Panglimakun

“Andre, gue lagi butuh waktu sendiri.” Kali ini Nowel sedikit mengeraskan suaranya, agar Andre berhenti mengetuk pintu kamarnya.

Sudah sekitar tiga puluh menit setelah Andre tiba di rumah, Nowel—tepatnya di depan kamar Nowel, tidak berhenti mengentuk pintu kamarnya.

Nowel sangat menghargai usaha Andre yang ingin memberinya semangat. Namun, untuk kali ini Nowel benar-benar ingin waktu sendiri, benar-benar sendiri dalam keadaan menyerah. Karena, tidak selamanya hidup dalam keadaan semangat, 'kan? Setidaknya menurut Nowel sendiri.

Kini ia sedang duduk—di atas kasur—sambil memeluk kedua kaki yang ia tekuk. Sesekali membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya, untuk meredam suara isakan yang enggan pergi.

Rasanya sangat sakit hingga ia tidak bisa menolak isakan yang ingin keluar dari mulutnya. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia dihadapkan dalam kondisi seperti ini. Diberi harapan, lalu diselingkuhi.

Dua tahun yang lalu, ia mendengar seseorang berkata kalau dirinya adalah masa depannya. Seseorang adalah Abev Khavian, seorang pria yang telah menjadi pacarnya selama enam tahun. Namun, setelah meyakinkan Abev, Nowel berhasil membuat Abev pergi mengejar masa depannya di Swiss tanpa harus melupakan dirinya di sini.

Namun, setelah satu tahun menjalin hubungan jarak jauh dengan Abev. Siapa sangka pria itu ternyata menjalin hubungan dengan wanita lain di sana, bahkan lebih memilih untuk melanjutkan hubungannya dengan wanita itu, dan melepaskan Nowel di sini. Hubungan hampir tujuh tahun kandas begitu saja.

Lalu, beberapa bulan setelah kejadian itu, seorang pria yang sudah lama ia kenal bernama Milano Nalendra, tiba-tiba datang dan memberinya harapan, membantu Nowel untuk bangkit dari keterpurukannya. Mempercayai Nowel, kalau ia pantas untuk dicinta.

Tapi sayangnya hubungan dengan Milano pun ternyata tidak berjalan dengan lancar. Siapa yang dapat menduga ternyata pria itu juga harus pergi dengan wanita lain.

Kini Nowel semakin percaya, kalau dirinya memang tidak pernah pantas untuk mendapatkan cinta, dari siapapun itu. Keluarga, teman, bahkan pacar.

Setelah puas menangis terisak-isak, Nowel meyakinkan diri untuk bangkit dari kasurnya. Ia melangkahkan kaki—sedikit terhuyung—ke arah meja membacanya. Di sana ia melihat surat-surat yang pernah Abev kirim kepadanya, surat-surat tentang Abev dan juga Swiss. Sayangnya kini surat-surat itu sudah tidak pernah ia dapatkan lagi.

Nowel menarik kursi lalu mendaratkan tubuhnya ke sana. Meraih surat-surat itu, lalu membacanya lagi satu per satu.

“Bev, kalau aja aku gak izinin kamu buat ke Swiss, kamu bakalan tetep di sini, 'kan? Sama aku?” molognya lirih, sambil berandai-andai kalau dulu saja ia menahan Abev tetap di sisinya. “Tapi, aku egois jadinya, 'kan, Bev? Tapi kayaknya lebih baik aku egois daripada aku harus kehilangan kamu.”

Ia kembali menangis, namun kali ini Nowel tidak mau kembali terisak. Ia pun menyeka air matanya segera, lalu menaruh kembali surat-surat itu di atas meja bacanya.

Bukan tanpa alasan juga Nowel tidak ingin kembali terisak. Sebenarnya ada satu hal yang benar-benar mengganggu dirinya sekarang. Yaitu, Andre, entah apa yang sedang pria itu lakukan di luar sana, yang pastinya Nowel mendengar suara yang sangat keras, yang Nowel duga berasal dari televisi.

Saat Nowel keluar dari kamarnya dan melangkah ke ruang tengah yang sangat dekat dengan kamarnya, benar saja dugaan Nowel, ia melihat Andre sedang menonton acara televisi dengan suara yang sangat kencang, hingga telinga Nowel terasa sakit. Segera Nowel mengambil remote yang ada di meja di hadapan Andre, lalu mengecilkan volume televisi itu. Lalu keadaan kembali tenang.

“Lo mau budeg nonton tv suaranya segede itu!” gerutu Nowel sedikit kesal.

Pelaku bukannya merasa bersalah, ia malah terkekeh bangga, sambil menepuk-nepuk sofa memberi kode agar Nowel duduk di sampingnya.

Nowel memutar bola matanya kesal, namun ia tetap menuruti Andre dan duduk di samping pria itu menghadap ke arah televisi yang sedang menutar acara entah apa itu.

“Tonton deh, Now. Lucu, kayak hidup suka ngelawak.”

Nowel terheran-heran ia ingin tertawa juga mendengar perkataan Andre yang ada benarnya. Lalu, tanpa memberi komentar apapun, Nowel ikut larut menonton acara aneh yang sedang ditonton oleh Andre.

Andre tidak berbohong, acara itu benar-benar lucu, sampai Nowel tidak bisa menahan tawanya, padahal baru saja beberapa menit yang lalu ia menangis terisak-isak.

“Lucu, 'kan?”

“Sumpah lucu banget, ego. Gak kuat gue, ha ha ha!” Nowel memukul pundak Andre sambil tertawa terbahak-bahak, ia benar-benar tidak bisa menahannya.

“Gue bilang juga apa.”

Nowel mengangguk setuju, lalu setelah itu ia diam dan menyandarkan tubuhnya kembali ke senderan sofa.

“Makasih, ya, Ndre. Gue enggak tahu mau bilang apa lagi ke lo. Lo selalu bantu gue kalo gue lagi kena masalah.”

“Iya, soalnya lo cuman punya gue. Maksudnya, sahabat lo, kan, cuman gue.”

Nowel mengangguk setuju. “Iya. Tapi, lo gak harus segitunya juga, kok, Ndre. Lo, kan, ngejaga gue juga karena disuruh Abev, sekarang gue bukan siapa-siapanya Abev lagi.”

Andre mengerutkan keningnya sambil menoleh menghadap Nowel, hingga mereka saling menatap keheranan.

“Kata siapa gue mau jadi sahabat lo karena Abev?”

“Terus?”

“Ya, karena gue mau, lah!”

Nowel tertawa sambil menggeleng. “Bullshit, lo tahu gue dari SMA, lo sahabat Abev awalnya, gue pacar Abev pas SMA. Semua orang juga tahu kalau gue beruntung punya Abev, padahal waktu SMA gue dimusuhin sama semua orang.”

“Banyak hal di dunia ini yang lo gak tahu, Now.”

Nowel mengerut keheranan. “Makanya kasih tahu.”

“Dan banyak hal di dunia ini yang lo gak perlu tahu.”

“Now, please, jangan marah. Aku gak nerima tawaran chef Dewi, kok. Serius,” ucap seorang pria bernama Abev Khavian yang kini sedang duduk menghadap dengan seorang gadis bernama Nowel Kimberly di sampingnya, sambil terus memegang tangan sang gadis, untuk meyakinkan sang gadis kalau dia tidak akan pergi meninggalkannya.

Abev adalah seorang cook / commis 1 yang bekerja di salah satu hotel bintang lima di kotanya. Baru saja ia mendapatkan tawaran untuk bekerja dengan jabatan yang lebih tinggi dan tawaran gaji yang tak kalah tinggi.

Sungguh menggiurkan, juga salah satu keinginan Abev untuk berada di jabatan itu. Namun, yang menjadi masalah, pekerjaan itu mengharuskan dirinya pindah ke Negeri lain, dimana ia harus bekerja pada ia harus melangkah ke benua Eropa untuk mengambil tawaran tersebut. Lebih tepatnya, ke Negara yang disebut-sebut Negara terbersih juga terindah di dunia, yaitu Swiss.

Pindah ke Negara lain bukan satu masalah bagi Abev, terlebih Swiss adalah negara yang sangat ingin ia datangin suatu saat nanti. Namun, ada seseorang yang membuat dirinya berat untuk menerima tawaran itu. Tidak lain, Nowel Kimberly, gadis yang sudah ia pacari selama enam tahun lamanya.

“Bev, denger, ya, Swiss salah satu keinginan kamu dari dulu. Sekarang kamu dapet tawaran pekerjaan terus kenaikan pangkat ke Negara itu, gak ada alasan buat kamu nolak,” balas Nowel yang kini membalikkan badannya agar bisa saling bertatapan dengan Abev.

“Kamu,” balas Abev dengan tegas. “Kamu alasan aku buat nolak tawaran itu, aku gak mungkin ninggalin kamu,” sambung Abev dengan begitu yakin.

Nowel melenguh panjang mendengar kalimat Abev, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, sambil memejamkan matanya.

Lalu ia berkata, “Don't be stupid, Abev. Pursue your future, don't waste the time and opportunities that come to you.

Nowel diam sejenak, lalu kembali menegakkan kembali tubuhnya, lalu kembali menatap Abev yang tidak pernah menarik pandangannya sedetikpun dari Nowel.

Don't be stupid, cause of stupid things, cause of me. Kejar masa depan kamu, Abev.”

“I'm doing it.”

No, you're not.”

I am, Nowel. Aku lagi kejar masa depan aku, aku lagi berusaha mempertahankan masa depan aku. Kamu, kamu masa depan aku.”

“Now, please, jangan marah. Aku gak nerima tawaran chef Dewi, kok. Serius,” ucap seorang pria bernama Abev Khavian yang kini sedang duduk menghadap dengan seorang gadis bernama Nowel Kimberly di sampingnya, sambil terus memegang tangan sang gadis, untuk meyakinkan sang gadis kalau dia tidak akan pergi meninggalkannya.

Abev adalah seorang cook / commis 1 yang bekerja di salah satu hotel bintang lima di kotanya. Baru saja ia mendapatkan tawaran untuk bekerja dengan jabatan yang lebih tinggi dan tawaran gaji yang tak kalah tinggi.

Sungguh menggiurkan, juga salah satu keinginan Abev untuk berada di jabatan itu. Namun, yang menjadi masalah, pekerjaan itu mengharuskan dirinya pindah ke Negeri lain, dimana ia harus bekerja pada ia harus melangkah ke benua Eropa untuk mengambil tawaran tersebut. Lebih tepatnya, ke Negara yang disebut-sebut Negara terbersih juga terindah di dunia, yaitu Swiss.

Pindah ke Negara lain bukan satu masalah bagi Abev, terlebih Swiss adalah negara yang sangat ingin ia datangin suatu saat nanti. Namun, ada seseorang yang membuat dirinya berat untuk menerima tawaran itu. Tidak lain, Nowel Kimberly, gadis yang sudah ia pacari selama enam tahun lamanya.

“Bev, denger, ya, Swiss salah satu keinginan kamu dari dulu. Sekarang kamu dapet tawaran pekerjaan terus kenaikan pangkat ke Negara itu, gak ada alasan buat kamu nolak,” balas Nowel yang kini membalikkan badannya agar bisa saling bertatapan dengan Abev.

“Kamu,” balas Abev dengan tegas. “Kamu alasan aku buat nolak tawaran itu, aku gak mungkin ninggalin kamu,” sambung Abev dengan begitu yakin.

Nowel melenguh panjang mendengar kalimat Abev, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, sambil memejamkan matanya.

Lalu ia berkata, “Don't be stupid, Abev. Pursue your future, don't waste the time and opportunities that come to you.

Nowel diam sejenak, lalu kembali menegakkan kembali tubuhnya, lalu kembali menatap Abev yang tidak pernah menarik pandangannya sedetikpun dari Nowel.

Don't be stupid, cause of stupid things, cause of me. Kejar masa depan kamu, Abev.”

“I'm doing it.”

No, you're not.”

I am, Nowel. Aku lagi kejar masa depan aku, aku lagi berusaha mempertahankan masa depan aku. Kamu, kamu masa depan aku.”

“Now, please, jangan marah. Aku gak nerima tawaran chef Dewi, kok. Serius,” ucap seorang pria bernama Abev Khavian yang kini sedang duduk menghadap dengan seorang gadis bernama Nowel Kimberly di sampingnya, sambil terus memegang tangan sang gadis, untuk meyakinkan sang gadis kalau dia tidak akan pergi meninggalkannya.

Abev adalah seorang cook / commis 1 yang bekerja di salah satu hotel bintang lima di kotanya. Baru saja ia mendapatkan tawaran untuk bekerja dengan jabatan yang lebih tinggi dan tawaran gaji yang tak kalah tinggi.

Sungguh menggiurkan, juga salah satu keinginan Abev untuk berada di jabatan itu. Namun, yang menjadi masalah, pekerjaan itu mengharuskan dirinya pindah ke Negeri lain, dimana ia harus bekerja pada ia harus melangkah ke benua Eropa untuk mengambil tawaran tersebut. Lebih tepatnya, ke Negara yang disebut-sebut Negara terbersih juga terindah di dunia, yaitu Swiss.

Pindah ke Negara lain bukan satu masalah bagi Abev, terlebih Swiss adalah negara yang sangat ingin ia datangin suatu saat nanti. Namun, ada seseorang yang membuat dirinya berat untuk menerima tawaran itu. Tidak lain, Nowel Kimberly, gadis yang sudah ia pacari selama enam tahun lamanya.

“Bev, denger, ya, Swiss salah satu keinginan kamu dari dulu. Sekarang kamu dapet tawaran pekerjaan terus kenaikan pangkat ke Negara itu, gak ada alasan buat kamu nolak,” balas Nowel yang kini membalikkan badannya agar bisa saling bertatapan dengan Abev.

“Kamu,” balas Abev dengan tegas. “Kamu alasan aku buat nolak tawaran itu, aku gak mungkin ninggalin kamu,” sambung Abev dengan begitu yakin.

Nowel melenguh panjang mendengar kalimat Abev, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, sambil memejamkan matanya.

Lalu ia berkata, “Don't be stupid, Abev. Pursue your future, don't waste the time and opportunities that come to you.

Nowel diam sejenak, lalu kembali menegakkan kembali tubuhnya, lalu kembali menatap Abev yang tidak pernah menarik pandangannya sedetikpun dari Nowel.

Don't be stupid, cause of stupid things, cause of me. Kejar masa depan kamu, Abev.”

“I'm doing it.”

No, you're not.”

I am, Nowel. Aku lagi kejar masa depan aku, aku lagi berusaha mempertahankan masa depan aku. Kamu, kamu masa depan aku.”

“Now, please, jangan marah. Gue gak nerima tawaran chef Dewi, kok. Serius,” ucap seorang pria bernama Abev Khavian yang kini sedang duduk menghadap dengan seorang gadis bernama Nowel Kimberly di sampingnya, sambil terus memegang tangan sang gadis, untuk meyakinkan sang gadis kalau dia tidak akan pergi meninggalkannya.

001

a “Memang benar saya tidak pernah menaruh harapan ke kamu,” ucap Joel setelah membaca isi rapor milik Ran dan meletakkannya kembali di atas meja.

“Untung saja kamu anak terakhir, anak yang seharusnya tidak saya inginkan kehadiran kamu,” kata Joel tenang, namun kalimatnya benar-benar menusuk, hingga membuat Maraka dan Hazel ternganga tidak menyangka.

“Asal yang harus kamu ingat, saat kamu tamat nanti, tanggung jawab saya ke kamu selesai,”

Ulang tahun. Hari spesial yang mungkin hari sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orangnya.

Begitu juga dengan kembar Alaska dan Alea. Mereka juga sangat menunggu moment di hari ulang tahunnya. Namun, setiap ulang tahunnya datang, selalu ada hal mengejutkan terjadi.

Hal mengejutkan seperti kejutan ulang tahun dari kedua orang tua? Atau dari saudara? Atau bahkan dari teman-teman? Atau hadiah yang sangat ditunggu-tunggu tiba-tiba diberikan kepada mereka?

Tentu saja bukan. Karena yang mereka terima bukanlah hadiah atau kejutan, melainkan sebuah tragedi yang selalu saja terjadi kala ulang tahun mereka tiba.

Hingga di ulang tahun selanjutnya, semuanya terasa aneh, menakutkan dan menyakitkan.

Bagaimana tidak. Bagaimana harus berbahagia kalau tepat di hari itu, hari yang seharusnya memperingati hari kelahiran, malah berubah menjadi hari memperingati kematian.

Hingga satu hari mereka sadar, bahwa ada suatu kesalahan di hari ulang tahun kita

Ulang tahun kali ini bertepatan satu hari setelah pembagian raport semester akhir. Seperti biasa Alaska menempati juara satu paralel di angkatannya.

Bukan suatu hal yang membuat terkejut, apalagi bagi Alea. Dan juga bukan satu alasan untuk Alea bersedih karena dirinya hanya bisa mendapatkan juara lima belas di kelas—bahkan biasanya Alea hanya akan menduduki juara dua puluh di kelasnya.

Alea sama sekali tidak marah, ataupun iri. Karena ia tahu perbedaan perjuangan antara dirinya dan juga saudara kembarnya itu. Alaska mati-matian untuk belajar, sedangkan Alea, mati-matian ingin mati.

Bukan candaan, bahkan saat ini ia sedang berpikir bagaimana agar ia tidak bertemu dengan hari ulang tahunnya di tahun depan.

Alea sedang menyelesaikan rubik yang ada di tangannya, ia bisa menyelesaikan rubik itu dalam waktu lima menit. Lumayan, setidaknya Alea bisa menyelesaikannya.

Ia baru saja hendak menuju kasurnya untuk merebahkan tubuh yang serasa sangat lelah. Namun, hal itu harus ia urungkan karena suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Sudah dapat dipastikan Alaska lah yang mengetuk pintu.

Alea menghela napas panjang sebelum ia melangkah menuju pintu kamarnya. Dugaan Alea pun benar, Alaska lah yang kini ada di hadapan pintu kamarnya, setelah ia membuka pintu tersebut.

“Kenapa?” tanya Alea tanpa basa-basi.

Alaska menatap Alea dengan tatapan dingin seperti biasanya. Tatapan seperti enggan menatap mata adik sekaligus saudara kembarnya itu.

“Papa udah pulang. Papa nunggu kita di ruang tengah,” jawab Alaska juga sama tanpa basa-basi.

Alea kembali menghela napas panjang. Ia sedikit malas saat mendengar seseorang itu disebutkan, apalagi di hari ini—hari ulang tahunnya.

Namun, Alea sama sekali bukan anak durhaka, ia pun segera menutup pintu kamarnya dan melangkah melalui Alaska menuju ruang tengah rumah sederhana mereka.

“Gue janji nggak akan omongin soal peringkat kita di sekolah,” kata Alaska sembari memutar tubuhnya menatap punggung Alea yang kian menjauh.

Alea hanya mengacungkan jempol, tanpa membalas ucapan Alaska. Lagian mau tidak diomongin pun, orang itu akan tahu hasilnya. Dan akan sama saja dampaknya kepada Alea, ujung-ujungnya Alea akan diacuhkan.

Sesampainya di ruang tengah, Alea tidak hanya melihat Papanya di sana, ia juga melihat Iriana—sang nenek— dan juga Raihan—sang paman.

Alea duduk di sofa yang berhadapan dengan Iriana dan juga Raihan, juga dengan Alaska yang menyusul duduk di samping Alea.

Di sofa samping kiri Alea serta samping kanan Iriana, terdapat sofa single yang diduduki oleh papanya —Jeorome.

Mata Alea dan juga Alaska sama-sama tertuju ke arah meja yang ada ada di hadapan mereka. Di sana terdapat sebuah kue ulang tahun dengan enam belas lilin kecil di atasnya. Hanya ada satu kue dan hanya ada enam belas lilin, sedangkan yang ulang tahun hari ini ada dua orang anak yang akan menginjak usia enam belas tahun.

“Hasil raport kalian gimana, Ka, Le?” tanya Iriana memecahkan keheningan di antara mereka.

Alea tersenyum kecil, berbeda dengan Alaska yang mulai memasang muka panik.

“Kak Alaska dapat peringkat satu lagi di angkatannya,” jawab Alea mewakilkan Alaska yang tidak mungkin mengingkari janjinya tadi.

Mata Alea dengan cepat menangkap ekspresi dari Iriana, Raihan, bahkan Jeorome. Mereka sama-sama tersenyum, namun tidak dengan Jeorome, lelaki itu hanya menatap Alaska dengan tatapan yang tidak tahu harus diartikan dengan apa.

“Kalo kamu, Le?” Kini Raihan lah yang bertanya.

“Lima belas dari dua puluh murid di kelas,” jawab Alea tanpa menunjukkan kekecewaan di wajahnya.

Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Iriana sangat berbeda, namun ia berusaha untuk mempertahankan senyumnya. Dan Jeorome, bahkan ia tidak memalingkan matanya sedikitpun kepada Alea.

“Nggak apa-apa, meningkat dari semester lalu. Dipertahankan, ya, Le. Kalau bisa ditingkatkan,” ucap Raihan, seperti ingin memberikan suasana hangat di sana.

Alea hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Yasudah kalau begitu ayo kita rayain ulang tahunnya, juga kita rayain atas kerja keras kalian untuk mendapatkan peringkat itu,” ucap Raihan kemudian mulai menyalakan lilin yang menancap di atas kue ulang tahun itu.

Alea sedikit melirik Alaska yang di hadapannya, Alaska seperti tidak tenang, takut, dan marah. Namun tidak tahu alasannya mengapa.

Tidak ada nyanyian dan juga kegembiraan di sana. Sama sekali tidak menunjukkan suasana perayaan.

“Di hari ulang tahun kalian ini, apa yang kalian harapkan?” tanya Iriana kepada Alea dan juga Alaska.

Kalimat itu bukan hanya pertanyaan, tapi juga kalimat untuk Alea dan juga Alaska memulai untuk menyebutkan harapan mereka di dalam hati.

Alaska mengepal kedua tangannya sambil memejamkan mata. Berbeda dengan Alea yang hanya diam seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Alaska, selamat.” Kalimat pertama yang Jeorome ucapkan setelah sekian lama membungkam.

Kalimat itu mungkin sangat berarti bagi Alaska, namun sangat menyakitkan bagi Alea.

“Terima kasih, Pa. Alaska bakalan selalu berusaha jadi yang terbaik,” jawab Alaska dengan senyuman tipisnya.

“Tiup lilinnya, itu hadiah dari saya. Buat kamu.”

Alea tidak salah dengar, kok. Alea sangat sangat yakin dan juga tidak terkejut sama sekali.

Alaska mengangguk sebelum itu ia menatap Alea, Alea pun ikut mengangguk kecil. Lalu, tanpa menunggu lagi, Alaska meniup keenam belas lilin itu hingga padam sepenuhnya. Padamnya lilin itu dibarengin dengan suara tepuk tangan dari Iriana dan juga Raihan.

“Alea kenapa nggak tiup lilin? Om nyalain lagi, ya?” Raihan hendak menyalakan lagi lilin yang terlihat sudah sangat pendek itu.

“Nggak usah!” Dengan cepat Alea menahan dengan suara sedikit lantang nan keras. “Nggak perlu ada yang dirayain. Lilinnya cuman ada enam belas, berarti cuman ada satu orang yang bakalan nginjak usia enam belas tahun, tahun ini. Dan itu Kak Alaska.”

Alea bangkit dari duduknya membuat semua yang ada di sana menatapnya.

“Sedangkan Alea? Alea udah lama mati. Cuman tubuh Alea aja yang nggak ditanam. Ya, kan, Pa?”

“Alea!” pekik Jeorome dengan nada tinggi.

“Kenapa, Pa? Papa mau marah? Silahkan, Pa. Harusnya Alea yang marah. Kenapa setiap ulang tahun Alea sama Kak Alaska, cuman Kak Alaska yang dirayain? Iya, kita kembar, tapi Alea juga mau dapat kue sendiri di hadapan Alea dengan lilin baru, bukan bekas.” Mata Alea mulai berkaca-kaca, namun ia tidak ingin menangis, ia tidak mau kelihatan lemah, apalagi dihadapan Alaska.

“Karena enggak mungkin saya ikut merayakan ulang tahun kamu, kalau di hari itu—”

“Kalau di hari itu hari yang sama dengan kematian! Ya. Bukan cuman kematian mereka, tapi juga kematian jiwa Alea,” potong Alea dengan cepat.

“Alea!” Iriana yang sedari diam mulai tidak bisa menahan emosinya karena ucapan Alea.

“Jangan kamu bawa-bawa kematian dengan begitu mudahnya, Alea,” sambung Iriana.

Alea tertawa kecil, lalu berkata, “Tapi kenyataannya memang gitu, 'kan, Pa? Papa enggak pernah mau Alea rayain ulang tahun Alea, karena Mama meninggal saat melahirkan Alea. Padahal, Kak Alaska juga lahir dari rahim yang sama di hari yang sama, enggak pernah tuh dapat tatapan benci dari Papa?”

“Alea ...,” tegur Alaska, ia mulai menenangkan adiknya itu. Namun semua sia-sia saja.

“Kenapa, Pa? Karena yang lahir terakhir Alea? Kalau yang terakhir lahir Kak Alaska, Papa bakalan begini? Atau ..., kalau yang mati Alea, bukan Mama, Papa begini?”

Jeorome yang ditanya hanya dapat diam. Menahan emosi dan juga memikirkan jawaban apa yang harus ia katakan.

“Jawabannya enggak, kan, Pa? Karena bukan kematian yang Papa benci. Tapi Alea. Papa benci Alea.”

Tanpa menunggu jawaban apapun dari orang-orang yang ada di sana, Alea berlari menuju kamar, bukan kamarnya, melainkan kamar seseorang yang selalu ia gunakan kala ia mengalami hal yang sama. Sedih dan juga marah.

Ulang tahun kali ini bertepatan satu hari setelah pembagian raport semester akhir. Seperti biasa Alaska menempati juara satu paralel di angkatannya.

Bukan suatu hal yang membuat terkejut, apalagi bagi Alea. Dan juga bukan satu alasan untuk Alea bersedih karena dirinya hanya bisa mendapatkan juara lima belas di kelas—bahkan biasanya Alea hanya akan menduduki juara dua puluh di kelasnya.

Alea sama sekali tidak marah, ataupun iri. Karena ia tahu perbedaan perjuangan antara dirinya dan juga saudara kembarnya itu. Alaska mati-matian untuk belajar, sedangkan Alea, mati-matian ingin mati.

Bukan candaan, bahkan saat ini ia sedang berpikir bagaimana agar ia tidak bertemu dengan hari ulang tahunnya di tahun depan.

Alea sedang menyelesaikan rubik yang ada di tangannya, ia bisa menyelesaikan rubik itu dalam waktu lima menit. Lumayan, setidaknya Alea bisa menyelesaikannya.

Ia baru saja hendak menuju kasurnya untuk merebahkan tubuh yang serasa sangat lelah. Namun, hal itu harus ia urungkan karena suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Sudah dapat dipastikan Alaska lah yang mengetuk pintu.

Alea menghela napas panjang sebelum ia melangkah menuju pintu kamarnya. Dugaan Alea pun benar, Alaska lah yang kini ada di hadapan pintu kamarnya, setelah ia membuka pintu tersebut.

“Kenapa?” tanya Alea tanpa basa-basi.

Alaska menatap Alea dengan tatapan dingin seperti biasanya. Tatapan seperti enggan menatap mata adik sekaligus saudara kembarnya itu.

“Papa udah pulang. Papa nunggu kita di ruang tengah,” jawab Alaska juga sama tanpa basa-basi.

Alea kembali menghela napas panjang. Ia sedikit malas saat mendengar seseorang itu disebutkan, apalagi di hari ini—hari ulang tahunnya.

Namun, Alea sama sekali bukan anak durhaka, ia pun segera menutup pintu kamarnya dan melangkah melalui Alaska menuju ruang tengah rumah sederhana mereka.

“Gue janji nggak akan omongin soal peringkat kita di sekolah,” kata Alaska sembari memutar tubuhnya menatap punggung Alea yang kian menjauh.

Alea hanya mengacungkan jempol, tanpa membalas ucapan Alaska. Lagian mau tidak diomongin pun, orang itu akan tahu hasilnya. Dan akan sama saja dampaknya kepada Alea, ujung-ujungnya Alea akan diacuhkan.

Sesampainya di ruang tengah, Alea tidak hanya melihat Papanya di sana, ia juga melihat Iriana—sang nenek— dan juga Raihan—sang paman.

Alea duduk di sofa yang berhadapan dengan Iriana dan juga Raihan, juga dengan Alaska yang menyusul duduk di samping Alea.

Di sofa samping kiri Alea serta samping kanan Iriana, terdapat sofa single yang diduduki oleh papanya —Jeorome.

Mata Alea dan juga Alaska sama-sama tertuju ke arah meja yang ada ada di hadapan mereka. Di sana terdapat sebuah kue ulang tahun dengan enam belas lilin kecil di atasnya. Hanya ada satu kue dan hanya ada enam belas lilin, sedangkan yang ulang tahun hari ini ada dua orang anak yang akan menginjak usia enam belas tahun.

“Hasil raport kalian gimana, Ka, Le?” tanya Iriana memecahkan keheningan di antara mereka.

Alea tersenyum kecil, berbeda dengan Alaska yang mulai memasang muka panik.

“Kak Alaska dapat peringkat satu lagi di angkatannya,” jawab Alea mewakilkan Alaska yang tidak mungkin mengingkari janjinya tadi.

Mata Alea dengan cepat menangkap ekspresi dari Iriana, Raihan, bahkan Jeorome. Mereka sama-sama tersenyum, namun tidak dengan Jeorome, lelaki itu hanya menatap Alaska dengan tatapan yang tidak tahu harus diartikan dengan apa.

“Kalo kamu, Le?” Kini Raihan lah yang bertanya.

“Lima belas dari dua puluh murid di kelas,” jawab Alea tanpa menunjukkan kekecewaan di wajahnya.

Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Iriana sangat berbeda, namun ia berusaha untuk mempertahankan senyumnya. Dan Jeorome, bahkan ia tidak memalingkan matanya sedikitpun kepada Alea.

“Nggak apa-apa, meningkat dari semester lalu. Dipertahankan, ya, Le. Kalau bisa ditingkatkan,” ucap Raihan, seperti ingin memberikan suasana hangat di sana.

Alea hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Yasudah kalau begitu ayo kita rayain ulang tahunnya, juga kita rayain atas kerja keras kalian untuk mendapatkan peringkat itu,” ucap Raihan kemudian mulai menyalakan lilin yang menancap di atas kue ulang tahun itu.

Alea sedikit melirik Alaska yang di hadapannya, Alaska seperti tidak tenang, takut, dan marah. Namun tidak tahu alasannya mengapa.

Tidak ada nyanyian dan juga kegembiraan di sana. Sama sekali tidak menunjukkan suasana perayaan.

“Di hari ulang tahun kalian ini, apa yang kalian harapkan?” tanya Iriana kepada Alea dan juga Alaska.

Kalimat itu bukan hanya pertanyaan, tapi juga kalimat untuk Alea dan juga Alaska memulai untuk menyebutkan harapan mereka di dalam hati.

Alaska mengepal kedua tangannya sambil memejamkan mata. Berbeda dengan Alea yang hanya diam seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Alaska, selamat.” Kalimat pertama yang Jeorome ucapkan setelah sekian lama membungkam.

Kalimat itu mungkin sangat berarti bagi Alaska, namun sangat menyakitkan bagi Alea.

“Terima kasih, Pa. Alaska bakalan selalu berusaha jadi yang terbaik,” jawab Alaska dengan senyuman tipisnya.

“Tiup lilinnya, itu hadiah dari saya. Buat kamu.”

Alea tidak salah dengar, kok. Alea sangat sangat yakin dan juga tidak terkejut sama sekali.

Alaska mengangguk sebelum itu ia menatap Alea, Alea pun ikut mengangguk kecil. Lalu, tanpa menunggu lagi, Alaska meniup keenam belas lilin itu hingga padam sepenuhnya. Padamnya lilin itu dibarengin dengan suara tepuk tangan dari Iriana dan juga Raihan.

“Alea kenapa nggak tiup lilin? Om nyalain lagi, ya?” Raihan hendak menyalakan lagi lilin yang terlihat sudah sangat pendek itu.

“Nggak usah!” Dengan cepat Alea menahan dengan suara sedikit lantang nan keras. “Nggak perlu ada yang dirayain. Lilinnya cuman ada enam belas, berarti cuman ada satu orang yang bakalan nginjak usia enam belas tahun, tahun ini. Dan itu Kak Alaska.”

Alea bangkit dari duduknya membuat semua yang ada di sana menatapnya.

“Sedangkan Alea? Alea udah lama mati. Cuman tubuh Alea aja yang nggak ditanam. Ya, kan, Pa?”

“Alea!” pekik Jeorome dengan nada tinggi.

“Kenapa, Pa? Papa mau marah? Silahkan, Pa. Harusnya Alea yang marah. Kenapa setiap ulang tahun Alea sama Kak Alaska, cuman Kak Alaska yang dirayain? Iya, kita kembar, tapi Alea juga mau dapat kue sendiri di hadapan Alea dengan lilin baru, bukan bekas.” Mata Alea mulai berkaca-kaca, namun ia tidak ingin menangis, ia tidak mau kelihatan lemah, apalagi dihadapan Alaska.

“Karena enggak mungkin saya ikut merayakan ulang tahun kamu, kalau di hari itu—”

“Kalau di hari itu hari yang sama dengan kematian! Ya. Bukan cuman kematian mereka, tapi juga kematian jiwa Alea,” potong Alea dengan cepat.

“Alea!” Iriana yang sedari diam mulai tidak bisa menahan emosinya karena ucapan Alea.

“Jangan kamu bawa-bawa kematian dengan begitu mudahnya, Alea,” sambung Iriana.

Alea tertawa kecil, lalu berkata, “Tapi kenyataannya memang gitu, 'kan, Pa? Papa enggak pernah mau Alea rayain ulang tahun Alea, karena Mama meninggal saat melahirkan Alea. Padahal, Kak Alaska juga lahir dari rahim yang sama di hari yang sama, enggak pernah tuh dapat tatapan benci dari Papa?”

“Alea ...,” tegur Alaska, ia mulai menenangkan adiknya itu. Namun semua sia-sia saja.

“Kenapa, Pa? Karena yang lahir terakhir Alea? Kalau yang terakhir lahir Kak Alaska, Papa bakalan begini? Atau ..., kalau yang mati Alea, bukan Mama, Papa begini?”

Jeorome yang ditanya hanya dapat diam. Menahan emosi dan juga memikirkan jawaban apa yang harus ia katakan.

“Jawabannya enggak, kan, Pa? Karena bukan kematian yang Papa benci. Tapi Alea. Papa benci Alea.”

Tanpa menunggu jawaban apapun dari orang-orang yang ada di sana, Alea berlari menuju kamar, bukan kamarnya, melainkan kamar seseorang yang selalu ia gunakan kala ia mengalami hal yang sama. Sedih dan juga marah.