.

Sepulangnya Embun dan Sandy dari mall, Embun melarang Sandy untuk pulang ke rumahnya. Ia ingin Sandy yang menemani dirinya malam ini. Mungkin karena perasaan khawatir.

Karena takut akan terjadi apa-apa ke Embun, Sandy menginap untuk malam ini di Apartemen Embun.

Semalaman Sandy tidak bisa tidur, ia berada di kamar Embun, namun ia duduk di sofa yang ada di kamar Embun. Berulang kali Sandy melihat Embun yang gelisah, mengingat perutnya yang sudah besar, bahkan untuk tidur menyamping saja sangat susah.

Pukul 3.00 pagi, Embun masih belum tertidur, bahkan berulang kali ia merasakan sakit karena kontraksinya. Kontraksi kali ini lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Dan lebih lama.

Karena khawatir, Sandy segera membawa Embun ke rumah sakit pada pukul 4.00 pagi.

Setibanya di rumah sakit, dan diperiksa oleh bidan pada pukul 4.20 ternyata Embun sudah memasuki pembukaan ke-tiga.

“Hufftt sakit kak,” ringis Embun terus-menerus.

“Iya sakit, terus atur nafasnya ya hah-hah-huh,” ucap bidan yang merawat Embun, seraya memberikan perintah.

Embun mengikuti arahan sang Bidan, untuk terus mengatur nafasnya.

“Good job Embun,” puji Sandy yang ada di samping Embun, dengan tangan yang menggenggam erat tangan Embun.

Karena tidak ada siapa-siapa di sana, dan dokter pun sudah mengenal Sandy, mau tidak mau Sandy lah yang menemani Embun.

Nafas Embun sedikit tidak teratur, namun ia tetap mengikuti arahan dari Bidan.

“Bagus Embun, tahan sebentar ya? Kamu kuat,” bisik Sandy.

Embun terus mengikuti arahan dari Bidan, untuk mengatur nafasnya. Ia melepaskan genggaman tangan Sandy, lalu mencengkram kuat bantal kepalanya.

Jujur Sandy sangat takut di posisi sekarang, namun ia tetap diam dan memberi semangat untuk Embun.

Pukul 5.30 Embun memasuki pembukaan ke-tujuh, rasa sakit yang dirasakan oleh Embun semakin menjadi-jadi.

Ia terus mengikuti arahan Bidan, mengatur nafasnya dan juga merasakan sakit yang amat sangat. Begitu juga dengan Sandy yang setia mengelus punggung Embun, agar rasa sakit yang Embun rasakan sedikit berkurang

Pukul 7.30 dokter datang, Embun memasuki pembukaan ke-sembilan, air ketubannya pecah secara alami.

“Halo dokter,” sapa Embun walaupun masih merasakan rasa sakit.

Dokter tersenyum ke arah Embun. “Halo Embun,” balasnya.

Karena sudah memasuki tahap lahiran, bidan mempersiapkan semua peralatan dan juga perlengkapan yang di butuhkan.

“Sekarang kita atur posisinya ya Bu, buka matanya lihat ke saya. Rangkul kedua kakinya,” ucap Bidan tersebut sambil mengarahkan tangan Embun. “Nanti pada saat ibu merasakan ada mules, kita tidak nafas tiup-tiup lagi ya,” sambung sang bidan.

Embun menyimak setiap arahan dari Bidan. Begitu juga dengan Sandy yang ada di sebelah kepala Embun, ia melihat mata Embun, yang sedang menahan semua rasa sakitnya.

“Tarik nafas dalam, tahan, tundukan kepala, ngedennya ke bawah.” Bidan tersebut kembali mengarahkan apa yang harus dilakukan Embun nantinya.

“Gak kuat, sakit kak,” lirih Embun.

“Bisa, pasti bisa ya, Embun hebat,” Jawab Sandy seraya mengusap lembut rambut Embun.

“Bisa, ibu pasti bisa,” sahut bidan yang menangani Embun.

Embun mengangguk paham.

“Sekarang ada mules?” Tanya bidan tersebut ke Embun.

Embun mengangguk, ia merasakan mules, dan juga sakit disaat yang bersamaan.

“Oke, sekarang ibu lihat ke saya, matanya dibuka, nanti ibu tarik nafas, tahan, tundukan kepala dan ngeden kebawah,” kata bidan tersebut seraya mempraktekkan sebagaimana yang harus dilakukan.

“Huffttt aaaasshh,” desis Embun menghembuskan nafasnya.

“Enggak, jangan di hembus, di tahan, jangan di tiup.”

“Kamu bisa Embun,” bisik Sandy ke Embun.

Embun mulai memahaminya, ia mencoba lagi arahan dari bidan. Rasa sakitnya semakin dalam.

Sakit.

Sangat sakit.

Embun terus melakukan arahan dari bidan, berkali-kali ia berusaha melawan rasa sakit yang ia rasakan.

“Semangat Embun.” Suara yang dari tadi Embun dengar, suara lembut Sandy yang tidak berhenti menyemangati Embun.

Embun dengan susah payah menoleh ke arah Sandy, ia melihat mata Sandy yang berkaca-kaca, merasakan tulusnya perjuangan Sandy untuk Embun.

Embun merasakan semangatnya kembali datang, ia melakukan instruksi dari bidan dan dokter kembali, melawan semua rasa sakitnya.

Perjuangan Embun tentu saja tidak sia-sia, ia berhasil untuk sementara.

“Bagus ibu, pinter, kita coba lagi ya,” puji sang bidan, ketika melihat kemajuan dari Embun.

“Tarik nafas, tahan.”

Embun mengikuti instruksi dari bidan lagi, berkali-kali sampai ia merasa lelah.

“Capek? Gpp, nanti kita sambung lagi. Istirahat dulu sebentar.”

“Ayo semangat ibu.”

“Pinter ibunya.”

“Good job Embun, tuntasin semuanya sampai akhir ya?” Sandy berbisik di telinga Embun.

Embun mengangguk, ia akan berjuang sampai akhir. “Embun masih sanggup,” ucap Embun pelan.

“Masih sanggup? Bagus, ayo kita lanjutin ya bu, tarik nafasnya, tahan ngeden kebawah,” instruksi bidan.

Embun melakukannya lagi, sampai perjuangannya membuahkan hasil.

“Bagus, bagus ibu.”

“Kepalanya udah mulai muncul.”

“Terus ibu, bagus.”

Pujian yang keluar dari mulut dokter dan juga bidan memberi semangat lebih untuk Embun.

Rasa sakit yang Embun rasakan sangat luar biasa, namun bagaimanapun ia harus menuntaskan ini semua sampai akhir.

Embun terus berjuang, mengikuti instruksi dari dokter dan bidan.

Sampai pada akhirnya Embun berteriak mengakhiri perjuangannya melawan sakit yang tidak ada ujungnya.

“Hebat.”

“Selesai.”

Penuturan dari dokter dan juga bidan, menandakan bahwa perjuangan Embun telah selesai. Buah hati yang selama ini ia kandung, kini telah lahir bersamanya ke dunia ini.

Di samping Embun, Sandy tidak melihat dokter yang sedang membersihkan bayi disana. Ia memejamkan matanya, merasakan sesuatu keluar dari matanya.

“Kak,” panggil Embun.

Dengan cepat Sandy mengangkat kepalanya, mengusap air matanya dan menatap Embun.

“Good job Embun, aku bangga sama kamu,” puji Sandy yang tiba-tiba mengubah panggilannya dari saya-kamu menjadi aku-kamu.

Sandy mengecup singkat pucuk kepala Embun, merasa bangga atas perjuangan yang telah dilakukan oleh Embun.

“Yeayy selamat.”

“Selamat menjadi ibu,” puji bidan yang sedari tadi membantu Embun, seraya meletakkan bayi Embun di dadanya.

Embun tidak bisa menahan tangisnya, tiba-tiba saja tangisnya pecah ketika melihat bayi yang selama ini ia kandung kini sudah lahir, dan berada di pelukannya.

Tiba-tiba saja ruangan itu dipenuhi oleh tangis bayi, seakan-akan mengetahui sedihnya sang ibu.

“Udahh, selamat ya. Ganteng banget, ulululu si ganteng nangis,” ucap sang bidan menenangkan Embun.

Suara bayi itu semakin kencang, dan begitu juga dengan Embun, ia tidak tau harus merasakan apa. Emosinya campur aduk, sedih, bahagia menjadi satu.

“Kak,” lirih Embun seraya menatap Sandy.

Sandy mengangguk, ia tersenyum dan menatap ke arah bayi yang ada di pelukan Embun.

“Selamat datang jagoan bunda Embun.”

Hari yang penuh arti oleh Embun, hari dimana ia merasakan menjadi seorang ibu seutuhnya. Merasakan gimana sakitnya perjuangan.

Ia beruntung, memilki orang yang sangat peduli pada dirinya, bahkan sampai titik ini dia lah yang menemani Embun. Walaupun dari lubuk hati yang paling dalam, Embun menginginkan sosok Jonathan yang ada di samping nya, dan menemaninya berjuang.


Terima kasih karena telah berjuang, Embun Gayatri.