.

Satu bulan berlalu, usia Galaxy, putra sulung Embun kini sudah 1 bulan.

Dan Embun sudah kuat untuk beraktifitas, walaupun masih merasakan sedikit sakit.

Kini ia bertekad untuk pulang ke kampung, memperkenalkan putra sulungnya kepada kedua orang tuanya di kampung.

Dan sekarang, di sini Embun. Di kampung kelahirannya, tepat di depan rumah dimana ia dibesarkan.

Ia berangkat ditemani oleh Sandy dan juga Hujan tentunya.

“Bentar ya teh, Hujan panggil Ibu dulu,” ucap Hujan disahut anggukan oleh Embun.

Embun menatap mata Galaxy yang terpejam, terlelap di gendongan Embun.

“Di sini Embun dibesarkan sama ayah dan ibu, kak.” Embun menatap ke arah rumahnya yang masih sama seperti dulu.

Sandy tersenyum, melihat betapa tulusnya Embun kepada keluarganya.

“Embun!” Teriak Ibu Embun memanggil nama sang anak.

Senyum Embun seketika melebar ketika melihat ibunya keluar dengan Hujan.

“Ibu,” lirih Embun.

Ibu Embun lari, memeluk erat sang anak. “Ini anak kamu nak?” Tanya sang ibu.

Embun mengangguk. “Iya Bu, anak Embun. Cucu ibu,” Jawab Embun.

Ibu Embun menangis ketika melihat Galaxy yang tenang di pelukan Embun.

“Ibu bangga sama kamu nak, Hujan telah menceritakan semuanya ke ibu,” Ucap Ibu.

Embun mengangguk, ia mengusap air mata ibunya. “Embun yang suruh bu, maafin Embun gak ngabarin ibu ya.”

“Ini siapa nak?” Tanya ibu seraya menatap Sandy.

Dengan sigap dan sopan Sandy menyalam tangan ibu Embun.

“Sandy bu, sahabat Embun,” jawab Sandy dengan sopan.

“Kak Sandy yang udah bantu Embun selama ini bu,” imbuh Embun.

Sandy mengangguk, tersenyum ke ibu Embun. Ibu Embun membawa Sandy ke pelukannya. Sandy sedikit terkejut, namun ia juga membalas pelukan Ibu Embun.

“Terima kasih nak, terima kasih sudah membantu anak ibu,” ucap ibu berterima kasih berkali-kali.

Sandy mengangguk. “Sama-sama Bu.”

“Ayo nak masuk, kasihan cucu ibu kepanasan,” ajak ibu mengarahkan mereka ke rumah.

“Ayo kak.”

“Iya Embun.”

Ibu masuk ke rumah di susul oleh Embun dan juga Sandy.

“Piww lampu hijau,” celetuk Hujan ketika Sandy berjalan tepar di sampingnya.

Sandy terkekeh lalu menyentil pelan dahi Hujan.

Hujan mendesis kesakitan. “Isssh, udah didukung juga,” kesan Hujan.


Embun sedang berada di dapur, membuatkan minuman untuk ibunya dan juga Sandy.

Dugg

Tiba-tiba saja ia mendengar sebuah dentuman, dan itu ternyata berasal dari ayahnya yang sedang berlutut dihadapan nya.

“Ayah!” Embun tersentak kaget, melihat ayahnya.

“Ayah bangun ihh,” suruh Embun seraya membantu ayahnya bangun.

Ayah Embun menggelengkan kepalanya. “Ayah mau sujud, minta maaf ke kamu nak,” ucap sang ayah.

“Gak ayah enggak, ayah gak salah!” Tolak Embun.

“Ayah banyak dosa ke kamu nak, ayah gagal, ayah gagal menjadi seorang ayah,” lirih ayah Embun dengan Isak tangis.

Embun tidak tahan melihat sang ayah menangis di hadapannya, terlebih sedang berlutut dihadapannya.

Embun menggeleng, tidak terima atas apa yang baru saja ayahnya ucapkan. “Ayah gak pernah salah ayah, ayah berhasil menjadi seorang ayah bagi Embun,” bantah Embun.

“Tapi tangan bejat ayah ini, pernah menampar kamu Embun. Mulut kurang ajar ayah, pernah mengusir dan meneriaki kamu,” sesal Ayah seraya memukul-mukul mulutnya sendiri.

Dengan cepat Embun menahannya, Embun memeluk erat sang ayah. “Gpp ayah, itu masa lalu. Embun udah maafin semuanya ayah.”

“Ayah tatap mata Embun,” pinta Embun seraya menangkup kedua pipi sang ayah.

“Embun sama sekali tidak pernah benci ke ayah, sekalipun tidak pernah. Lihat ayah, lihat putri kecil ayah di depan ayah sekarang. Sekarang udah dewasa ayah, putri kecil ayah sudah melahirkan seorang anak, berjuang atas kerasnya hidup, Embun berhasil ayah,” ucap Embun seraya menatap lembut mata sang ayah yang sedang menangis.

“Di setiap doa Embun, Embun selalu mengucapkan nama ayah, Embun berterimakasih karena telah membesarkan Embun, menjadi seorang wanita yang kuat dan tegar.”

“Tapi ayah gagal, ayah jahat,” sanggah ayah.

Embun tersenyum, berusaha menahan tangisnya. “Gak pernah ayah, satu kesalahan ayah tidak akan membuat Embun membenci ayah!” Tegas Embun.

“Tapi sudah berkali-kali ayah melakukan kesalahan.”

“Tangan ini,” ucap Embun seraya mengusap lembut tangan sang ayah. “Tangan yang menggendong tubuh kecil Embun dulu, tangan yang berjuang agar Embun bisa makan setiap harinya.”

“Kaki ayah yang selalu kuat mengangkat Embun, membuat Embun tertawa ria.”

“Tubuh ini.” Embun memeluk erat sang ayah. “Tubuh yang selalu sigap menghalangi bahaya yang akan mendatangi Embun, tubuh yang selalu membuat Embun hangat.”

Ayah menangis mendengar ucapan tulus sang anak. Ia tidak akan menyangka bahwa anaknya akan bersikap lembut kepada dirinya setelah apa yang telah ia lakukan.

“Sehari pun, sekalipun tidak pernah terlintas di benak Embun untuk benci ke ayah,” ucap Embun dengan tegas.

“Yang ada di pikiran Embun hanyalah, rindu dan rasa bersalah,” lanjutnya.

Bagaimanapun Embun tidak pernah benci terhadap ayahnya. Ayah yang mengurus dirinya dari kecil.

“Ayah gak perlu minta maaf sampe sujud begini ke Embun oke? Embun sayang ayah,” ucap Embun seraya mengeratkan pelukannya.

Ayah mengecup pucuk kepala anaknya. Menangis tersedu-sedu menyesali semua perbuatan jahatnya.

Embun melonggarkan pelukannya, ia mengusap air mata ayah yang sedari tadi tidak berhenti. “Jangan nangis lagi ya? Ayah mau lihat cucu ayah?”

Ayah mengangguk, namun ia belum bisa memberhentikan tangisnya.


Satu kesalahan tidak akan menjadi alasan untuk membenci orang tua yang sudah membesarkan diriku -Embun Gayatri