saya dan kegagalan
Hal terindah yang pernah saya pilih dalam kehidupan saya adalah menikahi seorang perempuan yang begitu saya cintai. Namanya Karina Rania, perempuan yang sangat cantik dan memiliki kepribadian yang membuat saya takjub. Semasa pacaran dia tidak mengeluh dengan saya yang penuh dengan kesederhanaan, saya kira dia menerima saya apa adanya, terlebih keadaan orang tua saya yang benar-benar biasa saja.
Namun ternyata saya salah—semua terungkap setelah menikah—setelah menikah saya jadi tahu sikap asli dia. Dia tidak sesempurna yang terlihat di mata saya dulu. Dia selalu saja mengeluh tentang pekerjaan saya. Pekerjaan saya yang bisa berubah setiap Minggu atau bahkan setiap harinya—karena saya memang belum menemukan pekerjaan tetap.
Tapi, demi dia dan demi anak saya yang dia kandung, saya berusaha sebisa mungkin. Apapun yang bisa saya lakukan maka saya lakukan, demi membawa pulang kebutuhan mereka.
Benar kata orang-orang menikah bukan hanya tentang hidup bersama dengan kebahagiaan bersama orang yang dicintai. Banyak sekali rintangan yang harus saya laku, sampai saya sendiri terpengaruh. Emosi saya sering tidak bisa terkendali, tapi setidaknya saya masih bisa sadar, dan sebisa mungkin saya tidak menyakiti keluarga kecil saya. Hal itu saya pertahankan sampai anak kedua saya lahir, umur mereka hanya terpaut satu tahun, jadi begitu sulit untuk saya mencari uang untuk mereka. Tapi, kembali lagi, saya tidak pernah menyerah apapun ceritanya.
Perempuan yang lemah lembut, perempuan yang penuh cinta, perempuan yang membuat saya takjub seketika sirna begitu saja. Setiap hari yang saya dapatkan hanya cacian dan bentakan. Saat saya pulang ke rumah untuk mendapatkan ketenangan, ada saja masalah yang harus saya hadapi.
Sampai dua tahun kemudian anak ketiga saya lahir, dia adalah anak perempuan—satu-satunya anak perempuan di keluarga kecil saya. Saya sangat bahagia saat melihat matanya, begitu mirip dengan Ibunya. Entah mengapa saya langsung jatuh cinta dengan Anak itu. Rasanya saya harus benar-benar siap menjaga dia.
Ternyata saya salah, karena pengkhianatan perempuan yang saya cintai itu membuat saya benci kepada Anak perempuan itu—terlebih saat menatap matanya. Iya, Karina Rania berkhianat, dia pergi dan menjalin hubungan dengan pria lain di luar sana. Sudah bertahun-tahun dia mengkhianati saya, namun terungkap setelah anak perempuan saya berusia tiga tahun. Dia mengaku sendiri, dengan alasan dia muak dan malu dengan saya yang begitu banyak hutang—padahal saya lakukan itu demi untuk mereka. Saya bisa apa? Saya kehilangan dia dan harus mengurus tiga anak dengan status ‘Ayah’ dan mulai saat itu juga saya gagal menjadi seorang Ayah
🌙
Maraka Putra Aditya anak pertama saya, saya panggil dia dengan panggilan ‘Abang’. Entah mengapa saya begitu suka dengan panggilan itu. Sedikit informasi saja, saya selalu menamakan putra atau putri di setiap nama tengah anak saya, saya mau orang-orang tahu kalau mereka adalah putra atau putri Aditya—anak saya. Banyak kesalahan yang saya lakukan karena saat dia lahir itu adalah pengalaman pertama saya menjadi seorang Ayah. Tapi, dengan semua tanggung jawab saya, saya sedikit demi sedikit belajar memperbaiki kesalahan saya.
Sampai akhirnya sekarang dia sudah berusia tujuh tahun, sudah menduduki bangku sekolah dasar. Di umurnya yang masih sangat kecil, saya bisa melihat sosok saya di dia. Tidak manja dan juga senang membantu. Saya yakin dia bisa menjadi sosok Abang yang baik untuk kedua adiknya.
Sayangnya, dialah yang menjadi saksi pertama di setiap pertengkaran saya dengan Karina. Begitu menyedihkan namun saya tidak bisa memperbaikinya lagi. Setiap kali saya tanya—apa dia mendengar pertengkaran saya dengan Karina— dia akan selalu pergi dari hadapan saya.
Dialah yang sering bantu saya ketimbang Ibunya untuk mengurus adik-adiknya, padahal usia dia juga masih butuh bantuan dari kedua orang tua. Saya sangat-sangat menyesal ini terjadi kepadanya. Dan saya berharap ketika dia dewasa nanti, saya dapat memberi kebahagiaan lebih kepadanya.
🌙 Lalu ini adalah Hazelzayn Putra Aditya, anak kedua saya. Wataknya begitu berbeda dengan Maraka. Hazel cenderung pendiam daripada Maraka. Di balik diamnya, dia tahu semuanya sama seperti Maraka. Mereka berdua tentu mendengar setiap kali saya bertengkar dengan Ibunya.
Jika Maraka akan selalu ceria di waktu tertentu, maka Hazel tidak sama sekali dia memilih untuk diam kapan pun itu. Pernah sekali saya temani dia tidur, sama seperti saya temani Maraka tidur kalau saya sempat ternyata dia menolak saya begitu saja.
Padahal saya sangat ingin menghabiskan waktu dengannya. Ternyata tidak dengan dia. Karena itu saya tidak terlalu mengenalnya.
Padahal dia adalah anak saya. Bahkan saat sakit pun dia hanya memilih diam, saat saya tahu dia sudah begitu parah keadaannya. Di balik diamnya dia, ternyata dia sangat memperhatikan sang adik, sang adik yang berbeda dua tahun darinya.
Sang adik yang memiliki nasib lebih malang dari kedua anak saya.
Dia selalu pasang badan kecilnya itu untuk melindungi adik kecilnya kala saya sudah kelewatan. Saya tidak banyak berharap, saya hanya ingin lebih dekat dengannya.
🌙
Randika Putri Aditya, satu-satunya Putri yang memiliki nama belakang saya. Dia cinta ketiga saya—setelah Ibu dan istri saya.
Rasanya saya seperti jatuh cinta lagi ketika dia lahir ke dunia ini. Bahkan saya sudah berpikir tidak siap jika dia harus menghadapi gelap dan jahatnya dunia ketika dia dewasa nanti.
Namun kenyataannya rasa cinta itu tidak bertahan lama. Semua berubah ketika Karin mengkhianati saya. Rasa cinta menjadi benci.
Terlebih saat saya menatap mata yang begitu mirip dengan Karin. Rasanya saya ingin marah—padahal dia hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Dia selalu mencari perhatian saya, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, tapi sama sekali saya tidak bisa menghadapinya.
Setiap kali saya berhadapan dengan dia, saya akan memarahinya bahkan sampai melukainya.
Saya tidak tahu apa yang telah terjadi pada saya, padahal saya tidak melakukan itu kepada Maraka dan Hazel.
Randika Putri Aditya, putri kecil yang selalu menerima luka dan kekerasan dari saya.
“Hari ini saya kehilangan semuanya, dan hari ini juga hari di mana saya gagal menjadi seorang Ayah.”
Jika kalian bertanya berapa kali saya jatuh cinta, maka saya dengan lantang akan menjawab hanya dua kali, kepada Karin dan Ran anak perempuan saya.
Tapi cinta itu berubah menjadi benci seiring waktu berjalan.