Prolog
Sadajiwa Harshil Biantara, atau panggil saja dengan sebutan Jiwa.
Sudah menjadi kegiatan rutin dan wajib bagi Jiwa datang ke rumah sakit sesuai jadwalnya. Dengan tujuan agar jangka waktu hidupnya lebih panjang.
Seperti biasa sesekali jadwal Jiwa ke rumah sakit pasti akan bersamaan dengan gadis berusia dua belas tahun, bernama Luna Love, tidak setiap saat, namun beberapa kali hingga mereka kini menjadi teman dekat.
“Luna tumben diem aja?” tanya Jiwa sambil menoleh menatap Luna yang sedang terbaring di ranjang sampingnya.
Jiwa dan Luna sama-sama sedang melakukan proses Hemodialisa atau cuci darah.
Jiwa khawatir kalau Luna kesakitan, karena biasanya Luna akan selalu mengajaknya bicara, walaupun topik pembicaraan mereka kemana-mana.
Luna yang tadinya sedang melamun pun menoleh ke arah Jiwa. Kemudian ia tersenyum.
“Luna bingung aja mau ngomongin apa, Kak. Soalnya kita udah bahas sampai ke dunianya Ruby lagi.” Luna tertawa setelah mengatakan hal itu.
Dunia Ruby yang dimaksud Luna adalah dunia kartun Rainbow Ruby, kartun kesukaan Luna.
Walaupun Jiwa tidak paham dengan yang dibicarakan oleh Luna, ia akan dengan setia mendengarkannya sampai selesai.
“Kalau gitu Kakak aja yang milih topiknya,” tutur Jiwa disahut anggukan kecil oleh Luna.
Jiwa tersenyum lega, setidaknya ia punya teman bicara disaat-saat seperti ini.
“Kalau boleh tahu, ada hal yang Luna benci di hidup Luna?” tanya Jiwa. Jiwa tahu topik pembicaraan yang ia pilih begitu berat, namun entah mengapa rasanya Jiwa sangat ingin menanyakan hal itu kepada Luna.
Luna kembali mengangguk kecil. “Punya, Kak.”
“Apa?”
“Hidup.”
Jiwa terkekeh kecil mendengar jawaban Luna.
“Curang, masa hidup, yang lain?”
Luna tertawa, lalu ia menunjukkan raut wajah seakan-akan sedang berpikir keras.
“Ulang tahun,” katanya, suara yang Luna keluarkan sedikit kecil saat mengatakan itu namun masih dapat didengar oleh Jiwa.
Jiwa tersenyum kecil, lalu kembali bertanya, “Kenapa Luna benci ulang tahun?”
Luna tidak langsung menjawab, gadis kecil itu diam sejenak, mengingat-ingat alasan mengapa ia bisa benci dengan ulang tahun. Padahal, bagi anak seumurannya ulang tahun itu adalah salah satu moment terbahagia yang paling ditunggu-tunggu. Terlebih mereka akan mendapatkan hadiah dari orang terdekatnya.
Namun pada kenyataannya, hal itu tidak terjadi kepada Luna. Dia sama sekali tidak pernah merasakan hari bahagia di hari ulang tahunnya.
“Mama meninggal waktu hari ulang tahun Luna ... .”
Jiwa terdiam seribu bahasa, ia menjadi sedih seketika, bahkan rasa sakitnya terganti dengan rasa sedih itu.
“Maaf Kakak enggak tah—”
“Waktu itu Luna masih sembilan tahun. Luna iri sama teman-teman Luna yang selalu dapat hadiah waktu ulang tahunnya. Ngerayain sama kedua orang tuanya. Sedangkan Luna ... Sama sekali tidak pernah.”
Jiwa tidak membalasnya, ia hanya diam dan menunggu Luna selesai berbicara.
Luna menunduk sebentar, lalu ia kembali mengangkat kepalanya, menoleh menatap Jiwa.
“Luna minta kue ulang tahun sama Mama buat ulang tahun Luna kesepuluh. Mama bilang Mama engga ada uang, tapi Luna maksa Mama.”
Pikiran Luna kembali dibawa ke masa lalu, dua tahun yang lalu ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Mamanya meninggal dengan cara tergantung di dalam kamar.
“Kata Nenek, Mama lagi ada masalah. Luna ... Terus merasa bersalah.” Suara Luna semakin mengecil seperti tidak sanggup berbicara lagi. Namun ia tidak juga menangis.
Paham dengan keadaan Jiwa pun berkata, “Maafin Kakak, ya, seharusnya Kakak gak mulai topik berat ini.”
“Tapi Kakak tahu?”
Jiwa mengernyit kemudian menggeleng.
“Di atas meja kamar Mama ada kue ulang tahun untuk Luna.”
Luna tersenyum kemudian bertanya, “Kalau Kak Jiwa apa?”
“Hm?”
“Apa yang Kakak benci?”
Jiwa tersenyum kecil. “Hidup,” jawabnya.
Jawaban Luna mendapatkan protes dari Luna karena ia merasa dicurangi, sebelumnya gadis itu juga menjawab hal yang sama.
“Curang ih! Tadi Luna jawab hidup juga ngga boleh katanya.”
“Anak kecil ngga boleh.”
Jiwa tertawa karena berhasil membuat teman kecilnya itu kesal.
“Kakak hidup di dunia adalah satu hal yang paling Kakak benci.”
Jiwa tidak berbohong, karena apapun yang telah ia alami selama hidupnya adalah hal terkonyol yang pernah ada.
Berbagai alasan, tidak pernah mendapat perlakuan adil dan baik dari kedua orang tuanya, selalu diremehkan terlebih oleh saudara laki-lakinya.
Hal itu membuat Jiwa benci dengan hidupnya, dan menyesal karena sudah lahir ke dunia ini.
“Orang tua,” kata Jiwa, menarik atensi Luna untuk menatapnya kembali.
“Kakak juga benci orang tua Kakak.”
“Kenapa?”
“Kakak lahir ke dunia ini karena mereka, tapi dengan hadirnya Kakak ke dunia ini seakan-akan tidak diterima oleh mereka. Karena itu Kakak selalu bertanya, kenapa mereka membuat Kakak lahir kalau tidak mereka inginkan?”
“Karena Kakak istimewa?”
Jiwa menggeleng. “Karena mereka tidak tahu cara agar Kakak tidak lahir.”
Jiwa kembali mengingat pembicaraan samar-samar antara kedua orang tuanya kemarin malam. Pembicaraan itu tidak sengaja Jiwa dengar karena ia ingin ke dapur untuk mengambil minum.
Tidak banyak yang Jiwa dengar, tapi ada beberapa kalimat yang ia dengar, dan kalimat itu menjadi jawaban atas pertanyaannya selama ini.
Semua cara udah dilakukan juga anak itu tetap lahir! Yang kena getahnya sekarang siapa? Ya, kita! Kalimat itu Jiwa dengar melalui mulut sang Ibu, sang Ibu yang melahirkannya ke dunia ini.
“Kak ...”
Suara Luna menyadarkan Jiwa dari lamunannya.
“Iya?”
“Ayo kita bahagia di universe lain,” ajak Luna dengan wajah polosnya.
Jiwa ingin tertawa, menerka kalau Luna terkontaminasi film yang baru saja tayang beberapa hari ini.
“Mana ada, Luna,” balas Jiwa sambil menggelengkan kepalanya.
“Universe lain, surga mungkin? Ayo, kak, bahagia di sana.”