.
Tw // self harm , blood
Ayah, maafin Ran.
Dengan penuh keberanian Ran menghampiri Hazel yang sedang berada di ruang tengah.
“Abang,” panggil Ran dengan lembut.
“Apa?” sahut Hazel dingin.
Ran meneguk air liurnya, seketika nyalinya menciut.
“Ran boleh minjem duit gak?”
Tadinya Hazel sedang fokus ke handphonenya kini ia menatap Ran.
“Buat apa?” tanya Hazel tegas.
“B-buat beli coklat, disuruh kakak OSIS,” jawab Ran pelan.
“Gak ada duit, lo bohong aja ke OSIS besok,” balas Hazel lalu ia berdiri hendak masuk ke kamarnya.
“Bohong gimana bang?”
Langkah Hazel terhenti. “Pikir sendiri sudah besar,” jawab Hazel tanpa menoleh ke Ran.
Setelah berpikir beberapa jam, kini Ran sedang berjalan-jalan mencari duit tentu saja.
Bukan, bukan duit orang yang jatuh ke jalan, namun ia bertanya-tanya ke warung yang bersedia memakai jasanya.
“Permisi bu.” Ran memasuki satu warung makan kecil yang ada di pinggir jalan.
“Iya ada apa?” tanya ibu sang pemilik warung.
“Saya boleh bantu cuci piringnya bu?”
Pemilik warung tersebut tidak langsung menjawab, ia seperti paham dengan tujuan Ran datang ke warungnya.
Ibu pemilik warung tersebut melihat sekilas ke arah tumpukan piring kotornya sebelum ia menjawab, “Yasudah, boleh.”
Senyum Ran mengembang. “Terima kasih banyak bu!”
Dengan senang hati Ran mencuci piring di warung tersebut dengan hati-hati, walaupun ia tau uang yang akan ia dapatkan nanti pasti sedikit.
Setelah semuanya selesai, Ran menghampiri ibu pemilik warung yang sedang membereskan sisa-sisa makanan.
“Bu, sudah selesai,” kata Ran.
“Oh sudah ya, ini buat kamu cukup kan?” Ibu pemilik warung tersebut menyerahkan uang lima ribu selembar kepada Ran.
Ran tersenyum lalu mengangguk. “Lebih dari cukup bu, terima kasih banyak,” jawab Ran berbohong.
“Yasudah kamu boleh pulang, ah iya besok jangan datang lagi ya?”
“Kenapa Bu?”
“Bukannya saya tidak mau membantu kamu, tapi warung saya lagi sepi.”
“Ahhh maaf ya bu, maaf banget.”
Ibu pemilik warung tersebut mengangguk. “Untuk hari ini tidak apa-apa, jadi saya tidak terlalu capek, terima kasih ya.”
Ran tersenyum lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari warung tersebut. Ran terkejut mendapatkan hari sudah gelap, dengan cepat ia melihat jam yang ada di handphonenya.
“Hah udah jam tujuh!” Pekik Ran terkejut.
Wajar saja, cukup lama ia berkeliling sampai menemukan warung yang memberinya kesempatan untuk memakai jasa cuci piring Ran.
Dengan cepat Ran memasukkan handphonenya kembali ke saku celana yang ia kenakan, lalu ia berlari pulang ke rumah, sudah dipastikan ia akan dimarahin oleh ayahnya nanti.
“Darimana saja kamu?”
Suara berat milik Johnny terdengar keras di telinga Ran. Benar dugaan Ran, Johnny akan sangat marah kepada Ran.
“Maaf ayah,” lirih Ran.
Tangan Johnny dengan kuat mencengkram kedua pipi Ran, membuat Ran kesakitan.
“Darimana saja kamu anak kurang ajar!” teriak Johnny.
Ran memejamkan matanya kesakitan, ia berusaha melepaskan cengkraman tangan ayahnya.
“S-sakit ayah,” lirih Ran.
Bukannya melepas, Johnny semakin kuat mencengkram pipi Ran.
“Jawab!” bentak Johnny dengan suara yang sangat keras.
Ran menangis, ia merasakan sakit di pipi dan juga di dadanya, ia juga takut akan mendapatkan yang lebih.
“M-maaf ay—”
Tangan Johnny siap mendarat di pipi Ran, namun untung saja Maraka datang menahan tangan Johnny yang hendak menampar Ran.
Maraka membantu Ran agar tangan Johnny terlepas dari pipinya.
“Udah ayah, udah,” ucap Maraka berusaha menenangkan Johnny.
Maraka dapat melihat amarah yang terpancar dari mata Johnny, tekanan yang Johnny dapatkan dari luar, membuatnya melampiaskan kepada Ran.
“Ran masuk Ran,” suruh Maraka ke Ran.
Dengan cepat Ran berlari memasuki kamarnya, tidak lupa untuk mengunci pintu kamarnya.
Ran menjatuhkan tubuhnya di lantai, dengan tembok yang ia jadikan sandaran.
Ran menangis sesenggukan, ia merasakan ketakutan yang amat besar.
Ran membenturkan kepalanya dengan keras di tembok kamarnya, bukan hanya sekali namun berkali-kali membuat darah mengalir dari hidungnya.
“Maafin Ran ayah,” lirihnya merasa bersalah.
Ran kembali membenturkan kepalanya, tanpa memperdulikan darah yang keluar dari hidungnya.
“Jangan, jangan sakitin Ran.” Ran meringkuk tubuhnya menutup kedua telinganya menggunakan kedua tangannya.
Tubuh Ran bergetar dengan sangat kuat.
“Jangan, Ran minta maaf, maaf ayah. Jangan pukul Ran,” teriak Ran, ketakutannya membuat Ran berhalusinasi hal itu sering Ran alami setiap Johnny memukul dan berteriak di hadapannya.