Tentang Andira dan mama

Selepas dijemput oleh Johnny, kini keduanya sudah tiba di rumah.

Tanpa basa-basi, Andira langsung masuk ke dalam bahkan ia tidak memperdulikan Dona yang berada di sana, sedari tadi menunggu kepulangan mereka

“Udah pulang, nak? Ayah ngapain kamu?” tanya Dona khawatir terlebih dengan kondisi wajah Andira, yang dipenuhi lebam-lebam.

“Andira,” panggil Dona sebab Andira mengacuhkannya.

Setelah melepas sepatu dan menaruhnya di rak yang ada di belakang pintu, Andira hendak melangkahkan kakinya menuju kamar, tanpa mau menjawab pertanyaan mama nya.

“Andira.” Dona menahan tangan Andira.

Andira mendecak kesal, lalu ia menoleh dan menarik tangannya kasar.

“Apa sih, ma?” tanya Andira kesal seraya menatap Dona yang duduk di kursi rodanya.

“Kamu nggak apa-apa, kan?”

“Menurut mama? Setelah semua yang terjadi ke Andira, Andira akan baik-baik saja?” Andira menjawab dengan bertanya balik kepada Dona.

“Nak ....”

“Udahlah, ma, basi.”

Andira hendak melangkahkan kakinya kembali, namun lagi-lagi tertahan.

“Segitu bencinya kamu ke mama, Andira? Maafin mama, An, sungguh mama menyesal.” Sedikit terdengar suara isakan dari Dona. Namun hal itu tak membuat Andira goyah.

“Maaf atas kebodohan yang mama lakukan dulu, maaf karena mama telah menanam luka yang besar di kamu ....” Dona menggantung ucapannya, ia menunduk menangis di sana.

“Maaf karena mama, kamu harus menerima luka dari ayah kamu.”

Kata demi kata yang diucapkan oleh Dona, sama sekali tak menggoyahkan Andira, ia tetap pada pendiriannya yang dari dulu ia tetapkan. Diam dan berjalan di atas luka sendirian.

Andira sudah terlanjut nyebur dan basah, setiap luka yang akan ia terima akan selalu ia terima.

Andira naik melewati anak-anak tangga menuju kamarnya, ia tidak peduli dengan Dona yang menangis di bawah sana.

“Ma? Mama kenapa?” Johnny yang baru saja masuk ke kamar tampak khawatir mendapatkan Dona yang sedang menangis.

“Mama hina banget, ya, Jo? Bahkan Andira gak mah natap mama. Mama kena karma, ya, Jo?”

“Hust, ma, jangan gitu ah. Andira cuman belum bisa melupakan kejadian dulu, mama jangan khawatir, ya? Mama fokus aja ke penyembuh mama.”

“Dulu waktu Andira sedang butuh-butuhnya, bahkan dipanggil pun mama gak noleh, dia terus-menerus mencari perhatian mama, tapi mama gak pernah kasih. Sekarang? Sekarang mama dapat karmanya, Jo.”

Dona menangis didalam dekapan anak sulungnya itu. Menangis karena merasa bersalah, bukan karena sikap Andira.

“Biar Jo ngomong ke Andira, ya, ma? Mama istirahat udah malam.”

Selepas Johnny mengantarkan Dona ke kamar, ia melangkah menuju kamar Andira.

Berulang kali Johnny mengetuk pintu kamar Andira, namun tidak ada jawaban. Lelaki itu berinisiatif untuk masuk tanpa izin, untung saja pintu kamar tidak terkunci.

Johnny tidak menemukan Andira di dalam sana, ia tampak heran, tapi juga tidak berinisiatif keluar karena ia yakin Andira sudah di kamarnya tadi.

“An,” panggil Johnny lembut.

Tidak ada jawaban.

“Andira.”

Masih tidak ada jawaban.

Johnny melangkahkan mendekat kamar mandi yang ada di dalam kamar Andira, ia mendekatkan telinganya ke pintu, samar-samar ia mendengar suara tangis yang tertahan, ia yakin itu suara Andira.

“An, sini keluar nangis dipelukan abang,” ucap Johnny sembari mengetuk pintu kamar mandi.

Andira tidak menjawab, ia masih menangis di dalam sana.

“Jangan gini, ya? Sekarang kan kamu udah ada abang, mama juga udah berubah, kamu punya kita untuk berbagi cerita, An.”

Andira mendengar semua perkataan Johnny dari dalam, bukannya tenang, malah ia semakin terisak.

Andira duduk di depan pintu kamar mandi, menekuk kedua lututnya dan mengigit jari-jarinya agar suara tangisnya tertahan.

“An, sakit, ya?”

Pertanyaan dari Johnny berhasil membuat tangis Andira pecah. Dadanya terasa sangat sakit, gadis itu menggunakan tangannya untuk memukul-mukul dadanya.

“Sini abang obatin lukanya. Abang peluk sampai tidur.”

Andira semakin terisak, ia tidak bisa mengendalikannya lagi.

“Capek bang ....” Lirih Andira dengan suara bergetar.

“Kemana semua orang saat Andira butuh? Kemana semua orang saat Andira hampir mati?”

Air mata Andira semakin deras mengalir, semua ingatan yang membuatnya terluka kembali hadir.

Semua kejadian itu terputar dengan jelas di pikirannya.

“Kemana kalian saat Andira dipukul ayah, karena Andira lihat ayah selingkuh?”

Moment menyakitkan itu kembali hadir.

“Kemana kalian saat Andira dibully karena ayahnya selingkuh? Kemana kalian saat Andira diejek punya ibu seorang kupu-kupu malam?”

Tangis dan emosi Andira tak tertahan lagi, ia memukul-mukul dinding untuk melampiaskannya.

“Kemana bang? Gak ada. Kalian lari dengan alasan, kalian juga terluka.”

Johnny yang berada di luar tertegun dan terdiam mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Andira.

“Sekarang Andira udah terbiasa, bang, terbiasa dengan luka dan terluka.”

Setelah beberapa menit suara Andira tidak terdengar lagi, membuat Johnny sedikit khawatir, takut terjadi apa-apa ke Andira di dalam sana.

Saat Johnny hendak mengetuk pintu kamar mandi, tangannya tertahan karena Andira membuka pintunya dari dalam.

Johnny dibuat terkejut dengan keadaan Andira sekarang yang sangat berantakan.

Segera Johnny menarik Andira kedalam dekapannya.

“Maaf, maaf dulu abang egois, dulu abang juga belum bisa nerima semua ini, Andira.”

Johnny mengusap pelan punggung Andira yang begitu bergetar.

“Sakit waktu Andira cuekin mama, bang. Tapi waktu Andira lihat mama, Andira kembali teringat saat Andira hampir mati, mati karena mama.”

“Maaf .... Maaf ....” Berulang kali Johnny mengeluarkan kata maaf agar Andira tenang.

“Capek, bang, takut.”


Peluk dia, sebelum hilangnya menjadi sebuah penyesalan.