Tidak akan

Hari ini rasanya begitu melelahkan. Setelah sekolah, aku harus mengikuti kegiatan les tambahan, setelah itu aku harus les piano. Ternyata begini kehidupan anak orang kaya di luar sana.

Ya, walau aku gak tahu pasti bagaimana kehidupan mereka, lebih baik daripada aku, atau bahkan lebih parah. Setidaknya aku bersyukur karena guru les pelajaran perminatan aku ramah, tidak seperti guru les piano.

Bahkan hari ini aku sudah beberapa kali terkena pukulan kecil di tangan ku, dia memukul tangan-tangan ku mengenakan rotan yang selalu dia bawa kemana-mana.

Saat ini aku sedang di perjalanan pulang menuju rumah, sebenarnya ada senangnya juga jika aku harus pulang malam seperti ini, setidaknya aku tidak jumpa dengan Papa, yang akan menantang ku seperti hari itu.

Selama perjalanan aku tidak bisa menahan rasa kantuk, tapi aku tidak boleh tertidur, kalau aku tertidur aku akan susah dibangunkan dan rasa malas akan menguasai ku. Terlebih setelah ini aku harus menemui Rayna, walaupun aku ragu Rayna masih terjaga.

Sesampainya di rumah, aku tidak melihat siapa-siapa, rumah yang sangat besar ini kosong, bahkan suara nyamuk berterbangan saja tidak ada. Berbeda seperti di panti asuhan dulu, kecil, berisik.

Aku melangkah dengan langkah gontai karena rasa lelah dan ngantuk, sesampainya aku di depan pintu kamar aku hampir saja lupa, lupa untuk menemui Rayna di rumah pohonnya.

Aku pun segera melangkahkan kakiku ke sana, tidak perduli dengan tubuhku yang sudah begitu lelah dan juga sudah sedikit lengket.

Aku melihat rumah pohon itu masih diterangi dengan lampu, aku yakin kalau Rayna masih terjaga.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu rumah kayu Rayna setelah sampai di hadapan pintu itu. Sedikit lama aku menunggu pintu itu terbuka, sampai akhirnya Rayna muncul dengan wajah masamnya. Ya, apa yang aku harapkan, Rayna dengan wajah ramahnya? Bahkan saat pertama kali aku sampai di rumah ini, dia menyambutku dengan wajah masamnya itu.

“Kenapa?” tanyaku to the point, tidak mau berbasa-basi karena aku ingin segera tidur setelah ini.

Rayna tidak menjawab dia kembali masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu, aku tidak tahu apa itu.

“Nah,” katanya, seraya mengulurkan tangannya.

Dia menyerahkan lima buku dan juga sebuah rubik yang ada di atasnya. Aneh, itu seperti rubik ku, tapi kenapa rusak?

Aku mengernyit, tapi segera meraih buku itu dan juga rubiknya.

“Buku tentang perminatan, dasar sih, tapi gue yakin itu bisa ngebantu lo,” ucap Rayna. “Dan, sorry rubiknya rusak,” lanjutnya.

Aku diam sejenak kemudian membuka salah satu buku yang ada di tanganku. Buku itu seperti catatan, tapi terlihat begitu rapi, bait pertama aku membaca kalimat etika, aku tidak asing dengan materi ini, aku sudah membacanya tadi di sekolah dan juga di tempat les.

Aku segera menutup buku itu dan menatap Rayna. “Buat gue?”

“Gak mungkin buat Adhitama, dia udah nguasai semua itu,” jawab Rayna. Aku kira dia ingin bercanda, tapi dia mengatakan itu dengan wajah datarnya.

“Itu bisa ngebantu hidup, lo, dan gak akan rusak kayak rubik itu.”

Aku mengangguk. “Thanks, gue mau masuk ke kamar dulu, gak ada lagi, kan?” tanyaku memastikan.

Rayna terlihat terdiam sejenak, matanya liar menatap ke arah lain dengan cepat, lalu dia menjawab, “Nggak ada.”

Aku pun mengangguk kemudian bersiap untuk menuruni tangga rumah pohon Rayna.

Langkahku tertahan karena aku mendengar gumaman Rayna.

“Ya?”

“Selain susah gue selesaikan, rubik itu juga rusak kalau di tangan gue,” ujar Rayna.

Aku mengernyit tidak paham apa yang dimaksud oleh Rayna, udah kedua kalinya dia berbicara tentang rubik dan menyambungkannya dengan hidup, entahlah apa maksud dia, aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu sepertinya, karena tiba-tiba saja Rayna masuk begitu saja tanpa menjelaskan apa yang baru saja dia ujarkan.