.

Ran harus bertahan kan?


Kringg...

Suara bel sekolah menandakan waktu istirahat, kini semua murid berhamburan keluar menuju ke kantin.

Namun tidak dengan Ran, hari ini hari pertama bagi seluruh murid baru belajar di kelas.

Seluruh murid di kelas sudah saling mengenal satu sama lain. Namun tidak dengan Ran, dia memilih untuk menjauh karena dirinya tidak dapat mengingat apapun yang terjadi sebelumnya.

Short term memory loss yang dialami Ran, membuat dirinya susah untuk bergaul, dan sekarang Ran khawatir, ia takut kegiatan belajarnya akan terganggu.

“Kamu gak mau ke kantin?” tanya Syifa, teman sebangku Ran.

Ran menggeleng. “Ran belum laper,” jawab Ran sambil tersenyum.

Ran berbohong, nyatanya ia sangat lapar karena dari semalam dia belum makan, dan sekarang ia tidak mendapatkan uang jajan dari sang ayah.

“Yaudah, aku ke kantin dulu ya.”

Ran mengangguk, tangan Ran bergerak memegang perutnya yang terasa sakit.

Untuk mengalihkan rasa sakit dan laparnya, Ran memilih untuk membaca buku kecil miliknya, agar dia ingat apa saja yang telah ia lakukan hari ini.

“Ran!” Ran tersentak kaget mendengar suara Aurel yang tiba-tiba ada di sampingnya.

“Kak Aurel.”

Aurel tersenyum, ia menyerahkan kotak bekal di depan Ran.

“Tadi mamanya kakak masak banyak, jadi kakak bawain buat kamu sekalian,” katanya sedikit berbohong kepada Ran.

Karena tidak ada jawaban dari Ran, Aurel membuka kotak bekal yang ia berikan kepada Ran.

“Ini ada sayur brokoli, ada ikan, ada nasi juga, terus ada tahu tempe, sehat deh nanti Ran.”

Ran menoleh menatap Aurel. “Ini untuk Ran?”

Aurel mengangguk. “Untuk Ran, kakak ke kantin dulu ya, takut abang kamu curiga. Oh ya ini.” Aurel meletakkan susu kotak di atas meja.

“Nanti kalo ada apa-apa langsung kabarin kakak ya, kelas kakak di bawah lantai tiga, dekat uks, di tulis oke, biar gak lupa.”

Ran mengangguk paham, lalu segera menulis apa yang dikatakan Aurel barusan.

Setelah Aurel keluar dari kelas Ran. Ran memakan bekal yang diberikan Aurel.

Ran berusaha agar tidak menangis. Ia merasakan, seperti rasa baru yang pernah tersentuh di indera perasa nya.

Ran masih mengingat dulu, kalau bukan makanan yang hampir basi, atau makanan asin, yang selalu ia rasakan.

Walaupun Johnny masak untuk anak-anaknya, ia akan masak dalam porsi untuk tiga orang, maka dari itu Ran terbiasa mendapatkan sisa.

Ran tersenyum tipis. “Ran harus bertahan kan?” lirihnya pelan.

Ran mengangguk kuat. “Ran harus bertahan!”


“Dari mana?” tanya Maraka ke Aurel yang baru saja tiba di kantin.

“Ada deh kepo,” jawab Aurel singkat.

“Masih marah?”

“Pikir sendiri udah gede.”