#.

Kita berjuang sama-sama ya.


“Udahan nangisnya,” ucap Fito.

Hanya itu yang keluar dari mulut Fito sedari tadi. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Ran masih berada di rumah Fito.

Bukan untuk yang pertama kalinya, apalagi ayah Ran tidak ada di rumah sekarang.

Hari ini, hari terakhir Ran belajar sama Fito, karena esok dirinya akan menghadapi ujian semester satu.

Suara tangis Ran tidak berhenti memenuhi ruang tamu rumah Fito.

“Kalo Ran remedial gimana,” lirih Ran sesegukan.

“Aku yakin kamu bisa.”

“Ran takut, Ran ngecewain ayah Fito, Ran takut dipukul ayah lagi.”

Fito menghela nafas panjang, memang sulit untuk membantu Ran, dengan kondisi Ran yang mengidap sindrom short term memory loss.

Namun belakangan ini Ran sudah terawat, mulai dari makanan sehat yang diberikan bunda Fito, ataupun yang dibawakan oleh Aurel.

Aurel juga sering membawa Ran ke rumah sakit untuk menjalankan beberapa pemeriksaan, agar kondisi Ran tidak semakin parah.

“Ran gak bisa ingat Fito, Ran bodoh, Ran harus terapi biar Ran sembuh, tapi Ran miskin!” Emosi Ran meluap untuk yang pertama kalinya di depan Fito.

“Ran,” panggil Fito lembut.

Ran menoleh menghadap Fito, menatap mata Fito yang sedang menatapnya juga.

“Apa?” jawab Ran pelan.

“Nanti apapun hasilnya, itu hasil perjuangan kamu. Kalo ayah kamu marah, dan mukul kamu lagi. Kamu lari, sembunyi.”

Hanya itu yang Fito bisa lakukan untuk membantu Ran, sudah seharusnya Ran melawan, dan menghindari ayahnya.

“Tapi nanti ayah semakin marah Fito,” ucap Ran khawatir.

Fito menggeleng. “Ayah kamu mukul karena emosi, jadi kamu lari dan sembunyi setelah itu pasti emosi ayah kamu mereda, kamu gak akan dipukul lagi.”

“Gitu ya Fito?”

“Iya, dicatat di bukunya “

Ran dengan segera mencatat apa yang dikatakan Fito barusan.

Fito menatap Ran dengan sangat lekat, ia merasa bersyukur Tuhan mempertemukan dengan gadis kecil yang memiliki luka namun tidak lemah.

“Ran.” “Kita berjuang sama-sama ya.”