sang ahli

tw // Murder ! cw // mature content

Harap bijak!


Sapuan birai dan lenguhan kecil menjadi akhir dari pacuan cinta, yang sudah berjalan dua jam lamanya.

Kedua insan itu saling mendekap satu sama lain. Menikmati sisa-sisa percintaan yang baru saja mereka lakukan.

Sang wanita mengusap pelan wajah sang pria, tanpa bisa melihat wajah tampan sang pria. Mengingat tidak ada satupun penerang di dalam kamar hotel yang mereka tempati itu.

“I love you,” ungkap sang wanita, ungkapan yang sudah berulang kali ia katakan.

Namun tak pernah bosan didengar oleh sang pria.

“I love you more, honey,” balas sang pria, tidak lupa ia mendaratkan kecupan kecil di dahi sang wanita.

Merasa sudah cukup tenang, sang pria mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur. Ia menghidupkan lampu tidur yang ada di nakas sebelah kasur. Setelah itu, ia menoleh untuk menatap wajah cantik dari sang wanita.

Wajah yang begitu cantik walau penuh peluh dan juga kelelahan.

“Cantik,” puji sang pria dengan jujur.

I know it, memang kapan aku jelek?”

Sang pria tertawa gemas dengan balasan wanita yang ada di sampingnya. Tak lama ia tertawa karena mengingat akan suatu hal.

Tangan kekarnya itu meraih segelas air yang sedari tadi menjadi saksi percintaan antara kedua insan itu.

Ia mengambilnya untuk ia serahkan kepada sang pujaan.

“Ini minum,” titah sang pria.

Sebelum sang wanita meraih gelas yang ada di tangan sang pria. Ia terlebih dahulu mengubah posisinya menjadi duduk di samping sang pria, dengan menyandarkan tubuhnya di headboard kasur.

“Thank you ...” Tanpa bertanya lagi ia meraih dan meneguk air itu.

Sang wanita tidak menaruh curiga apapun, pasalnya selain ia tidak dapat melihat dengan jelas. Ia juga yakin itu hanya air bening biasa, apalagi air itu diberikan oleh sang pujaan hati.

Namun salah, harusnya ia tidak begitu yakin, harusnya ia bertanya terlebih dahulu.

Tapi waktu berkata lain, sudah terlambat untuk bertanya. Rasanya sangat susah agar ia bisa berbicara dan meminta tolong.

Sang pria menoleh saat tersadar sang wanita seperti membutuhkan pertolongan. Samar-samar ia dapat melihat wajah sang wanita yang mulai menegang.

Satu tangan wanita itu gunakan untuk memegang lehernya, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk meminta pertolongan kepada pria yang ada di sampingnya.

Sang pria turun dan berdiri dari kasur. Gerak-geriknya sangat santai, tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun.

Tangan kekar itu meraih semua pakaian yang tercecer di lantai, dengan gerakan yang santai dan lambat, pakaian itu kembali ia pasang ke tubuhnya.

Lalu ia pun melangkah untuk menghidupkan lampu. Terangnya lampu membantu ia melihat wajah sang wanita dengan sangat jelas. Wajah yang tegang yang sangat ingin pertolongan.

Pria itu memberi senyum kepada sang wanita, saat sang wanita menggerakkan bibirnya hendak mengucapkan namanya.

Namun belum sempat ia mengucapkan nama pria yang juga pujaan hatinya itu, takdir berkata lain.

Sang wanita harus kehilangan nyawa karena baru saja meminum racun yang begitu mematikan.

Tanpa ekspresi apapun sang pria melangkah, mencari letak tas yang sebelumnya ia bawa dari rumah.

Seperti ahli, ia membereskan dan membersihkan semuanya, dan memastikan agar tidak meninggalkan jejak dirinya sedikit pun di sana.

Menggunakan sarung tangan, membersihkan semua sudut yang pernah ia tinggalkan sebelumnya. Dan terakhir membersihkan jejak pada tubuh sang wanita yang sudah kehilangan nyawa itu.

Dengan hati-hati dan dengan sangat lihai, ia membawa tubuh tak bernyawa itu ke kamar mandi yang ada di dalam sana. Meletakkannya di dalam bathtub, dan tidak lupa menyalakan air sampai tubuh tak bernyawa itu tenggelam tak berdaya di sana.

Wajah yang tadinya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, kini terukir sebuah senyum di sana. Senyuman yang sangat susah diartikan. Atau artikan saja seperti sebuah senyuman kepuasan.

Kembali pria dengan tubuh tegap nan tinggi itu melangkah keluar, dan meninggalkan sang wanita yang tidak lagi bernyawa itu di dalam sana sendirian.

Ia memastikan agar tidak ada satu jejak pun tertinggal di sana. Setelah pasti ia meraih tas miliknya untuk bergegas meninggalkan kamar hotel itu.

Hisapan terakhir dari rokok yang ada di mulutnya menjadi akhir ia berada di sana.

Tak peduli dengan abu-abu rokok yang berserakan, karena itu adalah salah satu jejak yang biasa ia tinggalkan. Aneh bukan? Itulah cara sang ahli bekerja.

Dengan hati-hati ia keluar dari sana. Atensinya melihat ke setiap sudut koridor hotel, melihat dan memastikan setiap cctv sudah mati.

Bukankah ahli sudah tau bagaimana caranya bekerja? Maka sang pria pun seperti itu, dengan santai ia meninggalkan hotel tersebut tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Karena ini bukan kali pertama ia melakukannya. Jadi, tidak ada alasan untuk ia takut. Jika pun tertangkap, maka itu adalah tujuannya.


“Kasus ke sepuluh setelah lima tahun,” lapor seorang pria kepada seorang detektif bernama Robert Jaffrey.

Robert kini sedang berada di tkp, di sebuah hotel ternama di sana. Ia berada di sana setelah mendapatkan laporan bahwa ada mayat wanita tenggelam di bathtub, diduga sudah dua hari mayat itu di sana.

“Gue gak yakin ini bukan kasus bunuh diri, Rob,” ujar sang pria itu lagi, untuk mempermudah kita panggil saja Wisnu.

Robert mengangguk setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Wisnu.

“Pembunuhan berencana, pembunuhan berantai, korbannya semua wanita,” kata Robert, dengan mata yang liar menatap setiap sudut tkp.

Saat Wisnu mendengar perkataan Robert, susah untuk dia memahaminya. Namun ketika ia sudah paham, seketika ia tersentak kaget.

“Ada kemungkinan ini dilakukan sama orang yang sama? Pelakunya satu orang?” tanya Wisnu, memastikan apa yang ada di pikirannya itu benar.

Robert mengangguk, dengan mata yang masih liar menatap setiap sudut kamar hotel itu.

“Walaupun baru kali ini dia nekat ngelakuin di hotel, tapi di setiap TKP pasti ada ini,” ucapnya, lalu melangkah satu langkah dan berjongkok di sana

Dengan tangan yang sudah terpakai sarung tangan, Robert mengusap abu rokok yang ada di lantai. Lalu ia kembali berdiri dan menunjukkan jejak abu rokok itu.

“Seperti disengaja.”

“Tapi, Rob. Bisa aja itu punya korban, kan?”

“Semua korban merokok?”

Wisnu bungkam seketika. Walaupun ia masih berpikir bahwa itu punya korban, mengingat bahwa kasus ini masih dinyatakan kasus bunuh diri.

Bisa saja para korban merasa depresi dan dengan cara merokok ia bisa menangkan diri bukan.

Sepertinya tidak, itu hanya berlaku pada dirinya. Sebagai seorang pecandu rokok.

“Rob,” panggil Wisnu, setelah bergelut dengan pikirannya. “Lo bakalan bawa kasus ini jadi kasus terduga pembunuhan?”

Robert lagi-lagi mengangguk.

“Sampai kita menemukan bukti.”

“Sang ahli gak akan ninggalin bukti, Rob.”

Atensi Robert beralih sepenuhnya ke Wisnu. Keningnya berkerut menandakan ia sedang kebingungan.

“Sang ahli?” tanya Robert, ia tidak paham dengan ucapan Wisnu barusan.

“Ya. Kalo ini memang kasus pembunuhan, pelaku ini pasti seorang ahli, kan? Sudah sepuluh korban, tapi sama sekali tidak terlihat jejaknya.”

Ada benarnya yang dikatakan Wisnu. Robert setuju akan hal itu. Lima tahun terakhir, ia pun tidak terpikirkan bahwa ini adalah kasus pembunuhan. Apalagi sembilan korban lainnya ditemukan di kediamannya sendiri, bukan di tempat umum seperti ini.

“Robert!” seru salah satu petugas yang sedang mencari-cari di setiap sudut kamar itu.

Robert dan Wisnu serentak menoleh ke arah suara. Petugas itu berada di pinggir kasur dengan posisi berlutut.

Lalu ia mengangkat satu tangannya, dan menunjukkan satu puntung rokok bekas dari bawah kasur.

Melihat hal itu, Robert menyeringai kecil, menandakan kemenangan.

“Got you.”