☀️ Why me?
“Lo itu cupu.”
“Lo pecundang.”
“Dan sekarang lo pembunuh!”
“Jul, gue adek lo, kan? Tapi, kenapa gue?”
“Julio ..., Julio ..., bangun.”
“Argh!” Alaska Julio Bakhtiar, atau yang sering dipanggil Julio. Dia memekik dengan begitu kerasnya saat kalimat demi kalimat dan juga namanya dipanggil.
Ternyata kalimat-kalimat menyeramkan tadi hanya mimpi saja. Untung saja Julio terbangun dengan cepat sebelum kalimat-kalimat itu membunuhnya dalam mimpi.
Julio menoleh ke samping kiri kasurnya, melihat Naya—sang Mama—sudah duduk di sana. Julio pun mengubah posisinya menjadi terduduk dibangun oleh Naya.
“Minum dulu,” suruh Naya sambil menyerahkan segelas air putih kepada putranya itu.
Tanpa menolak Julio pun meneguk air itu, namun hanya sedikit. Julio kembali memejamkan matanya, mengingat mimpi buruk yang baru saja dia alami tadi.
“Sini Mama peluk,” kata Naya sembari merentangkan tangannya, tidak lupa dia memberikan senyuman yang begitu tulus.
Julio pun menghamburkan tubuhnya ke tubuh Naya, menumpahkan semua ketakutannya di dalam pelukan itu.
“It's okay, Mama here,” ucap Naya, sembari mengusap kepala dan punggung Julio yang masih saja bergetar ketakutan.
Julio mengangguk, namun tidak memberikan jawaban apa-apa. Karena rasa takut itu masih menghantui dirinya.
“Why me?” tanya Julio kepada Naya, dengan suara bergetarnya.
Bukan pertama kalinya Julio bertanya seperti itu. Bahkan Julio sendiri tidak tahu jawaban yang pasti dari pertanyaannya sendiri.
Naya tidak menjawab, karena dia pun tidak tahu harus menjawab dengan kalimat apa. Dan juga dia sedikit takut akan menyakiti perasaan anaknya itu.
“Mama percaya kamu bisa, Julio,” ucap Naya.
Julio hanya mengangguk kemudian melepaskan pelukan Naya, dan kembali menyenderkan tubuhnya di kepala kasur.
“Mama harus pergi, Mama gak bisa lama-lama, sayang. Maafin mama.”
“It's okey.”
Tidak masalah bagi Julio, karena ini bukan pertama kali, tidak izin pun tidak masalah baginya.
“Jangan takut.” Naya mengusap keringat yang mengalir di pipi Julio. “Kamu gak sendirian di sini.”