Ran hanya mau cake, Ayah
Tw // self harm
Malam ini, detik-detik sebelum hari berganti, rasanya sangat berbeda bagi Ran. Karena lebih mendebarkan. Sebabnya kala hari berganti, ulang tahunnya akan tiba. Umurnya akan bertambah, dan Ran kembali berharap agar harapan-harapan di tahun sebelumnya terwujudkan tahun ini.
Tidak banyak yang Ran mau, ia hanya ingin sebuah cake ulang tahun dari Ayahnya.
Namun sayangnya Ayahnya belum pulang sedari tadi. Padahal biasanya Johnny sudah pulang jam segini.
Ran memilih untuk tetap menunggu dan menunggu. Sampai akhirnya ia mendengar suara motor yang ia kenali, siapa lagi kalau bukan Johnny yang baru saja pulang.
Dengan cepat Ran melangkah keluar kamarnya dan menghampiri Johnny yang kelihatan begitu kelelahan baru saja masuk ke dalam rumah.
Ran menyambutnya dengan sangat ramah, tidak lupa dengan senyum manisnya.
“Ayah baru pulang? Ayah capek banget, ya? Mau Ran bikinin teh hangat?” Ran bertanya dengan bertubi-tubi. Mengikuti langkah Johnny yang baru saja masuk rumah.
Johnny sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang Ran berikan kepadanya. Bukan karena lelah, tapi karena sudah biasa.
“Ayah, hari ini Ran ulang tahun.”
Tepat pada pukul dua belas malam, Dan mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang berhasil memberhentikan langkah Johnny.
Ran mulai merasa takut, apalagi setelah melihat ekspresi Johnny yang terlihat marah.
“Kamu apa?” tanya Johnny dengan nada bicara biasa saja, namun terdengar menakutkan.
“Ran ulang tahun, Ayah,” jawab Ran dengan suara kecil.
“Terus saya peduli? Kamu berharap saya bawa pulang kue ulang tahun untuk kamu, terus ucapin selamat ulang tahun untuk kamu?”
Ran menunduk, tidak berani menatap wajah Johnny. Apalagi matanya mulai memanas sekarang.
“Bahkan saya tidak berharap kamu lahir. Untuk apa saya ikut serta dalam ulang tahun kamu, Randika?” Kalimat itu membuat Ran tertegun karena gugup dan takut.
Untung saja kali ini Johnny tidak berbuat kasar, ia langsung pergi masuk ke kamarnya dengan membanting pintu, membuat Ran sedikit tersentak.
Ran menyeka air mata yang dengan lancang turun begitu saja. Ia pun kembali ke kamarnya.
Seperti biasa, ia duduk di lantai kamarnya, menyandarkan punggung dan kepalanya di dinding. Perlahan ia benturkan kepalanya, berharap tangisnya mereda.
“Diem, Ran. Diem. Jangan nangis.”
Sayangnya hal itu tidak berhasil, Ran kembali membenturkan kepalanya lebih keras ke dinding.
“Ayah cuman capek aja. Jangan nangis, Ran!”
Ran lelah. Kepalanya sudah cukup sakit karena ia benturkan ke dinding. Ia pun membenamkan wajahnya di antara kedua kaki yang ia tekuk, menangis sejadi-jadinya di sana, serta memeluk kedua kakinya dengan erat.
Ran tidak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri. Bahkan dihari kelahirannya saja ia bernasib seperti ini. Ran jadi berandai-andai, bagaimana jika ia benar-benar tidak terlahir di dunia ini.
Namun, lagi dan lagi Ran harus bertahan bukan? Karena masih ada tahun depan, ia berharap agar harapan-harapan tahun lalu terwujudkan.
Hal sederhana. Karena, Ran hanya mau cake, Ayah.
Seperti biasa keluarga Aditya akan melaksanakan sarapan sederhana. Hari ini Ran sedikit terlambat, biasanya ia yang paling pertama berada di dapur.
Hazel mulai merasa aneh, dan melihat-lihat ke arah kamar Ran, menaruh curiga kenapa gadis kecil itu belum keluar juga.
“Ran kemana?” tanya Hazel ke Markas dan juga Johnny. Johnny hanya diam, Maraka menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.
“Hari ini Ran ulang—”
“Nanti acaranya mulai jam berapa, Bang?” Johnny memotong pertanyaan Hazel, dengan memberikan pertanyaan kepada Maraka.
Maraka meletakkan sendoknya dan menelan nasi yang ada mulutnya.
“Jam empat sore Ayah udah ke sekolah aja, Yah.”
“Ayah harus ke salon gak, ya?”
Maraka tertawa kecil. “Nggak harus segitunya juga.”
“Ayah harus tampil ganteng, dong. Karena Ayah yakin kamu bakalan dipanggil sebagai anak berprestasi lagi.”
Hazel tersenyum miris mendengarnya, namun ia sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraan itu.
“Mungkin, Yah. Raka juga kurang tahu.”
“Ayah yakin, lah. Abang nggak pernah ngecewain Ayah. Gini-gini Ayah bangga sekali sama kamu, Raka.”
Pembicaraan itu terus berlanjut tanpa adanya suara dari Hazel. Karena selain tidak tertarik ia juga sedikit khawatir kepada Ran, yang sampai sekarang belum keluar dari kamarnya.