Prolog
“Malam-malam gini, pulang kerja, enaknya disambut kopi,” lirih Yasim, pria dewasa berusia 24 tahun, yang kini sedang berjalan di halaman rumahnya yang kecil.
Langkah Yasim terhenti kala ia mendengar suara asing. Bulu kuduk Yasim seketika berdiri, walaupun tubuhnya terbilang kekar, wajahnya yang menyeramkan, wataknya yang sangat ditakuti oleh orang di sekitarnya. Yasim sendiri takut kepada hal-hal yang berbau ghaib.
“Halah, mana mungkin ada, udah tobat aku, nih,” monolognya berusaha untuk tidak takut. Walaupun ia bermonolog sambil tertegun.
Karena penasaran dan juga tidak mungkin ia berdiri di sana terus-menerus, Yasim pun mendekati asal suara. Asal suara itu berada di teras rumah Yasim yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil.
“Bujang bujang!” Yasim terkesiap kaget, saat ia melihat dua bayi laki-laki tergeletak di bawah meja kecil di teras rumahnya.
“Aku berharap disambut kopi malah disambut tuyul,” ucapnya ngasal.
“Tapi gak mungkin juga, lah, ini tuyul, suaranya bikin sakit kuping soalnya.”
Yasim menyipitkan matanya, kakinya berusaha bergerak mendekati kedua bayi itu. Ia ingin memastikan kalau bayi itu ada bayi asli, bukan siluman tuyul.
“Bayi Kelen, 'kan? Alah, dosa apa aku Tuhan, udah tobat padahalnya aku. Bukan lagi Preman aku, udah jadi pria beriman, kenapa ada aja cobaan ini.” Mulut itu terus mengoceh, tapi tubuh Yasim tetap mendekati kedua bayi itu.
Yang pertama ia raih adalah sepucuk kertas yang ada di antara kedua bayi itu. Yasim membacanya dengan seksama. Raut wajahnya berubah menjadi serius, bahkan detak jantungnya menjadi tidak beraturan kala membaca surat itu.
“Aku taubat, kawanku pula yang jadi setan.” Yasim meletakkan kembali surat itu di antara kedua bayi laki-laki yang masih saja menangis.
Yasim berjongkok di hadapan kedua bayi itu. “Kuapakan lah kalian jadinya sekarang? Takut aku enggak jadi orang nanti kalian.” Yasim pun menghela napas dengan kasar.
Ada rasa kasihan saat ia menatap mata kedua bayi itu. Hatinya sakit saat mendengar suara tangisan yang saling menyahuti, seakan-akan mengadu kepadanya, atas perbuatan kedua orang tua kandung mereka.
Ya, kedua bayi yang ada di hadapan Yasim saat ini adalah, bayi dari sahabatnya yang tidak mau bertanggung jawab.
4 Tahun kemudian
Sarapan, kegiatan pembuka di awal pagi yang cerah. Yasim yang sedang menyiapkan makanan untuk dirinya dan juga dua anak kembar yang kini sedang sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Bapak!”
Suara itu menghentikan tangan Yasim yang hendak mengarahkan sendok sayur untuk merasakan sayuran yang sedang ia masak.
“Apa?” Sahut Yasim dengan suara sedikit keras agar terdengar oleh anaknya.
“Jae udah siap pup nya!” Khiel Jaendral Abriel, si kembar bungsu yang sedang berada di kamar mandi berteriak melaporkan kegiatannya.
Yasim pun menghela napas panjang. “Kalau udah siap pup kenapa pula lapor ke aku,” monolognya acuh. Kemudian ia kembali ingin mengarahkan sendok sayur itu ke mulutnya. Sayangnya kegiatan itu kembali terhenti kala suara Jae kembali terdengar, bahkan jadi lebih lantang daripada sebelumnya.
“Cebokin!”
“Alahmak, sayur bayamnya ku cekokin setiap hari, kok bisa kuat kali suara dia.”
Mau tidak mau Yasim pun harus meninggalkan kegiatan masak memasaknya itu, agar bisa menuruti perintah si kembar, daripada rumahnya akan bau karena Jae yang akan keluar dari kamar mandi tanpa dibersihkan, lebih baik ia menunda sarapannya.
Jangan tanya kemana si kembar satunya, karena ia masih sibuk di dunia mimpi.
“Ih, banyak kali tai kau,” ucap Yasim ketika tiba di kamar mandi.
Tidak terima dikatakan seperti itu, Jae yang memiliki mulut tajam pun berkata, “Ih daripada Bapak banyak hutang!”