Sekolah dan Anak baru
Semua pandangan tertuju kepada anak-anak teentreas, atau kumpulan Valen dan teman-temannya, yang kini duduk di tangga menuju gedung sekolah.
Ada yang berusaha mencuri pandangan, ada yang berusaha tersenyum dan lainnya.
Hanya satu orang yang sama sekali tidak tertaik ddengan keberadaan teentreas, yaitu Atha, yang sedari tadi bingung dan menatap gedung sekolah barunya yang sangat besar.
Dengan langkah ragu, Atha melangkah menaiki anak tangga satu persatu.
“Wait, lo.”
Suara berat seorang murid laki-lakii membuat langkah Atha terhenti, suara itu adalah suara Valen.
Valen berdiri lalu menghampiri Atha yang hanya dia kebingungan.
“Tas, gantungan kunci, lo cewe yang nabrak gue pas di spbu, kan?”
Menyadari dirinya yang sedang dibicarakan, Atha membalikkan badannya, gadis itu sedikit terkejut karena jarak Valen yang sangat dekat dengan diriya, hanya berbeda satu anak tangga.
“Maksud lo?”
“Gak usah pura-pura gak tau, gantungan kunci teddy bear, tas warna cream, lo yang nabrak gue setelah itu gue kehilangan dompet gue. Apa- jangan-jangan lo yang copet?” tanya Valen mencurigai Atha.
“Gak usah nuduh sembarangan ya, lo!” ujar Atha tidak terima atas tuduhan Valen.
Atha membalikkan kembali badannya, kakinya melangkah menaiki anak tangga, namun tiba-tiba tangan Atha ditarik oleh laki-laki yang menuduhnya tadi, badan Atha kehilangan keseimbangan, namun untung saja Valen menahan pinggang Atha.
Kini Valen dan Atha menjadi pusat perhatian, bahkan teentreas yang dari tadi hanya diam, kini menjadi serius dan heboh. Bisik-bisikan dari murid-murid di sana membuat Atha emosi.
“Balikin dompet gue,” pinta Valen dengan suara kecil seperti berbisik namun tegas.
Atha hendak berdiri dan melepas tangan Valen, namun sia-sia. Kini mata Atha bertemu dengan mata Valen. “Gue gak ambil dompet lo!” tegas Atha kesekian kalinya.
Valen tertawa kecil, matanya tertuju pada name tag yang ada di dada kanan Atha.
“Alexandra Shaw,” kata Valen mengucap nama Atha, lebih tepatnya nama yang ada di name tagnya.
“Balikin dompet gue, Alexa. Atau hidup lo gue bikin hancur,” ujarnya mengancam Atha.
Namun Atha adalah Atha, gadis itu tidak takut dengan apapun dan siapapun.
Atha bergumam kecil. “Udah hancur,” jawabnya santai dengan senyuman meremehkan.
Valen merasa kesal, namun ia tidak menyerah. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Atha, berusaha membuat gadis itu takut.
“Balikin ..... Atau gue cium.”
Plakk
Atha mendorong tubuh Valen dan menampar pipi Valen sedikit keras.
“Kurang ajar ya, lo. Kalo mau modus gak usah begini!”
Wajah Atha memerah karena emosi, dengan langkah cepat ia meninggalkan Valen yang masih memegang pipinya yang terasa sangat sakit.
“Perfect,” ujar satu murid perempuan yang sedari tadi menyaksikan Atha dengan Valen.
“Apanya yang perfect Danita?” tanya teman murid peremouan bernama Danita itu.
“Freya! follow me, hurry up,” jawab Danita seraya menarik tangan Freya sedikit kasar.
“Arghhhh, jinja!”
“Hei, lo.”
Suara memanggil membuat Atha lagi-lai menghentikan langkahnya.
“Gue Danita Ayunika, ketua kelas 11-IPA2 dan juga model top di Jakarta,” ujar Danita memperkenalkan diri ke Atha yang hanya diam.
“Frey.” Danita memberi kode agar Freya juga memperkenalkan dirinya.
“Omo jinja, annyeonghaseyo gue Freya imnida,” ucap Freya memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa korea yang berantakan.
Atha mendekus kesal, rasanya ia ingin menghilang saja sekarang.
“Lo?” Danita seakan menagih untuk Atha memperkenalkan dirinya.
“Alexa, panggil Al.” dengan acuh tak acuh Atha menjawab sesuai dengan nama yang ada di name tagnya.
“Lo anak baru? pindahan dari mana?” tanya Danita. Awalnya Atha cukup kesal dengan kedatangan Danita dan Freya, namun ia berusaha untuk santai dihadapan kedua gadis itu.
“Not your problem, sorry gue harus segera ke ruang guru,” jawab Atha dengan senyum kecil di bibirnya.
Saat Atha hendak melangkahkan kakinya menuju ruang guru, lagi-lagi Danita menahannya.
“Mau kita anter, gak?” tawar Danita ramah. Danita menyenggol tangan Freya memberi kode.
Freya yang masih belum paham dengan situasi yang terjadi, ia hanya mengikuti apapun yang Danita suruh.
“Nee, kita antar Ale ke kantor guru,” timpal Freya tak kalah ramah. “Nanti Ale tersesat, omo! Kan serem,” lanjutnya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan.
Atha hanya bisa menghela nafas pasrah melihat tingkah unik kedua gadis yang ada dihadapannya. Atha menatap Danita dan Freya secara bergantian, lalu ia mengangkat tangannya menunjuk ke depan.
“Di sana ruangan yang gue tuju, so kalian gak usah sok ramah ke gue, paham?”
Tanpa berbicara banyak Atha meninggalkan kedua gadis itu yang terdiam mematung di sana.
“Wah Jinja! Freya gak suka dia!” Freya ngedumel gak jelas. “Kenapa sih lo mau nyusul dia?” tanya Freya penasaran.
Danita yang tadi hanya diam, kini ia menarik bibirnua membentuk senyuman. “Sini gue bisikin.”
“Omo! Jinja! Lo keren, ide lo keren!” Freya memuji ide yang ada di otak Danita tadi.
“Yoi, kita harus manfaatin dia buat gue bisa balikan lagi sama Valen dan nyingkirin si Aileen, alias si pick me girl.”
Sebelum menuju ruang guru, Atha berbelok ke toilet yang ada di dekat sana untuk menggantikan celana dengan rok seragam. Mengingat ia masih mengenakan celana, karena mengendarai motor tadi.
Setelah itu Atha melangkahkan kakinya kembali menuju ruang guru. Tanpa menunggu lama, setelah sampai di ruang itu, ia segera mengetuk pintu dan masuk ke dalam.
Banyak guru yang sedang bersiap-siap, karena suara bell sudah bernyanyi menandakan kegiatan belajar mengajar akan segera di mulai.
“Permisi bu, saya boleh bertanya? Pak Dipta yang mana ya, bu?” tanya Atha kepada guru wanita yang kebetulan hendak keluar.
“Owh, pak Dipta, ya.” Guru wanita itu melihat kesekitar. “Nah itu, yang pojok itu.”
“Terima kasih banyak, ibu.”
“Sama-sama.”
Atha berjalan menuju dimana pak Dipta berada. Ia menarik nafas panjang, karena rasa gugup yang tiba-tiba menghampiri dirinya.
“Selamat pagi, pak. Saya Alexa Shaw, anak baru yang akan bersekolah di sini, wali saya Johnny Ananda yang kebetulan berhalangan hadir, pak.”
Atha tertegun, ia takut saat harus berhadap dengan guru, terutama dengan guru bk, semuanya karena masa lalu kejam yang ia hadapi.
“Oh, sudah datang, ya, Alexa. Sebentar, ya, saya sedang siap-siap, lalu kita langsung ke kelas.”
“Baik, pak.”
Atha sedikit lega dengan respon Dipta yang sedikit ramah menurutnya. Ia masih menunggu dengan canggung.
“Ayo,” ajak Dipta.
“Baik, pak.”
“Oh ya, sebelumnya kamu sudah baca buku bimbingan dan arahan yang sudah ada di kamu sebelumnya, kan?”
Atha terdiam seribu bahasa, ia ingat dengan buku itu, namun sama sekali tidak gadis itu sentuh apalagi membaca isinya, karena itu adalah salah satu hal yang ia benci, membaca buku.
“S-sudah, pak,” jawabnya berbohong.
“Good, soalnya kamu sedikit terlambat jadi saya tidak punya waktu untuk menjelaskannya lagi, jadi kita langsung ke kelas, ya.”
“Baik, pak.”
Atha mengikut langkah Dipta yang berjalan di depannya, Atha tidak bisa membayangkan apa yang akan ia hadapi di kehidupannya setelah ini. Kembali masuk sekolah setelah semua hal kejam terjadi pada dirinya dulu, kesialan di hari pertamanya sekolah, harus berurusan dengan cowo mesum.
“Kamu tunggu di sini sebentar, nanti saat saya panggil baru masuk,” kata Dipta saat keduanya telah tiba di depan ruang kelas.
“Baik, pak,” jawab Atha singkat. Matanya terarah pada tulisan 11-IPA2, Atha mengingat siapa yang akan ia temui di kelas itu.
Ruang kelas yang tadi berisik, kini menjadi hening karena kehadiran Dipta.
“Selamat pagi semua,” sapa Dipta seperti biasa sebelum memulai kelas.
“Selamat pagi, pak!”
“Baik sebelum kita melanjutkan materi, saya akan memperkenalkan teman baru kalian terlebih dahulu. Silahkan masuk.”
Suara bisikan demi bisikan terdengar hingga ke telinga Atha yang masih berada di luar. Rasa gugup Danita kembali lagi, sebelum masuk ia menghela nafas dengan sangat kasar.
“Wow.”
“Geulis eui.”
“Cakep.”
“Bule, ya.”
Dan masih banyak ragam sapaan yang keluar dari mulut-mulut 11-IPA2 saat Atha memasuki ruangan kelas itu.
“Silahkan perkenalkan diri kamu,” suruh Dipta disahut anggukan oleh Atha.
Atha tersenyum sebelum ia memperkenalkan dirinya. “Alexandra Shaw, pindahan dari Australia, mohon bantuannya.” Singkat dan begitu dingin.
“WOW, Misterius.”
“Salam kenal, Al.”
“Yo, Al, btw kosong delapan berapa?”
“Yaelah modus, lo.”
Atha hanya merespon dengan senyuman kecil. Tiba-tiba mata Atha tertuju pada dua gadis yang sedari tadi berbisik seperti sedang membicarakan dirinya, dua gadis aneh yang Atha kenal sebagai Danita dan Freya.
“Baik, Al, kamu bisa duduk di-”
“Pak!” Suara keras Freya memotong ucapan Dipta.
Dipta menghela nafas. “Ya, Freya? Apa lagi kali ini?” tanya Dipta sudah terbiasa dengan tingkah salah satu muridnya itu.
“Hehehe, jadi gini, pak.” Freya berdiri dari bangkunya dan berdiri di samping meja miliknya. “Saya Freya, teman dekat Danita Ayunika ketua kelas 11-IPA2, nah saya punya pernyataan mengenai Ale.”
“Pernyataan atau pertanyaan, Freya?” tanya Dipta kebingungan.
“Pernyataan, pak! Kan yang tersisa bangku di pojokan dekat jendela, nah, bagaimana kalau Ale duduk di bangku saya, terus saya duduk di bangku Dery.”
“Loh, kok gue?” protes murid laki-laki yang bernama Dery, yang baru saja disinggung oleh Freya.
Seakan tidak terdengar, Freya melanjutkan pembicaraanya tanpa mendengar protes dari Dery.
“Nah, kalo duduk di bangku saya, saya sebagai teman baik ketua kelas akan menjaga dan membantu Ale dengan segenap hati! Kalo dipojokan mah nanti gampang kesurupan, kalo Dery gak akan, dia kan setannnya.”
“Dih sembarangan!”
Satu kelas dibuat tertawa oleh kata demi kata yang Freya ucapkan, tidak terkecuali Dipta, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Gimana Der? Kalau Dery tidak keberatan, ya, tidak masalah.”
“Pak-”
“Gue traktir McD satu minggu,” bisik Freya membujuk Dery.
“Janji, ya, lo?”
“Ya! Freya mana mungkin ingkar janji.”
“Oke, pak. Saya setuju.”
“Oke, Al, kamu boleh duduk di sana.”
“Baik, pak.” Tanpa protes apapun Atha berjalan menuju bangku yang akan ia dudukin selama ia bersekolah di sana.
Suasana kelas menjadi sedikit berisik, ada yang menggoda Atha, atau bercanda dengan teman-teman di sekitarnya. Sampai Dipta memukul papan tulis meredakan kebisingan itu.
“Hari ini masuk ke topik tiga, buka buku paket kelanjutan dari minggu lalu.” Aura yang Dipta pancarkan berbeda dengan tadi, yang tadinya ramah kinimenjadi sedikit menyeramkan.
Dipta menuliskan sebuah kalimat di papan tulis.
“Latihan Mandiri”
Lalu Dipta kembali menghadap murid-murid yang menatap papan tulis keheranan.
“Hari ini saya harus mengurus persiapan olimpiadi fisika tingkat Nasional yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Saya harus ninggalin kalian sebentar, gunakan empat jam waktu mata pelajaran saya untuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket.”
“Baik, pak.”
Tidak ada protes ataupun perlawanan seperti biasanya, bukan hanya tidak berani, namun juga karena mengingat kelas 11-Ipa2 adalah kumpulan anak-anak ambis.
“Latihan mandiri namun dikerjakan secara kelompok, karena soalnya lumayan banyak. Bebas mengerjakan di mana saja, lapangan, kelas, perpustakaan, atau kantin. Yang penting setelah jam pelajaran saya selesai, saya mau hard copy nya sudah terkumpul di meja saya, kumpulkan sama Danita, paham?”
“Paham, pak.”
“Baik, terima kasih.”
“Pak.” Salah satu murid perempuan mengangkat tangan hendak bertanya.
“Ya, silahkan.”
“Satu kelompok berapa orang, ya, pak?”
“Oh, maaf. Seperti biasa tujuh kelompok, satu kelompok tiga orang, sekarang udah cukup, kan?”
“Baik, pak terima kasih.”
Dipta mengangguk. “Saya tinggal.” Lalu keluar dari ruang kelas.
Atha sedari tadi hanya diam dan menyimak, saat seisi kelas sibuk mencari teman sekelompok, ia memilih tetap diam.
“Mau satu kelompok sama kita, kan?” tanya Danita.
Atha mengangkat kepalanya menatap Danita dan Freya yang sudah berada di hadapannya. Gadis itu terdiam dan memikir untuk sejenak, lalu ia mengangguk.
“Boleh.”