#.

Kebahagiaan


Kall ditanya apa yang buat Ran bisa bertahan sampai sekarang. Jawabannya cukup simpel, kebahagiaan.,

Ran bukan tidak bahagia selama ini, hanya saja rasa sakit yang terima menutupi rasa bahagia tersebut.

Namun kini perlahan mulai membaik, Ran harus bertahan sampai kebahagiaan itu kembali kepada dirinya.

“Kamu kenapa diem aja?” tanya Fito memecahkan keheningan.

Ran memang sedang mendorong kursi roda milik Fito, namun dengan tatapan kosong.

Ran tersadar dari lamunannya. “Maaf Fito, lagian Fito diem juga sih,” jawab Ran mengelak.

“Kita mau kemana emang?” tanya Fito lagi.

“Ke taman, bentar lagi juga sampe.”

Fito mengangguk sebagai jawaban.

Ran terus mendorong kursi roda milik Fito dengan hati-hati, sampai mereka tiba di taman yang Ran maksud.

Taman yang cukup sepi, namun tidak jarang ada yang datang hanya untuk menenangkan diri di sana, salah satunya Ran.

Taman itu tidak jauh dari rumah Ran dan juga Fito, makanya mereka memilih untuk jalan kaki.

“Ini tamannya!” seru Ran bersemangat.

“Lebih tepatnya lapangan kosong,” balas Fito seraya memandang setiap sudut dari taman yang seperti lapangan kosong tersebut.

Ran tertawa mendengar hal tersebut. Ran melangkahkan kakinya ke samping Fito, dan mendudukkan dirinya di rumput taman.

“Kenapa duduk di bawah?” tanya Fito seraya memperhatikan gerak-gerik Ran.

“Ya mau dimana lagi? Di pangkuan Fito?” jawab Ran ngasal.

Fito menggeleng. “Kamu berat.”

Ran menatap sinis Fito, Fito hanya tertawa kecil.

“Kenapa kamu ngajak aku ke sini?”

“Ya karena Ran gak ada tujuan lain?”

Mereka saling melempar tatapan, dan hening. Sampai Ran tertawa diikuti oleh Fito juga.

“Ran bercanda, Ran sering ke sini kalo Ran lagi sedih,” jawabnya serius.

“Gak takut diculik?”

Ran menggeleng, tangannya menunjuk ke sebuah rumah di depan mereka, tidak jauh dari taman tersebut.

“Itu rumah pak rt, ngapain takut?”

Fito mengangguk paham, ia sedikit tertawa. Fito sedikit tidak paham dengan tingkah unik Ran.

Tiba-tiba saja Fito teringat sesuatu, dirinya hendak menanyakan hal ini kepada Ran dari awal perjumpaan mereka.

“Ran,” panggil Fito lembut, Fito menunduk agar bisa menatap Ran.

Ran menoleh ke arah Fito, menatap mata Fito. “Iya Fito?” sahut Ran.

“Aku boleh nanya sesuatu?”

Ran mengangguk. “Boleh banget.”

“Maaf, aku gak pernah lihat bunda kamu, bunda kamu kemana?”

Ran terdiam, tidak ada jawaban sama sekali.

Ran menolehkan pandangannya ke depan, menatap kosong ke depan.

Ran baru teringat akan hal itu, bunda atau ibu, ia tidak pernah mengucapkan kata itu seumur hidupnya.

Bahkan di ingatan yang masih bisa ia ingat, tidak ada sosok ibu di sana.

Ran tidak pernah melihat foto ibunya, jangankan foto sang ibu, foto dirinya sendiri saat kecil saja tidak ada.

Ran merogoh saku baju kodok yang ia kenakan, ia mengambil buku kecil yang sudah sedikit lusuh, buku kecil yang berisikan semua memori-memori yang masih ia ingat.

“Ran gak tau bunda Ran kemana, tapi Ran pernah dengar, kalo bunda Ran udah gak ada,” jawab Ran pelan seraya membaca bukunya.

“Gak ada?” tanya Fito kebingungan.

Ran mengangguk. “Udah meninggal mungkin?” jawabnya ragu-ragu.

Ran tersenyum tipis. “Banyak hal yang Ran gak tau Fito, mungkin karena Ran masih kecil,” ucapnya tenang.

Fito terdiam, ia sangat penasaran dengan Ran, apa yang telah ia alami selama ini, dan sebesar apa luka yang ia terima. Dan—

“Apa yang membuat kamu bisa sekuat ini Ran?”

“Kebahagiaan—” Ran menggantung ucapannya.

“Kebahagiaan yang akan Ran rasakan kelak.”