Sekolah dan teman baru
Setelah mendapatkan serangakaian arahan dari guru, aku akhirnya dibawa menuju ruang kelas, dimana aku akan memulai semuanya dari awal di sana.
Aku pun berhenti di depan pintu kelas, menunggu arahan dari guru yang membawa ku ke sini. Setelah mendapatkan arahan, aku pun mengangkat kaki ku, melangkah ke dalam.
Semua sorot mata murid-murid di kelas tertuju ke aku kini, tidak ada reaksi berlebihan hanya menatap saja.
Aku pun berdiri di depan kelas, di samping guru yang membawaku ke sini.
“Perkenalkan diri kamu,” titahnya.
Aku diam sejenak mengumpulkan semua keberanian ku, yang tiba-tiba saja hilang begitu saja.
“Perkenalkan ...,” Ucapku ketika keberanian ku kembali sepenuhnya.
“Nama saya Azel Khaisan ...” Aku memberi jeda sejenak. “Azel Khaisan Adhitama. Senang bertemu dengan kalian,” sambungku menyelesaikan kalimat perkenalan itu.
Anehnya kini mereka menunjukkan reaksi dengan berbisik-bisik satu sama lain. Samar-samar aku mendengar mereka menyinggung nama Adhitama, entah mengapa aku jadi takut.
“Oke, Azel, kamu boleh duduk di sebelah Yan. Yan angkat tangan.”
Aku melihat seorang murid pria mengangkat tangan kanannya, dia berada di meja nomor tiga dari depan, dan duduk di bangku di samping jendela.
“Terima kasih, Pak.”
Setelah mengucapkan kalimat terima kasih, aku melangkahkan kaki menuju bangku yang dimaksud tadi. Aku merasa aneh karena semua sorot mata masih tertuju pada ku.
Tanpa menunggu lama aku mengambil tempat duduk di samping murid laki-laki yang bernama Yan itu.
“Yan. Panggil aja Yan.”
Aku tersenyum. “Panggil gue Azel,” ucapku.
Pelajaran pertama dimulai, aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dijelaskan oleh guru di depan sana. Namun, ada satu hal yang harus aku ingat, yaitu pesan Rayna, apapun yang aku pelajari di sekolah, aku harus mengingatnya.
Aku pun berusaha untuk menyimak dan juga memahami, tidak lupa juga aku catat poin-poinnya.
“Ini catatan gue, kalo lo butuh buat baca-baca. Buat materi kelas sebelas nanti gue kirim dari email,” kata Yan, menyerahkan sebuah buku yang lumayan tebal kepadaku.
“Thanks.”
“No need. Kalo butuh apa-apa bilang aja ke gue.”
“Ya, dia bakalan bantu, lo. Kenalin nama gue Gisel.”
Aku sontak menoleh menatap seorang murid perempuan yang kini berdiri di sampingku.
“Nama dia Jijel, panggil aja ijel,” kata Yan.
“Enak aja lo!”
Aku tidak paham tapi sepertinya itu candaan mereka.
“Gue Azel.”
“Gue tahu.”
Mereka tertawa kecil, karena itu aku ikut tertawa juga agar tidak kelihatan bodoh.
“Lo ikut ke kantin?” Tanya Gisel.
Aku menggeleng. “Enggak dulu,” tolak ku, karena aku harus mengulang kembali materi yang tadi belum aku pahami samansekali.
“Ok. Kalau ada apa-apa kita di kantin, ya.”
Aku mengangguk, lalu Gisel dan Yan pun pergi dari kelas. Mereka terlihat begitu dekat, aku jadi mengingat Rainan, Jovan dan Navan lagi. Apa yang sedang mereka lakukan sekarang.
Kalau dulu kita akan menghabiskan waktu istirahat mengganggu siswi-siswi di sekolah, atau bermain di lapangan. Sekarang apa yang mereka lakukan?
Sepertinya aku harus kembali fokus dan melupakan tentang mereka sejenak. Aku pun kembali fokus dengan catatan-catatan yang ada di depanku.
Namun lagi-lagi aku samar-samar mendengar bisikan dari murid-murid yang masih di kelas. Aku yakin mereka sedang berbicara tentang ku, karena mereka menyinggung nama 'Adhitama'.
“Lo yakin mau temenan sama dia?” Gisel bertanya kepada Yan setelah mereka keluar dari kelas.
Yan tidak langsung menjawab. Melainkan mengukir sebuah senyum tipis di bibirnya.
“Dia Adhitama, Jel. Paham, 'kan, maksud gue?”