging senyum lebar mendengarnya sama hal dengan Rainan, kami tahu Jovan begitu sayang kepada Navan dan tidak mau melihat Navan putus asa seperti ini.
Navan mengangguk, syukurlah Navan mendengar ucapan kembarannya sendiri.
“Coba aja kalau kita diadopsi orang kaya,” ucapku mulai berangan kembali. “Enak kali, ya?” tanyaku sambil menatap mereka satu persatu. Aku tersenyum, membayangkannya saja membuatku senang seperti ini, membayangkan bagaimana bahagianya nanti mereka hidup tanpa ada beban.
“Gue kalo diadopsi orang kaya beneran. Gue mau mandi duit setiap hari,” celetuk Rainan diiringi tawa.
Kita bertiga sontak tertawa mendengar celetukan ajaib dari Rainan.
“Nggak, sih, kalau gue mending wallpaper kamar gue ditempeli duit aja. Jadi wangi duit setiap hari,” kata Jovan tak kalah absurd dari celetukan Rainan.
Aku menggeleng mendengarnya. Bisa-bisanya Jovan berpikir seperti itu. Tapi wajar saja, mengingat wallpaper kamar kami yang sekarang hanya dibaluti cat yang akan terkelupas kala disentuh. Tapi, bagaimana kalau tuyul yang datang ke kamarnya nanti? Kalau wallpaper kamarnya saja duit, dasar Jovan.
“Terus karpetnya dari duit, kasurnya dari duit, semuanya serba duit,” timpal Navan yang tak kalah absurd dari Rainan dan Jovan.
Kami pun sontak tertawa berbarengan, bahkan Rainan sampai menutup mulutnya menggunakan tangan karena tidak sanggup menahan tawa.
“Tapi, daripada duit gue lebih pengen disayang,” kata Rainan. Aku berhenti tertawa setelah mendengar kalimat itu, tidak hanya aku tapi Jovan dan Navan juga.
Aku jadi terpikirkan kata 'disayang'. Rasanya seperti apa? Aku pernah merasakannya dari Ayah, tapi aku tidak pernah merasakan disayang tapi lebih ke itu kewajiban Ayah untuk aku dan yang lainnya.
“Gimana rasanya disiapin bekal sama Ibu,” sambung Rainan.
Aku tersenyum ... Ibu ... Apa rasanya disayang oleh Ibu? Aku tidak bisa membayangkannya, karena selama aku hidup aku belum pernah memanggil seseorang yang bernama Ibu.
“Dianterin sekolah sama Bapak,” kata Rainan lirih. Rainan seperti menahan sesuatu ketika mengucapkan hal itu.
Aku melihat raut wajah kesedihan di sana. Kalau kami sekolah biasanya jalan kaki sendiri, Ayah tidak pernah mengantar kami karena dia punya tanggung jawab besar untuk adik-adik yang lain.
“Pokoknya disayang.”
Aku mengangguk paham, perlahan aku gerakkan tanganku menepuk pundak Rainan perlahan.
“Iya, disayang,” kataku lirih.
Suasana menjadi hening seketika, aku sedang berimajinasi dengan pikiranku, membayangkan bagaimana bahagianya aku kalau mempunyai keluarga kaya raya terus disayang seperti yang Rainan katakan tadi. Sepertinya mereka bertiga juga sedang melakukan hal yang sama.
Sampai tiba-tiba Navan berucap, “Disayang kalau nggak ada duit mah sama aja.”
Aku mengangkat kepalaku bersamaan dengan Rainan. Kami pun saling melemparkan tatapan, begitu juga dengan Jovan, sampai kami tertawa karena ucapan Navan yang berhasil menghancurkan imajinasi ku.
Menggelikan memang, dasar Navan mata duitan. Tapi realistis juga, sih.
“Serius deh, jadi orang kaya, enak gak, ya?” Jovan bertanya kala tawa kami sudah mereda.
Aku memicingkan mata sejenak kemudian menjawab, “Ya, menurut lo. Kalau kita jadi anak orang kaya, kita bisa beli apa aja. Nggak usah capek-capek nabung kayak sekarang.” Jawabanku disetujui oleh Rainan dan Navan, dan juga Jovan, mereka bertiga mengangguk sebabnya.
Rainan menoleh menatapku, aku mengerutkan kening akibat kebingungan.
“Azel muka lo nggak ada cocok-cocoknya jadi orang kaya.” Rainan mengejekku sambil menepuk pundak ku.
Wah, aku kira dia akan berkata hal serius, nyatanya dia mengejekku. Untung saja hanya Rainan, tapi tetap saja karena Jovan dan Navan ikut tertawa karena ejekan itu.
Aku hanya bisa mendengkus kesal.
“Nggak apa-apa ya, Zel. Nanti lo tinggal oplas aja.” Jovan memberi saran. Tidak! Bukan saran, tapi juga ejekan! Argh! Rasanya aku pengen marah kepada mereka, tapi pasti aku akan kalah jumlah.
Aku memicingkan mata menatap Jovan dengan tatapan tajam, kemudian beralih ke Navan dan Rainan yang ikut menertawakan ku. Sepertinya tatapan tajam dariku tidak membuat mereka takut, malahan mereka semakin menertawai ku. Aku ikut tertawa, bukan karena lucu karena terpaksa saja.
Aku heran kenapa mereka sering sekali mengejek wajahku, padahal kalau dilihat-lihat aku sangat tampan, bahkan ibu-ibu komplek sering memujiku. Walau tidak sebanyak pujian untuk Jovan dan Rainan, ah ... Dan juga Navan.
Kenapa mereka begitu banyak mendapatkan pujian. Padahal 'kan aku juga tampan. Walau tidak setampan dan segagah Ayah yang menjadi pria idaman ibu-ibu komplek.
Ayah ... Seorang pria yang tanpa aku sadari kini sedang berdiri di belakang kami. Aku sadar kehadirannya ketika aku menoleh ke belakang, aku melihatnya tersenyum dengan beberapa cemilan sore hari di tangannya. Perlahan ku lihat senyum itu memudar, aku berharap Ayah tidak mendengar semua percakapan kami tadi, aku takut Ayah akan marah atau tersinggung karena kami lagi dan lagi menyinggung tentang adopsi.
“not home; rumah itu apa?”