Sahabat

“Ara,” panggil Hujan ke Ara yang sedang melamun di kamarnya.

Hujan menghampiri Ara dan duduk tepat di sebelah Ara.

“Ara makan yuk?” ajak Hujan. “Ara dari pagi Ara belum makan,” sambungnya terus memaksa agar Ara makan.

Ara hanya diam dan melamun.

“Ara—”

“Ara mau mati aja,” potong Ara.

Hujan terbelalak kaget mendengar Ara.

“Gak Ara!” sanggah Hujan dengan tegas. “Ara harus bertahan ya?”

Ara menggelengkan kepalanya. “Ara udah gak kuat Hujan, sekarang Ara hidup untuk siapa? Siapa yang akan menyemangati Ara?” tanya Ara dengan suara meninggi.

Hujan menghela nafasnya, sebelum berkata, “Ara hidup untuk Ara sendiri,” jawab Hujan dengan tenang. Tangan Hujan memegang tangan Ara, lalu ia meletakkan tangan Ara tepat Di dada sebelah kiri Ara. “Diri Ara sendiri yang akan menyemangati Ara,” sambungnya.

Hujan memeluk tubuh Ara yang bergetar karena Ara sedang menangis histeris. “Ada Hujan disini, sebagai sahabat dan juga saudara untuk Ara.”

“Ara gak kuat Hujan, Ara butuh kak Sandy,” lirih Ara dengan suara lemah.

Hujan mengangguk paham, ia mengeratkan pelukannya. “Pelan-pelan kita ikhlasin ya? Ara mau kan? Kita lewati ini sama-sama?”

Ara mengalihkan pandangannya menatap Hujan yang sedang menatapnya juga.

“Ara bisa hujan?” tanyanya ragu.

Hujan mengangguk mantap. “Bisa Ara, Hujan yakin!” jawabnya tegas.

Ara kembali menangis di pelukan Hujan. Benar kata Hujan, bagaimanapun perlahan ia harus mengikhlaskan kepergian sang kakak, dan bangkit, hidup mandiri.