.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu itu tidak berhenti-henti, sampai membuat Ara sang pemilik rumah emosi.
“Mau papa apasih!” Gerutu Ara seraya menghentakkan kakinya ke udara, karena dirinya sekarang sedang dalam posisi tidur.
Sedari tadi papa Arkan tidak berhenti mengetuk pintu rumah Ara dan tentu saja dengan Sandy. Namun saat ini Sandy tidak ada di rumah, tadinya ia pamit untuk menjaga Embun di rumah sakit.
Ara mendecak kesal. “Kalo gini Ara ikut aja tadi ke rumah sakit,” gerutunya lagi.
Walaupun Ara sudah menutup kedua telinganya menggunakan bantal sofa, suara ketukan pintu itu tetap saja menusuk telinganya.
Karena kesal Ara beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur. Di dapur ia mengambil sebuah sapu dan tidak lupa dengan serokan.
Kedua alat rumah tangga itu sering digunakan Ara sebagai senjata untuk mengusir papa nya, walaupun Ara tidak secara langsung mengusir. Namun ia akan mengumpulkan sampah terlebih dahulu dan menyapunya ke depan rumah untuk mengusir papa Arkan secara halus.
“Karena hari ini emosi Ara udah memuncak, Ara akan pake sapu dan serokan ini buat slebew papa,” Monolognya dengan memperagakan ala-ala kungfu.
“Adoh-adoh,” ringis Ara karena sapu yang ia pegang tidak sengaja terjatuh dan membuat tangannya sedikit terpelintir.
Ara melangkahkan kakinya menuju pintu, dengan kedua tangan yang sudah memegang erat perkakas kebanggaan nya.
Ceklek
Ara membukakan pintu, namun ia sedikit heran karena hari ini papa tidak sendirian. Ia bersama seorang pria yang ia kenal dari sang kakak, dia adalah Jonathan Abang tirinya.
Namun Ara menatap lekat-lekat mata Jonathan, pria tersebut seperti habis menangis, dan dia seperti tidak ada semangat hidup.
Pandangan Ara beralih ke sang papa yang baru saja ingin membuka mulut namun segera di sanggah oleh Ara.
“Gak ada orang di rumah,” celetuknya.
Papa Arkan menghela nafas, ia sudah sangat lelah berusaha untuk mengambil hati anaknya.
“Untuk yang terakhir kali Ara, izinkan papa untuk menjelaskan semuanya,” mohon papa Arkan.
Dengan acuh tak acuh Ara menatap mata Papa Arkan dan Jonathan secara bergantian.
“Kak Sandy lagi di luar, kapan-kapan aja.” Jawab Ara singkat dan tegas.
Kedua tangannya masih memegang perkakas yang ia ambil di dapur tadi.
Namun tidak lama Ara dapat melihat mobil sang kakak terparkir di depan pagar.
“Tamu nya kok gak di suruh masuk Ra?” Tanya Sandy yang masih belum mengetahui siapa tamu tersebut.
Sandy melangkahkan kakinya menghampiri Ara, ia mengerutkan dahi ketika melihat siapa yang menjadi tamunya.
“Ngapain kalian ke sini?” Tanya Sandy seraya menatap Papa Arkan dan Jonathan secara bergantian.
Sandy dapat melihat Jonathan yang masih sedih, mungkin karena perpisahannya dengan Embun tadi.
“Izinkan papa untuk menjelaskan semuanya Sandy, setelah ini papa tidak akan menganggu kalian lagi,” mohon Papa Arkan.
Ara manarik-narik lengan baju Sandy. “Suruh aja masuk,” bisik Ara.
Sandy mengangguk, menyetujui bisikan sang adik.
“Masuk,” suruh Sandy, lalu ia melangkahkan kakinya ke dalam di ikutin oleh Papa Arkan dan juga Jonathan.
Sebelum ikut masuk Ara menyapu halaman terasnya terlebih dahulu.
“Batas suci issshh kesellll—”
Sandy mempersilahkan Papanya dan juga Jonathan untuk duduk di sofa ruang tamu rumahnya.
Ara baru saja kembali dari dapur dengan napan yang berisikan tiga gelas teh di tangannya, ia meletakkan dengan perlahan gelas tersebut di depan tamu-tamunya.
“Ara ke kamar ya kak,” izin Ara dengan sopan, lalu ia hendak melangkahkan kakinya ke kamar.
Namun langkah Ara terhenti. “Ara, di sini aja, dengerin semuanya,” ucap Papa Arkan.
Sebenarnya Ara malas, namun ia di kode oleh Sandy untuk menuruti perintah sang papa.
Setelah Ara duduk, Papa Arkan tersenyum, seperti ada kebanggaan bagi dirinya melihat ketiga anaknya di dalam satu ruangan.
“Papa minta maaf atas kesalahan papa, dan keegoisan papa dulu,” Ucap Papa Arkan membuka topik pembicaraan.
Papa Arkan menepuk paha Jonathan, membuat Jonathan yang sedari tadi menunduk mengangkat kepala.
“Mereka adik-adik kamu Jo, seperti yang papa bilang beberapa hari yang lalu.”
Jonathan menatap mata Sandy dan juga Ara secara bergantian, namun tidak seperti adik pada umumnya, kehadiran Jonathan di rumah ini hanya seperti matahari mencair, panas hingga membuat Ara bahkan Sandy tidak tahan berada di sana lama-lama.
Jonathan mengangguk, ia menatap papanya dan tersenyum tipis.
“Dulu papa bernasib sama seperti kamu Jona, tapi bedanya papa egois—” kalimat papa Arkan tergantung, ia menatap mata sang anak satu persatu.
“Dulu ibu Sandy dan juga Ara adalah cinta pertama papa. Sama seperti kamu ke Embun, ibu mereka orang yang lembut dan ceria seperti Embun,” lanjutnya.
Mata papa Arkan tertuju pada sebuah foto yang di pajang di dinding rumah itu.
“Cantik,” lirihnya.
“Ibu tidak bisa mengasih papa keturunan pada saat itu, umur pernikahan kita juga masih seumur jagung. Namun nenek dan kakek sangat ingin keturunan dari papa. Papa di jodohkan, papa nikah dengan mama kamu dan di ketahui oleh mereka kalau papa sudah bercerai dengan ibu,” Jelas papa Arkan dengan mata yang tidak lepas dari foto ibu Sandy dan juga Ara.
“Papa egois, papa masih berhubungan dengan ibu pada saat itu, sampai kamu menginjak umut tiga tahun, ibu mengabarkan bahwa dirinya hamil. Perasaan papa semakin besar untuk ibu, namun satu kesalahan papa,” ucapnya.
“Papa lupa akan tanggung jawab papa, papa membiarkan ibu membesarkan Sandy seorang diri, papa hanya datang ke ibu ketika papa sedang ada masalah dengan mama kamu Jo. Sampai akhirnya Ara hadir di dunia ini, papa kembali melupakan tanggung jawab papa,” ungkapnya.
Jonathan mendengarkan penjelasan sang papa dengan seksama, ia sedikit kesal dan juga marah. Sosok papa yang selama ini ia kagumi, ternyata memiliki kesalahan yang begitu besar.
“Tujuan papa dan Jonathan kemari untuk apa?” Tanya Sandy tiba-tiba.
Papa Arkan menghelakan nafasnya kasar. “Papa hanya ingin hubungan keluarga kita baik kembali Sandy,” Jawabnya dengan mudah.
Sandy mendecak kesal, ia mengangguk mengeluarkan sebuah smirk di bibirnya.
“Keluarga ya?” Sarkas Sandy. “Kemana keluarga Sandy ketika Sandy dan Ara kehilangan ibu? Kemana keluarga Sandy dan Ara ketika kita sedang membutuhkan atap untuk berteduh. Kemana keluarga kami ketika dulu kami butuh sosok untuk berkeluh kesah?” Lanjutnya masih dengan sarkas.
Ara tidak berani bicara, ia tau begitu susah perjuangan sang kakak untuk berada di titik sekarang. Dulu ketika mereka kehilangan sang ibu, mereka sampai memakan makanan sisa yang entah itu masih bagus atau sudah basi.
“Papa minta maaf,” kata Papa Arkan dengan sungguh-sungguh.
“Untuk apa papa meminta kita untuk menjadi keluarga papa? Papa udah bahagia dengan kekayaan papa bukan? Dengan istri cantik dan juga anak yang sukses?” Kini Ara yang menyahut perkataan Papa Arkan.
Ara menatap mata sang papa dengan penuh amarah. “Kita gak butuh sosok keluarga lagi pa, keluarga Ara adalah kak Sandy, dan begitupun sebaliknya.”
“Kak Jonathan,” panggil Ara.
Jonathan menatap balik mata Ara. “Kak Jonathan bisa jadi anak yang baik buat papa kan? Kita menghargai kalian, tapi kita udah bahagia dengan kesendirian,” kata Ara dengan amarahnya yang memuncak.
Papa Arkan terus meminta maaf ke Sandy dan juga Ara. Jonathan yang hanya diam seperti orang bisu.
Pada akhirnya Sandy mengucapkan iya, namun tidak untuk menjadi keluarga, ia hanya bisa memaafkan kesalahan sang papa, namun tidak kembali kepada dirinya.
Papa Arkan menghargai keputusan kedua anaknya, ia sedikit bersyukur ketika pintu maaf dari kedua anaknya terbuka.