rubik itu rusak
Hari ini rasanya begitu melelahkan, bahkan sangat melelahkan daripada hari-hari sebelumnya—tentu hari-hari setelah aku diadopsi—kegiatan yang harus aku lakukan terus menerus bertambah. Les demi les, hari ini selain les piano aku juga harus menghadiri les mata pelajaran perminatan yang benar-benar harus aku pelajari.
Semuanya selesai pukul setengah satu malam, dan sekarang aku sedang ada di perjalanan pulang. Rasanya tidak masuk akal aku baru pulang jam segini. Selama perjalanan aku tidak bisa menahan rasa kantuk ku. Tapi, aku terus menahannya, karena kalau aku sudah tidur, aku akan susah dibanguni.
Akhirnya aku pun sampai di rumah, rumah yang sangat besar itu begitu sepi, bahkan tidak ada suara nyamuk berbunyi. Berbeda dengan panti asuhan, yang sempit dan berisik, namun menyenangkan.
Aku melangkah menuju kamar, saat aku hendak masuk, aku baru saja teringat kalau aku ada janji dengan Rayna. Sebenarnya bukan janji, tapi kalau tidak aku turuti pasti dia akan marah.
Aku pun melangkah dengan cepat menuju rumah pohon, samar-samar aku lihat lampu rumah pohon itu masih menyala, membuat aku yakin kalau Rayna masih terjaga.
Perlahan aku menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati.
Tok tok tok
Aku mengetuk pintu rumah pohon Rayna, cukup lama aku menunggu pintu itu dibukakan. Sampai akhirnya Rayna membukakan pintu dan menyambutku dengan wajah masamnya. Ah, apa yang aku harapkan? Rayna dengan wajah ramah? Tidak mungkin, bahkan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, dia menyambutku dengan wajah masamnya.
“Kenapa?” tanyaku to the point.
Rayna tidak menjawab, dia kembali masuk ke rumah pohonnya itu tanpa menutup pintu. Aku melihat dia mengambil beberapa buku dan sebuah benda kecil. Rayna pun kembali dan menyerahkan barang yang baru saja dia ambil—lima buku dan satu rubik yang sudah rusak.
Aku tidak bertanya tapi tangan ku bergerak meraih barang itu.
“Itu catatan tentang mata pelajaran perminatan, sesuai dengan jurusan, lo,” kata Rayna.
Aku mengernyit, kemudian aku pun membuka satu buku itu, di halaman pertama aku melihat kalimat 'humas' aku tidak asing dengan kalimat ini, aku baru mempelajarinya tadi di sekolah dan di tempat les.
“Maaf rubik lo rusak,” kata dia lirih.
Aku menebak kalau Rayna mengambil rubik itu dari kamarku, tidak usah ditanya lagi, pasti dia masuk dari jendela, karena aku tidak menguncinya.
“Thanks,” responku singkat. “Ada lagi?” tanyaku memastikan, siapa tahu ada yang belum dia berikan lagi.
Rayna diam sejenak, matanya menatap liar ke arah lain dengan cepat, kemudian dia berkata, “Rubik itu susah gue selesaikan, dan sekarang rusak. Tapi, gue yakin sama lo semuanya akan baik-baik saja.”
Aku menunduk menatap rubik yang ada di atas tumpukan buku di tanganku, ya, memang rusak, mungkin karena rubik itu sudah waktunya rusak, kenapa dia harus sedih seperti itu.
“Ini rubik gue dari panti asuhan, wajar aja kalau rusak, mungkin rapuh. Jangan merasa bersalah.”
Aku sebenarnya tidak yakin alasan Rayna sedih karena rubik ini.
“Ya. Dan gue semakin yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Aku terdiam sejenak, apa yang baik-baik saja? Rubik? Atau apa? Entahlah, aku tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu, karena Rayna kini sudah kembali masuk ke dalam rumah pohonnya, meninggalkan aku sendirian yang sedang kebingungan dengan kalimat anehnya.