.
Pukul 2.00 waktu dini hari, Embun keluar ingin mengecek keadaan Sandy. Ternyata Sandy sedang tertidur dengan posisi terlentang di atas sofa, dengan tangan yang ia letakkan di atas wajahnya.
Embun terkekeh melihat Sandy, perlahan ia mendekati Sandy yang sedang tertidur nyenyak.
“Pasti panas,” monolog Embun dengan suara pelan agar Sandy tidak terbangun.
Benar saja, Embun dapat melihat keringat mengalir di leher Sandy.
“Kak, kak Sandy,” panggil Embun sambil menggoyangkan pelan tubuh Sandy.
“Kak bangun, pindah ke kamar aja,” ucapnya masih menggoyangkan tubuh Sandy.
Sandy mengerang pelan, dengan cepat ia terduduk. “Kenapa? Ada apa?” Tanyanya panik.
Embun tertawa melihat raut wajah Sandy yang terlihat khawatir. “Gak ada apa-apa kak, pindah ke kamar aja. Tapi tidur di bawah ada kasur kecilnya kok. Di kamar ada AC, di luar panas,” jawab Embun.
Sandy menghela nafas lega setelah mendengar jawaban Embun. “Astaga Embun, aku kira ada apa,” katanya sedikit lega.
“Gpp gak panas, tidur lagi sana. Lagian gak enak sama Hujan,” sambungnya.
Embun menggeleng. “Hujan kan tidur di atas sama Embun sama Galaxy, gpp kak,” elak Embun.
Sandy mengangguk, lalu tersenyum lembut ke Embun. “Yaudah, duluan gih,” suruh Sandy agar Embun ke kamar duluan.
“Ay ay CAPTAIN!” Sahut Embun bersemangat.
“Ibu, Embun pulang dulu ya. Ibu jaga kesehatan ya.” Embun memeluk erat tubuh sang ibu, hari ini ia harus kembali ke kota karena besok sudah jadwal Hujan kuliah.
“Iya nak, kamu jaga diri di sana ya. Jaga Hujan juga, jangan sakit-sakit,” balas Ibu lalu menatap Galaxy yang lagi-lagi tertidur di gendongan Embun. “Cucu nenek sehat-sehat ya sayang. Nanti nenek jenguk kalian ke sana,” sambung Ibu seraya mencium pipi gembul Galaxy.
Setelah berpamitan dengan Ibu, Embun menghampiri Ayah yang sedari tadi hanya diam.
“Ayah, Embun pamit ya? Ayah jaga kesehatan, jaga ibu juga ya. Sehat-sehat ayah,” ucap Embun seraya menyalam tangan Ayahnya.
Ayah menarik Embun ke pelukannya, memeluk erat tubuh sang anak.
“Kenapa gak tinggal di sini aja nak? Ayah siap biayain kalian nak, kalo perlu ayah jual kebun ayah,” pinta ayah.
Embun menggeleng. “Embun janji deh lebih sering pulang ke kampung nantinya, ayah jangan nangis gini dong.” Embun mengusap air mata ayahnya.
“Kakek jangan sedih-sedih ya! Galaxy janji nanti ke sini lagiiii,” ucap Embun menirukan suara anak-anak untuk menghibur ayahnya.
Setelah berpamitan, Embun, Hujan dan juga Sandy langsung berangkat dari sana, menggunakan mobil yang dikendarai oleh Sandy.
Belum berapa jauh, Embun menangis, walaupun dengan susah payah ia menahannya.
“Hsssttt, jangan nangis,” ucap Sandy seraya mengelus pelan kepala Embun.
“Ekhem,” dehem Hujan yang berada di belakang, dengan cepat Sandy menarik tangannya dan kembali fokus mengemudi.
Embun tertawa melihat tingkah jahil Hujan. Namun ia juga sedih, karena harus jauh dari ibu dan ayah.
Di sisi lain, di ruang tengah keluarga Arkananta, Mama Una, Papa Arkan, dan juga Jonathan sedang berkumpul, namun tidak ada satupun dari mereka yang berbicara.
“Kalo emang Embun bisa hamil, walaupun dengan program bayi tabung, apa Mama akan nerima Embun kembali?” Tanya Jonathan membuka topik pembicaraan.
Tidak ada jawaban dari Mama Una, dia hanya diam, sama sekali tidak menjawab, bahkan untuk menatap mata sang anak saja enggan.
Jonathan mendecak kesal. “Emang dasarnya mama benci sama Embun, walaupun Embun tidak pernah salah ke mama!” Bentak Jonathan dengan nada meninggi.
Karena emosi, Jonathan meraih kunci mobil yang ada di meja depannya. Dan segera keluar dari rumah itu.