sebelas
“Mama pergi, Ayah. Ayah jangan pergi, ya.”
“Sakit?” Maraka tidak bosan bertanya kepada Ran yang kini sedang duduk di pangkuan Jay.
Ran lagi-lagi menggeleng dengan polosnya. “Uncle Jay udah obatin, Ran enggak sakit, Abang.”
Mereka kembali diam, sama seperti Hazel yang sedari tadi diam di samping Maraka. Mereka kini duduk di ruang tamu, menunggu Johnny yang enggan keluar dari kamar.
Jay tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, terlebih keadaannya sedang seperti ini.
“Ran mau kemana?” Jay bertanya kala Ran turun dari pangkuannya.
“Mau ke Ayah,” jawab Ran singkat, kemudian dia berlari menuju kamar Johnny.
Jay tidak bisa menahan gadis kecil itu, setidaknya dia masih bisa memantaunya dari dekat, kalau Johnny nekat dia bisa bergerak cepat.
Ran berusaha dengan keras meraih kenop pintu yang begitu tinggi. Usahanya tidak sia-sia karena dia pun berhasil membuka pintu kamar Johnny.
Kaki kecilnya itu melangkah, matanya yang cantik mencari dimana keberadaan Johnny.
Mata itu menangkap keberadaan Johnny yang kini sedang tertidur di atas kasurnya. Johnny tidur dengan posisi terlentang dengan tangan kiri yang dia letakkan di atas matanya.
Ran melangkah dan berusaha naik ke kasur Johnny. Setelah berhasil, dia pun duduk di samping tubuh Johnny.
Ran melihat air mata mengalir dari sela-sela mata Johnny yang tertutup dengan tangannya.
Polosnya tangan kecil itu mengusap pelan menghapus air mata yang terus mengalir.
“Ayah ... Ran tadi jatuh, Ran tadi lihat Mama,” kata Ran mengadu atas apa yang dia lihat tadi siang.
“Mama pergi, Ayah. Ayah jangan pergi, ya?” katanya dengan begitu tulus.
Ucapan itu membuat Johnny sadar, dia pun menyingkirkan tangan yang menutupi matanya. Terlihat mata Johnny yang memerah dan membengkak.
Johnny menatap Ran yang ada di sebelahnya. Tangan Ran masih terus mengusap air mata Johnny yang masih mengalir tanpa bisa dihentikan.
Johnny bingung tidak tahu harus bagaimana. Dia begitu jatuh cinta dengan mata yang sedang dia tatap. Mata itu mengingatkan Johnny kembali ke masa-masa indah dirinya dengan Karin. Dan juga mengingatkan Johnny akan Karin yang kini mengkhianatinya.
Cinta itu berubah jadi benci. Tapi, apakah dia sanggup membenci gadis kecilnya ini? Gadis kecil yang memiliki mata yang begitu mirip dengan wanita yang membuatnya seperti ini.
“Saya gak sanggup kalau nanti saya benci sama kamu.”
Ran menghentikan tangannya yang tadi mengusap pipi Johnny. Ran terdiam polos, seakan-akan sedang berpikir dengan keras.
“Benci itu apa, Ayah?”