sekolah

Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Ya, dimana hari ini aku akan mulai sekolah kembali di sekolah baru.

Aku sedang berdiri di depan kaca besar di kamarku. Menatap tubuhku yang dibaluti seragam baru sekolah baru. Seragam yang terdiri dari celana, kemeja lengan panjang dan luaran jas berwarna cream, tentu tidak lupa dengan dasi, membuatku terlihat berbeda seperti biasanya.

Seperti dahulu, dahulu aku hanya menggunakan celana abu-abu dan kemeja lengan pendek, sesekali juga aku tidak memakai dasi kalau dasiku hilang.

Setelah puas melihat penampilan terbaruku, aku pun memutuskan untuk keluar kamar, dan menuju meja makan—tentu tidak lupa membawa tas ransel berisikan beberapa buku—dimana orang tua angkat ku sudah menunggu di sana.

Aku tersenyum lalu mengapa mereka, “Selamat pagi, Pa, Ma.” Aku menghentikan langkah ku ketika sampai di depan meja makan.

“Selamat pagi juga, Azel,” sapa Papa dan Mama bersamaan.

“Duduk di situ, ya, di depan mama,” titah Mama.

Aku langsung mengangguk dan menarik kursi yang Mama maksud. Kursi itu ada di hadapan Mama dan di sebelah kanan Papa.

Sarapan berjalan dengan suasana hening, sama seperti di panti asuhan. Tapi bedanya hidangan sarapan yang dihidangkan berbeda. Aku tidak tahu apa temanya, tapi terlihat begitu mewah. Sedangkan kalau di panti asuhan biasanya kami akan makan dengan telur ceplok saja, karena Ayah jarang masak pagi-pagi. Itu pun aku sering enggak kedapatan.

Aku makan dengan begitu hati-hati, mengingat perkataan Rayna semalam, aku harus mengingat tentang etika. Semalam aku juga sudah membaca tentang itu, sebenarnya kalau bukan di acara formal tidak banyak yang harus dilakukan, tapi tetap saja aku harus menjaga sikap ku, 'kan?

Setelah sarapan selesai, Mama mengantarkan aku dan Papa ke depan, Papa mengatakan beberapa hal kepadaku sebelum dia berangkat dengan mobilnya.

Tinggallah aku dengan Mama, Mama tersenyum kepadaku kemudian dia mengusap telapak tangan kanan ku.

“Nanti kalau ada apa-apa langsung bilang Mama, ya,” katanya, terdengar begitu tulus.

Aku mengangguk. “Pasti, terima kasih, Ma. Azel berangkat, ya.”

Setelah berpamitan dengan Mama aku pun masuk ke dalam mobil, yang akan menjadi kendaraan ku ke sekolah setiap harinya.

Rasanya aneh ... Biasanya aku hanya menaiki angkutan umum—angkot atau bus—itu pun harus jalan terlebih dahulu ke jalan raya. Mana sesekali angkotnya penuh dan bikin keringatan, tapi hari ini semuanya berubah total.

Rasanya seperti mimpi, mimpi yang ingin aku jalani selamanya. Kalau benar ini mimpi, aku sama sekali tidak mau bangun dan kembali ke realita.