tujuh belas

Seperti rencananya tadi, sebelum ke rumah sakit, Milla diantarkan terlebih dahulu ke tpu dimana Mamanya dimakamkan. Sepanjang perjalanan tidak banyak obrolan antara Milla dan Robert. Karena Robert sendiri bukan tipe orang yang suka ngoceh, dan Milla juga sedikit malas kalau ngoceh kalau tidak ditanggapi. Berbeda kalau ada Wisnu di sana, pasti suasananya akan lebih ramai.

Sesampainya di pemakaman, Milla menyuruh Robert untuk menunggu di mobil saja, karena Milla ingin waktu sendirian. Robert sebenarnya tidak mau, tapi demi menghargai permintaan Milla, dia menuruti Milla namun tidak menunggu di mobil melainkan menunggu tidak jauh dari Milla berada.

“Ma ... Milla datang lagi,” sapa Milla sembari jongkok di samping makam Mamanya.

“Suami Mama sama istrinya sakit karena keracunan. Jadi, terpaksa Milla jaga, 'kan?” ujar Milla melaporkan semua hal seperti biasanya.

“Mau gimana pun Milla tumbuh besar sama mereka. Ya, walaupun gak sebahagia sama Mama.” Milla tersenyum kecil.

“Bahkan jauh dari kata bahagia,” sambungnya.

Kembali mengingat saat dia masih umur enam belas tahun, Milla harus kehilangan Mamanya—satu-satunya orang tua kandung yang dia punya. Sulit bagi Milla untuk bertahan, apalagi Mamanya meninggal akibat bunuh diri. Banyak hal yang Milla lalui hingga dirinya tumbuh sampai sekarang.

“Milla gak pernah berhenti dibully dulu, Ma. Bahkan setelah Mama meninggal dan sampai sekarang,” ucap Milla lirih. Menyakitkan baginya kalau harus mengingat masa lalu.

“Tapi sekarang Milla udah terbiasa kok, Ma. Karena Mama suruh Milla ikhlas jalanin semuanya.”

Milla tersenyum walaupun hatinya begitu menyakitkan harus berbicara sendiri seperti ini.

“Milla sempat kepikiran gimana, ya, hidup Milla tanpa Mama? Kira-kira Milla jadi apa?” Milla menjeda ucapannya sejenak untuk mengambil napas yang mulai tidak beraturan.

“Milla bisa, Ma. Sekarang Milla jadi model terkenal, banyak yang sayang Milla, tapi masih banyak yang benci Mila. Tapi Milla harus terus ikhlas, kan, Ma?”

Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini menetes seketika. Sedikit demi sedikit semakin deras. Milla menangis karena merasa bangga dan juga tidak percaya dengan apa yang telah dia lalui sampai sekarang.

“Milla bisa saja benci ...,” kata Milla mulai terisak. “Tapi, kata Mama Milla harus ikhlas.”

Milla menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki yang kini dia peluk dengan kedua tangannya. Menumpahkan semuanya sendirian di sana.

Setelah di rasa tenang, Milla pun kembali menegakkan kepalanya untuk menatap makan Mamanya lagi.

“Terakhir, Ma, maaf.”

Kata Maaf itu tidak lupa dia ucapkan setiap kali dirinya mengunjungi makam sang Mama. Entah apa maksud dari kata maaf itu, tidak ada yang tahu kecuali Milla, bahkan Robert pun—yang kini sudah berdiri di belakang Milla—juga tidak tahu.

“Mama pasti bangga sama, lo,” ucap Robert sembari berjongkok di samping Milla, tangannya dia gunakan untuk mengusap kepala dan rambut Milla agar Milla tenang.

Milla menoleh hingga netra mereka saling bertemu. Milla mengangguk sambil tersenyum kecil, yang dibalas senyuman juga oleh Robert.

Kemudian Milla merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah gantungan berbentuk paus kecil.

“Mama kasih ini ke gue terakhir kalinya, bahkan saat keadaan Mama gak baik-baik saja Mama masih nyiapin sesuatu buat gue, Rob.” Milla menatap gantungan paus itu yang ada di telapak tangannya.

Gantungan itu menjadi saksi bisu semua luka yang pernah terjadi. Setiap kali Milla menatapnya maka Milla seakan kembali ke masa menyakitkan itu.

“Mama lo masih ngejaga lo sampai sekarang dari itu. Tunjukin kalau lo memang bener-bener bisa ikhlas kayak yang Mama lo mau.”

Milla mengangguk lalu dia mengusap air matanya perlahan dengan tangannya. Gantungan paus itu kini dia gantung di tas kecil yang dia pakai.

“Milla selalu ikhlas, Ma.”


“Gue tinggal nggak apa-apa, 'kan?' tanya Robert ke Milla yang kini mereka sudah tiba di depan ruangan dimana kedua orang tua tiri Milla dirawat.

Milla mengangguk. “Santai bos!”

Robert tertawa kecil, padahal tadi Milla menangis tersedu-sedu, kini dia kembali riang begitu saja.

“Bawa yang gue kasih ke lo?”,

Milla kebingungan sejenak, sampai dia teringat apa yang dimaksud oleh Robert.

Dengan cepat Milla merogoh tas kecil yang dia pakai, mengeluarkan sebuah electric lighter dan juga pisau lipat yang berukuran kecil.

“Tusuk, bakar!”

“Bukan tusuk bakar, tapi gunain buat jaga-jaga.”

“Dih, kalo gue berhadapan langsung sama pembunuh, ya, gue bunuh lah dia.”

“Lo mau jadi pembunuh juga?”

Milla seketika terdiam. Benar juga, tapi aneh juga, dia diberi senjata tajam namun tidak boleh digunakan. Milla mau membantah tapi itu Robert, jadi yasudahlah.

“Ya ya. Yaudah sana, tolong tangkap pembunuhnya, ya, detektif Robert!”


Krek

Suara itu berasal dari dapur. Seorang pria bernama Jovas sedang memotong sayur-sayuran di dapurnya.

Dia terlihat begitu pandai menggunakan pisau, melihat potongan-potongan sayur yang begitu rapi. Bahkan ayam-ayam yang akan dia sajikan untuk pembeli pun terpotong dengan rapih.

“Haduh ... Pembunuhan pembunuhan lagi! Dia manusia atau bukan, sih, tidak berperikemanusiaan sekali! Buat orang-orang takut saja.”

Jovas menghentikan gerakan memotongnya saat mendengar ocehan dari Bu Namy—asisten yang bekerja di warung ayamnya.

Jovas menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis dan melanjutkan kembali memotong sayur-sayuran yang ada di hadapannya, mengabaikan ocehan Bu Namy yang tiada hentinya.

Brak!

Jovas terkesiap saat sebuah ember besar diletakkan di sampingnya tiba-tiba.

“Pokoknya kamu harus hati-hati, ya, Jovas. Ibu gak mau kamu berhadapan sama manusia psikotes apa itu psikotek, lupa Ibu apa kata anak Ibu kemarin.”

Jujur Jovas tidak bisa menahan tawanya membuat dia harus mengeluarkan tawa kecil.

“Psychopath, Bu,” koreksi Jovas.

Jovas melepaskan sarung tangan yang dia kenakan kemudian mengambil alih mengangkat ember besar yang berisikan ayam-ayam di dalamnya.

“Ya, itu! Maklumlah ibu sudah tua,” kata Bu Namy sembari mengambil alih memotong sayur-sayuran yang tadinya menjadi pekerjaan Jovas.

Jovas menggelengkan kepalanya lagi. “Memang kenapa, Bu?”

Tak!

“Kamu gak tahu!” tanya Bu Namy dengan suara sedikit lantang, bahkan dengan suara ketukan pisau yang begitu keras.

Mendengarnya membuat Jovas terkejut tentu saja.

“Jovas belum check berita, Bu.”

“Padahal kamu tuh anak muda harusnya lebih tahu, anak saya saja tahu beritanya dari twitter apa itu namanya, itu lah.”

Jovas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Belakangan ini memang Jovas jarang sekali menonton berita dan juga membuka sosial media.

“Saya cuman follow BMKG, Bu,” jawab Jovas dengan suara kecil. Jovas sedikit malu mengucapkan itu, padahal pengikutnya di sosial media sudah banyak.

“Ya, itulah. Sepertinya beritanya masih ada, coba Ibu hidupnya televisi dulu.”

Bu Namy menyalakan televisi yang disediakan di dapur. Dan benar saja, ternyata berita pembunuhan itu masih disiarkan di sana.

Pembunuhan yang terjadi sekitar lima hari yang lalu ternyata. Jovas mengingat apa yang dia lakukan lima hari yang lalu, sambil mengerutkan keningnya. Kalau tidak salah dia sedang membunuh ayam-ayam yang akan jadi persediaan. Lebih tepatnya mengambil persediaan ayam.

Raut wajah Jovas berubah yang tadinya keningnya mengerut kini dia menunjukkan raut wajah datar, ketika mendengar headline news itu menyebutkan kalau berita diduga pembunuhan itu ada sangkut pautnya dengan berita pembunuhan yang sama tahun lalu.

Entah apa yang ada dipikiran Jovas hingga dia menatap berita itu dengan begitu serius, sampai panggilan dari pelanggan memecahkan keseriusannya dan kembali beraktivitas seperti semula. Namun, dengan bayang-bayang berita pembunuhan itu yang masih ada di kepalanya.