selesai
“Karin, saya gak masalah kemarin kamu selingkuh, saya maafin kamu, Karin. Sekarang kembali ke saya dan anak-anak.” Sedari tadi Johnny memohon kepada Karin yang sedang mondar-mandir memasuki baju-baju dari lemari ke koper besar miliknya.
Sayangnya Karin seakan tuli dan malas untuk mendengar semua permohonan yang keluar dari mulut suaminya itu.
Karena geram Johnny pun menahan tangan Karin, membuat Karin harus menghentikan langkahnya.
Johnny membalikkan tubuh Karin hingga kini mata mereka saling beradu tatap.
Mata yang dulu begitu senang jika ditatap, mata yang dulu begitu membuat Johnny jatuh cinta kini semua sirna begitu saja.
“Aku mohon,” pinta Johnny, dengan nada yang begitu miris.
Karin tertawa kecil mendengarnya, lebih tepatnya seringai mengejek. Dia dengan kuat melepaskan genggaman tangan Johnny dari lengannya dengan satu hentakan.
“Dimana harga diri kamu sebagai pria, Jo?” ujar Karin dengan nada menantang. Setelahnya Karin kembali membalikkan tubuhnya, dan melanjutkan kegiatan memasukkan baju dari lemari ke koper miliknya.
Mendengar ujaran yang keluar dari mulut Karin, membuat Johnny geram hingga kedua tangannya mengepal sempurna dan begitu kuat. Johnny marah, begitu marah hingga dadanya naik turun, berusaha untuk mengatur napasnya.
Namun sayangnya kali ini Johnny kalah dengan emosinya. Dengan cepat dan kuat Johnny kembali menarik dan mencengkram lengan kiri Karin dengan begitu kuat, lebih kuat daripada sebelumnya, sampai Karin mengeluarkan suara meringis kesakitan.
“Lantas bagaimana dengan harga diri kamu, Karin!” Johnny bertanya dengan nada bicara yang begitu tinggi dan begitu lantang, mungkin saja suaranya terdengar hingga keluar kamar, atau bahkan keluar rumah.
Persetan jika ada tetangga yang mendengarnya, Johnny sekarang sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, emosi lah yang mengambil alih diri Johnny sepenuhnya.
Johnny menatap mata Karin dengan begitu tajam. Anehnya Karin menjadi takut, bahkan tatapan menantangnya tiba-tiba tidak bisa dia keluarkan.
“Dimana harga diri kamu sebagai seorang istri dan juga Ibu, Karin?” Suara Johnny melemah, namun tetap terdengar begitu mengintimidasi, terlebih tatapannya yang semakin tajam.
“Saya tanya ke kamu, Karin ... .”
Johnny memberi jeda sejenak agar Karin memberikan jawaban atas pertanyaannya. Namun, karena takut, Karin memilih untuk tetap diam dan bungkam.
“Jawab!” Teriak Johnny dengan nada bicara yang kembali meninggi.
“Berani kamu bilang saya tidak punya harga diri, sekarang saya tanya kamu ... KARINA RANIA!”
Tubuh Karin bergetar dengan hebat ketika mendengar namanya disebutkan lengkap dan dengan nada yang begitu tinggi. Untuk pertama kalinya Johnny seperti ini, walau biasanya mereka terlibat dalam pertengkaran, namun Johnny tidak pernah seperti ini.
Hari ini, Karin benar-benar membuat Johnny begitu marah, hingga tidak peduli dengan siapa dia berhadapan sekarang. Tidak ada lagi di benaknya untuk berusaha menahan emosi karena sedang berhadapan dengan Karin.
Johnny merasa sudah cukup dirinya diinjak-injak sekarang, sudah cukup dia bersujud mengemis di hadapan perempuan yang sama sekali tidak menghargai dirinya sebagai pria dan juga sebagai suami.
Semuanya sudah cukup. Johnny melonggarkan cengkraman tangannya, kemudian dia berkata, “Kamu mau pergi? Silahkan, tapi jangan pernah berharap untuk bisa kembali, Karin.”
Tubuh Karin yang tadinya seakan kehilangan tenaga, kini kembali kuat hingga bisa mendorong tubuh Johnny dengan begitu kuat.
“Ya! Harusnya dari dulu, dan aku gak akan pernah kembali, Johnny. Aku gak akan pernah menyesal!” Tegasnya.
Karin kembali berurusan dengan kopernya, dirasa sudah cukup, dia pun menutup kopernya dan tidak lupa dia mengambil tas kecil miliknya sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamar itu.
Kamar yang menjadi saksi bisu bahwa dirinya dengan Johnny pernah menjalin kasih di sana. Kamar yang menjadi saksi bisu setiap pertengkaran dirinya dengan Johnny. Kamar yang menjadi saksi bisu kehangatan Johnny yang dia tepis dengan begitu kuat.
Kini dengan yakin Karin ingin meninggalkan semua itu. Meninggalkannya sendiri dengan Johnny yang kini terlihat begitu lesu.
“Karin ...,” panggil Johnny dengan lirih, saat kaki Karin akan keluar dari kamar.
Entah kenapa Johnny tiba-tiba memanggil nama itu lagi. Apa karena dia tidak bisa melepaskan Karin begitu saja? Bukan ... Johnny sudah dengan siap melepaskan perempuan itu dari genggamannya.
Satu hal yang menjadi alasan mengapa Johnny kembali memanggil nama perempuan itu, anak-anak ... Bagaimana dengan anak-anak.
Lagi dan lagi, seakan tuli Karin tidak peduli dengan Johnny, tanpa keraguan dia melangkah keluar dari kamar itu, hingga langkahnya terhenti tidak jauh dari sana.
Terhenti karena ada dua pasang mata yang kini menatapnya. Maraka dan Hazel, dua anak laki-laki yang dia kandung selama sembilan bulan, dua anak laki-laki yang dia lahirkan dari rahimnya sendiri, kini sedang menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
Karin egois, begitu egois, sebagai seorang Istri, tapi apa dia akan egois juga sebagai seorang Ibu ... Maka jawabannya iya. Dengan langkah pelan, namun sedikit tidak yakin Karin melangkah sembari menyeret kopernya, melewati kedua anak laki-lakinya itu, yang masih membisu di sana.
Keegoisan Karin tidak menutupi bahwa dia masih tidak yakin untuk meninggalkan anak-anaknya. Karin menghentikan langkahnya saat dia sudah tiba di depan pintu rumah, dia kembali membalikkan tubuhnya untuk melihat kedua anak laki-lakinya yang masih sama diamnya di sana.
Aneh ... Karin merasa aneh, kenapa tidak ada satupun dari mereka yang meneriaki namanya, atau berlari untuk memeluk dirinya.
Hal itu membuat Karin semakin yakin untuk meninggalkan semuanya di sini, dan memulai kembali dengan kebahagiannya yang sesungguhnya.
Tanpa berpamitan, Karin melangkahkan kakinya keluar pergi dari rumah yang dia bangun dengan Johnny.
Rumah kecil yang awalnya menyimpan banyak tawa dan kehangatan, kini hancur begitu saja.
“Mama pergi.” Satu kalimat keluar dari mulut kecil Hazel setelah terdiam.
Dengan polosnya Maraka mengangguk. “Mama selalu pergi,” jawabnya.
Maraka memang masih belum tahu apa-apa, tapi dia tahu kalau Mamanya sudah pergi, Maraka tidak tahu Mamanya akan kembali atau tidak. Yang dia tahu dari penglihatannya setiap malam, Mamanya selalu pergi.
“Tapi Abang gak akan pergi.” Dengan polosnya Maraka menggenggam tangan Hazel dan memberikan senyuman kepada adiknya itu.
Maraka terlalu dini untuk memahami apa maksud dari kata pergi sesungguhnya.
Hazel mengangguk kemudian dia bertanya, “Adik kemana?”
“Ran, jangan lari-lari, Nak, nanti jatuh.” Jay berusaha memperingati Ran, gadis kecil Johnny yang kini sedang berlari ke arah rumah dengan kaki-kaki kecilnya.
Di kedua tangan kecilnya dia menggenggam dua es krim yang dibelikan oleh Jay tadinya. Ran begitu senang dan bersemangat untuk memberikan es krim itu untuk Abang-abangnya.
Jay tidak bisa menahan tawanya melihat kegemasan gadis kecil di depannya itu. Dia kembali teringat bagaimana Johnny bisa membenci gadis kecil itu. Padahal dia hanya gadis kecil yang belum memiliki dosa sama sekali.
“Mama!”
Jay tersentak ketika mendengar Ran berteriak dengan lantang. Pandangannya pun tertuju pada sebuah mobil yang tidak jauh dari rumah Johnny. Begitu jelas Jay melihat Karin sedang menatap Ran, sebelum dia masuk ke dalam mobil itu.
“Mama!”
“Ran, jangan lari!” Jay berteriak ketika Ran kembali berlari hendak mengejar mobil itu.
Brak!
“Mama!”
Mata Jay melotot dengan sempurna melihat Ran tersungkur hingga mengeluarkan suara yang begitu keras. Dengan cepat dan sigap dia menghampiri Ran dan mengangkat tubuh gadis kecil itu.
“Mama, Mama.” Ran menunjuk ke arah mobil yang perlahan menghilang dari pandangannya.
Gadis kecil ini seakan tidak peduli dengan luka di telapak tangan, kaki, lutut, dan darah yang mengalir dari keningnya.
“Mama ...” Ran menoleh menatap Jay yang hanya bisa diam, tanpa bisa memberikan reaksi apa-apa.
“Mama pelgi.”