Panglimakun

“Malam-malam gini, pulang kerja, enaknya disambut kopi,” lirih Yasim, pria dewasa berusia 24 tahun, yang kini sedang berjalan di halaman rumahnya yang kecil.

Langkah Yasim terhenti kala ia mendengar suara asing. Bulu kuduk Yasim seketika berdiri, walaupun tubuhnya terbilang kekar, wajahnya yang menyeramkan, wataknya yang sangat ditakuti oleh orang di sekitarnya. Yasim sendiri takut kepada hal-hal yang berbau ghaib.

“Halah, mana mungkin ada, udah tobat aku, nih,” monolognya berusaha untuk tidak takut. Walaupun ia bermonolog sambil tertegun.

Karena penasaran dan juga tidak mungkin ia berdiri di sana terus-menerus, Yasim pun mendekati asal suara. Asal suara itu berada di teras rumah Yasim yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil.

“Bujang bujang!” Yasim terkesiap kaget, saat ia melihat dua bayi laki-laki tergeletak di bawah meja kecil di teras rumahnya.

“Aku berharap disambut kopi malah disambut tuyul,” ucapnya ngasal.

“Tapi gak mungkin juga, lah, ini tuyul, suaranya bikin sakit kuping soalnya.”

Yasim menyipitkan matanya, kakinya berusaha bergerak mendekati kedua bayi itu. Ia ingin memastikan kalau bayi itu ada bayi asli, bukan siluman tuyul.

“Bayi Kelen, 'kan? Alah, dosa apa aku Tuhan, udah tobat padahalnya aku. Bukan lagi Preman aku, udah jadi pria beriman, kenapa ada aja cobaan ini.” Mulut itu terus mengoceh, tapi tubuh Yasim tetap mendekati kedua bayi itu.

Yang pertama ia raih adalah sepucuk kertas yang ada di antara kedua bayi itu. Yasim membacanya dengan seksama. Raut wajahnya berubah menjadi serius, bahkan detak jantungnya menjadi tidak beraturan kala membaca surat itu.

“Aku taubat, kawanku pula yang jadi setan.” Yasim meletakkan kembali surat itu di antara kedua bayi laki-laki yang masih saja menangis.

Yasim berjongkok di hadapan kedua bayi itu. “Kuapakan lah kalian jadinya sekarang? Takut aku enggak jadi orang nanti kalian.” Yasim pun menghela napas dengan kasar.

Ada rasa kasihan saat ia menatap mata kedua bayi itu. Hatinya sakit saat mendengar suara tangisan yang saling menyahuti, seakan-akan mengadu kepadanya, atas perbuatan kedua orang tua kandung mereka.

Ya, kedua bayi yang ada di hadapan Yasim saat ini adalah, bayi dari sahabatnya yang tidak mau bertanggung jawab.

4 Tahun kemudian

Sarapan, kegiatan pembuka di awal pagi yang cerah. Yasim yang sedang menyiapkan makanan untuk dirinya dan juga dua anak kembar yang kini sedang sibuk dengan dunia mereka sendiri.

“Bapak!”

Suara itu menghentikan tangan Yasim yang hendak mengarahkan sendok sayur untuk merasakan sayuran yang sedang ia masak.

“Apa?” Sahut Yasim dengan suara sedikit keras agar terdengar oleh anaknya.

“Jae udah siap pup nya!” Khiel Jaendral Abriel, si kembar bungsu yang sedang berada di kamar mandi berteriak melaporkan kegiatannya.

Yasim pun menghela napas panjang. “Kalau udah siap pup kenapa pula lapor ke aku,” monolognya acuh. Kemudian ia kembali ingin mengarahkan sendok sayur itu ke mulutnya. Sayangnya kegiatan itu kembali terhenti kala suara Jae kembali terdengar, bahkan jadi lebih lantang daripada sebelumnya.

“Cebokin!”

“Alahmak, sayur bayamnya ku cekokin setiap hari, kok bisa kuat kali suara dia.”

Mau tidak mau Yasim pun harus meninggalkan kegiatan masak memasaknya itu, agar bisa menuruti perintah si kembar, daripada rumahnya akan bau karena Jae yang akan keluar dari kamar mandi tanpa dibersihkan, lebih baik ia menunda sarapannya.

Jangan tanya kemana si kembar satunya, karena ia masih sibuk di dunia mimpi.

“Ih, banyak kali tai kau,” ucap Yasim ketika tiba di kamar mandi.

Tidak terima dikatakan seperti itu, Jae yang memiliki mulut tajam pun berkata, “Ih daripada Bapak banyak hutang!”


Beberapa menit setelah mencoba menghubungi Deva, akhirnya panggilan itu tersambung.

Deva awalnya malas untuk menerima telepon dari pria bodoh satu ini.

“Dev, lo denger dulu penjelasan gue,” tutur Jeon dari seberang telepon dengan cepat.

Deva tertawa kecil. “Jelasin apa? Gue udah tahu semua, kok. Lo cowok terbodoh yang pernah gue kenal, Jeon.”

“Tapi gue punya alasan buat nerima taruhan itu, Dev.”

“Apa? Mau bikin gue cemburu? Mau bikin gue sakit hati? Bukan gini caranya, Yon.”

Deva menghela napas dengan kasar setelah mengucapkan kalimat itu. Entah mengapa rasanya ia tidak dapat menahan emosinya.

“Lo udah tahu?”

“Tahu apa? Tahu kalau lo brengsek, lo beg—”

“Tau kalo gue suka sama lo!” potong Jeon dengan cepat, mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan.

“Gue suka sama lo, Deva. Dari dulu.”

Deva memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan secara perlahan.

“Gue baru tahu, Jeon. Lo harusnya bisa jujur dari dulu. Gue kira lo beneran baik sama gue karena hubungan persahabatan kita, karena gue juga gitu, Jeon.”

Hening sejenak, Jeon tidak menanggapi apa-apa. Saat Deva hendak berbicara kembali, suara Jeon kembali terdengar.

“Lo ngga perna—”

“Iya. Gue enggak pernah suka sama, lo. Sekalipun. Gue baik, gue selalu meluk lo, gue selalu bantu lo waktu lo lagi terpuruk karena trauma lo. Dan itu lo lakuin juga ke gue, kan?” Deva terdiam sejenak lalu kembali berkata, “Lo selalu ada untuk gue, gue juga begitu, Jeon.”

“Maaf.”

Deva sedikit sakit mendengar suara Jeon yang melemah. Namun, ia juga sakit hati karena perbuatan Jeon saat ini.

“Je, gue bukan tipe cewe yang mudah kebawa perasaan. Gue tahu harus jatuh cinta sama siapa, gue tahu harus milih pasangan yang kayak gimana, dan milih sahabat yang baik gimana.”

“Gue?”

“Lo sahabat gue, Jeon. Sahabat kecil gue. Gue sayang sama lo? Tentu. Tapi sebagai sahabat.”

“Iya. Gue bodoh.”

“Dan. Jeon, sorry, tapi gue harus bilang ini. Gue gak akan pernah suka sama seseorang yang punya trauma masa lalu, dan kesehatan mental yang tidak stabil, Jeon. I'm sorry,” ucap Deva dengan jujur tentang perasaannya. Walaupun ia merasa tidak harus berkata seperti itu, namun kalimat itu sudah keluar dari mulutnya.

“Dan itu gue, Dev?”

“Iya. Itu lo, Jeon. I'm sorry.”

“Gak usah minta maaf, bukan salah lo,” kata Jeon dengan berat. Namun, setidaknya sekarang ia sudah sedikit lega karena semuanya sudah selesai. Pertengkaran antara pikiran dan juga perasaanya kepada Deva sudah terjawab.

“Je ... .”

Belum sempat Deva kembali berbicara, sambungan telepon itu dimatikan secara sepihak begitu saja oleh Jeon. Deva merasa bersalah telah mengatakan hal itu, tapi mau bagaimanapun ia harus jujur, agar semuanya jelas.

Walaupun kalimat yang ia katakan begitu kejam. Namun, itulah kenyataannya.

Tw // self harm


Malam ini, detik-detik sebelum hari berganti, rasanya sangat berbeda bagi Ran. Karena lebih mendebarkan. Sebabnya kala hari berganti, ulang tahunnya akan tiba. Umurnya akan bertambah, dan Ran kembali berharap agar harapan-harapan di tahun sebelumnya terwujudkan tahun ini.

Tidak banyak yang Ran mau, ia hanya ingin sebuah cake ulang tahun dari Ayahnya.

Namun sayangnya Ayahnya belum pulang sedari tadi. Padahal biasanya Johnny sudah pulang jam segini.

Ran memilih untuk tetap menunggu dan menunggu. Sampai akhirnya ia mendengar suara motor yang ia kenali, siapa lagi kalau bukan Johnny yang baru saja pulang.

Dengan cepat Ran melangkah keluar kamarnya dan menghampiri Johnny yang kelihatan begitu kelelahan baru saja masuk ke dalam rumah.

Ran menyambutnya dengan sangat ramah, tidak lupa dengan senyum manisnya.

“Ayah baru pulang? Ayah capek banget, ya? Mau Ran bikinin teh hangat?” Ran bertanya dengan bertubi-tubi. Mengikuti langkah Johnny yang baru saja masuk rumah.

Johnny sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang Ran berikan kepadanya. Bukan karena lelah, tapi karena sudah biasa.

“Ayah, hari ini Ran ulang tahun.”

Tepat pada pukul dua belas malam, Dan mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang berhasil memberhentikan langkah Johnny.

Ran mulai merasa takut, apalagi setelah melihat ekspresi Johnny yang terlihat marah.

“Kamu apa?” tanya Johnny dengan nada bicara biasa saja, namun terdengar menakutkan.

“Ran ulang tahun, Ayah,” jawab Ran dengan suara kecil.

“Terus saya peduli? Kamu berharap saya bawa pulang kue ulang tahun untuk kamu, terus ucapin selamat ulang tahun untuk kamu?”

Ran menunduk, tidak berani menatap wajah Johnny. Apalagi matanya mulai memanas sekarang.

“Bahkan saya tidak berharap kamu lahir. Untuk apa saya ikut serta dalam ulang tahun kamu, Randika?” Kalimat itu membuat Ran tertegun karena gugup dan takut.

Untung saja kali ini Johnny tidak berbuat kasar, ia langsung pergi masuk ke kamarnya dengan membanting pintu, membuat Ran sedikit tersentak.

Ran menyeka air mata yang dengan lancang turun begitu saja. Ia pun kembali ke kamarnya.

Seperti biasa, ia duduk di lantai kamarnya, menyandarkan punggung dan kepalanya di dinding. Perlahan ia benturkan kepalanya, berharap tangisnya mereda.

“Diem, Ran. Diem. Jangan nangis.”

Sayangnya hal itu tidak berhasil, Ran kembali membenturkan kepalanya lebih keras ke dinding.

“Ayah cuman capek aja. Jangan nangis, Ran!”

Ran lelah. Kepalanya sudah cukup sakit karena ia benturkan ke dinding. Ia pun membenamkan wajahnya di antara kedua kaki yang ia tekuk, menangis sejadi-jadinya di sana, serta memeluk kedua kakinya dengan erat.

Ran tidak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri. Bahkan dihari kelahirannya saja ia bernasib seperti ini. Ran jadi berandai-andai, bagaimana jika ia benar-benar tidak terlahir di dunia ini.

Namun, lagi dan lagi Ran harus bertahan bukan? Karena masih ada tahun depan, ia berharap agar harapan-harapan tahun lalu terwujudkan.

Hal sederhana. Karena, Ran hanya mau cake, Ayah.


Seperti biasa keluarga Aditya akan melaksanakan sarapan sederhana. Hari ini Ran sedikit terlambat, biasanya ia yang paling pertama berada di dapur.

Hazel mulai merasa aneh, dan melihat-lihat ke arah kamar Ran, menaruh curiga kenapa gadis kecil itu belum keluar juga.

“Ran kemana?” tanya Hazel ke Markas dan juga Johnny. Johnny hanya diam, Maraka menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.

“Hari ini Ran ulang—”

“Nanti acaranya mulai jam berapa, Bang?” Johnny memotong pertanyaan Hazel, dengan memberikan pertanyaan kepada Maraka.

Maraka meletakkan sendoknya dan menelan nasi yang ada mulutnya.

“Jam empat sore Ayah udah ke sekolah aja, Yah.”

“Ayah harus ke salon gak, ya?”

Maraka tertawa kecil. “Nggak harus segitunya juga.”

“Ayah harus tampil ganteng, dong. Karena Ayah yakin kamu bakalan dipanggil sebagai anak berprestasi lagi.”

Hazel tersenyum miris mendengarnya, namun ia sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraan itu.

“Mungkin, Yah. Raka juga kurang tahu.”

“Ayah yakin, lah. Abang nggak pernah ngecewain Ayah. Gini-gini Ayah bangga sekali sama kamu, Raka.”

Pembicaraan itu terus berlanjut tanpa adanya suara dari Hazel. Karena selain tidak tertarik ia juga sedikit khawatir kepada Ran, yang sampai sekarang belum keluar dari kamarnya.

tw // bullying

Sesampainya Kazu di sekolah, seperti biasa dia akan menggunakan earphonenya, serta tidak lupa menaikkan kupluk hoodie kesayangannya, yang sekarang ia kenakan. Tidak peduli dengan cicitan demi cicitan murid-murid yang melihatnya. Yang Kazu lakukan, hanya menutup telinganya rapat-rapat.

Brak!

Disaat Kazu sedang menaiki anak tangga lantai empat, tiba-tiba saja dirinya ditabrak oleh seseorang dari belakang. Kazu menebak ada barang yang jatuh, karena samar-samar ia mendengarnya. Namun, dirasa dirinya tidak salah, Kazu pun tetap melanjutkan langkahnya, menaiki anak tangga.

Baru satu anak tangga yang berhasil ia pijaki, tiba-tiba tasnya ditarik oleh orang yang ada di belakangnya. Untung saja ia bisa menahan agar tubuhnya tidak terjatuh.

“Lo punya mata, enggak?” tanya seorang siswi yang ada di hadapannya sekarang. Kazu menebak kalau siswi itu adalah orang yang menabraknya tadi.

Aneh, padahal jelas-jelas dia yang ditabrak, tapi kenapa dia yang dimarahin. Kazu mengecilkan volume musiknya, agar bisa mendengar ocehan orang aneh itu.

“Lo lihat? Tugas praktek gue berantakan. Kalo jalan itu yang bener!”

Kazu mengerutkan keningnya, lalu menggidikkan pundaknya.

“Lo .... Lo Kabu, ya? Maksud gue Kazu?” tanya Siswi itu dengan senyuman meremehkan.

Dirasa buang-buang waktu saja, Kazu pun kembali mengeraskan volume musik yang ia dengar. Lalu, mengambil langkah menaiki anak tangga satu persatu dengan tenang.

Siswi yang tadi menabrak Kazu tertawa lantang. Ia mengabaikan tugas praktek prakarya miliknya yang sudah jatuh berserakan di tangga. Dengan langkah cepat siswi itu menaiki anak tangga, menyusul Kazu yang hampir sampai di lantai empat.

“Lo ikut gue!” Tanpa menunggu persetujuan Kazu, siswi itu menarik tangan Kazu dengan kasar, menaiki anak tangga yang masih ada sampai lantai enam.

Kazu merasa heran, ia pun hanya bisa pasrah, karena saat ia berusaha untuk melepaskan tangannya, siswi itu akan menariknya lagi dengan keras. Jujur, ini bukan pertama kalinya Kazu diejek, tapi, untuk pertama kalinya dia diperlakukan kasar.

Ternyata Kazu dibawa ke rooftop sekolah mereka. Sesampainya di sana, Kazu didorong dengan begitu keras hingga tubuhnya hampir terhuyung ke belakang.

Di sana tidak hanya ada dirinya dengan siswi aneh itu. Tapi, ada beberapa siswi lagi, kalau boleh ditebak, mereka pasti teman-teman siswi aneh ini. Dan, sudah dapat dipastikan sama anehnya.

“Kenapa, nih, Rei?” tanya seorang siswi lalu menghampiri siswi aneh yang menyeretnya kemari.

Ternyata namanya, Rei. Siswi aneh bernama Rei itu menatap Kazu dengan tatapan tajam, dan napas menggebu-gebu.

“Lo tau? Tugas prakarya gue hancur karena dia!” jawab Rei dengan lantang dan penuh penekanan.

Hancur karena dia? Apa tidak salah? Padahal jelas-jelas Kazu yang ditabrak, tapi malah dirinya yang disalahkan.

“Gue ngerjainnya hampir mati, anjing. Capek.”

Kazu mengernyit, apa ia tidak salah lihat? Siswi aneh itu menangis? Wah, ternyata anehnya sangat aneh.

Karena dirasa tidak salah Kazu pun melangkahkan kakinya ingin pergi dari sana.

“Lo yang nabrak gue, gue yang lo salahin.”

Belum sempat Kazu kembali melangkah, tangannya kembali ditarik, namun kali ini bukan oleh Rei, melainkan oleh temannya.

“Lo harusnya minta maaf dong!”

Minta maaf katanya, padahal jelas-jelas Kazu tidak bersalah sama sekali. Jujur, Kazu sangat malas kalau harus berhadapan dengan murid-murid di sekolah, terlebih murid yang merasa dirinya hebat dari siapapun.

“Wait, kayaknya gue tau lo siapa. Lo Kabu, kan?” tanya seorang siswi yang tadi masih di belakang Kazu. Total mereka ada tiga orang.

“Lo tau gak yang lo tabrak siapa?”

Astaga. Rasanya Kazu ingin sekali mencabik bibir mereka, jelas-jelas dia sama sekali tidak menabrak temannya. Lagian, untuk apa juga Kazu tahu siapa siswi aneh itu.

“Lo denger, gak? Atau jangan-jangan gosip itu bener? Kabu, Kazu budeg.” Ia tertawa riang, bahkan Rei yang tadi menangis ikut tertawa mendengarnya.

Rei menyeka air mata yang ada di ujung pelipisnya, lalu ia menghampiri Kazu dan menatapnya dengan tatapan tajamnya.

“Lo budeg, tuli, atau .... Congek?”

Perkataan itu disahut tawa lagi oleh mereka. Entah apa yang lucu dari menghina seseorang. Kazu hanya bisa menghela napas. Bukan tidak bisa, ia hanya tidak mau urusannya menjadi panjang.

“Kayaknya beneran congek deh, Rei.”

Rei tertawa ringan. “Awalnya gue kasihan sama lo diejek satu sekolah. Tapi sekarang enggak lagi, karena itu kenyataan.”

Siapa juga yang butuh kasihan dari dia. Pikir Kazu.

“Lo tau gak siapa gue!” tanya Rei dengan lantang dan memaksa.

Karena geram Kazu menjawab, “Siapa? Si paling iya?”

Plak!

Satu tamparan mendarat ke pipi Kazu dengan ringannya. Yang menampar Kazu sudah pasti Rei, padahal tadi ia nangis seperti perempuan lemah lembut. Dasar orang aneh.

“Jaga mulut, lo, ya!”

“Oh, salah? Si paling berkuasa?”

Rei hendak melayangkan satu tamparan lagi, namun suara bel menandakan kegiatan belajar mengajar akan dimulai sudah berbunyi, Rei menahan tangannya itu.

“Rei, kuy, biasanya guru bk bakalan ke rooftop kalo udah bel.”

Setelah diajak oleh temannya, Rei pun meninggalkan Kazu sendirian di sana. Sebelum meninggalkan Kazu, Rei memberikan tatapan tajam terlebih dahulu, seakan-akan mengancam Kazu dengan tatapannya itu.

“Bocah. Masih jaman ngebully pakai cara ini.”

Bangun pagi, terlebih di hari Senin, suatu kegiatan yang begitu tidak menyenangkan, terlebih untuk Kazu yang kini masih memegang status sebagai seorang murid kelas satu SMA.

Seperti biasa, tanpa senyum ataupun semangat, Kazu mempersiapkan segala hal untuk ia bawa ke sekolah. Setelah dirasa siap, ia melangkah menuju pintu, bersiap-siap untuk keluar dan berangkat ke sekolah.

Baru saja pintu itu ia buka, suara di pagi hari yang selalu ia dengar sudah menohok telinganya dengan begitu nyaring.

Bukan suara sambutan atau kalimat selamat pagi. Namun, suara pertengkaran kedua orang tuanya yang selalu menyambut pagi hari.

Kazu melangkah melewati kedua orang tuanya, tanpa berniat untuk sarapan atau berpamitan terlebih dahulu, membiarkan kedua orang tuanya berkicau layaknya burung di pagi hari, yang membedakannya hanya saja kicauan burung terkadang merdu, sedangkan mereka, hanya membuat telinga sakit saja.

Sadajiwa Harshil Biantara, atau panggil saja dengan sebutan Jiwa.

Sudah menjadi kegiatan rutin dan wajib bagi Jiwa datang ke rumah sakit sesuai jadwalnya. Dengan tujuan agar jangka waktu hidupnya lebih panjang.

Seperti biasa sesekali jadwal Jiwa ke rumah sakit pasti akan bersamaan dengan gadis berusia dua belas tahun, bernama Luna Love, tidak setiap saat, namun beberapa kali hingga mereka kini menjadi teman dekat.

“Luna tumben diem aja?” tanya Jiwa sambil menoleh menatap Luna yang sedang terbaring di ranjang sampingnya.

Jiwa dan Luna sama-sama sedang melakukan proses Hemodialisa atau cuci darah.

Jiwa khawatir kalau Luna kesakitan, karena biasanya Luna akan selalu mengajaknya bicara, walaupun topik pembicaraan mereka kemana-mana.

Luna yang tadinya sedang melamun pun menoleh ke arah Jiwa. Kemudian ia tersenyum.

“Luna bingung aja mau ngomongin apa, Kak. Soalnya kita udah bahas sampai ke dunianya Ruby lagi.” Luna tertawa setelah mengatakan hal itu.

Dunia Ruby yang dimaksud Luna adalah dunia kartun Rainbow Ruby, kartun kesukaan Luna.

Walaupun Jiwa tidak paham dengan yang dibicarakan oleh Luna, ia akan dengan setia mendengarkannya sampai selesai.

“Kalau gitu Kakak aja yang milih topiknya,” tutur Jiwa disahut anggukan kecil oleh Luna.

Jiwa tersenyum lega, setidaknya ia punya teman bicara disaat-saat seperti ini.

“Kalau boleh tahu, ada hal yang Luna benci di hidup Luna?” tanya Jiwa. Jiwa tahu topik pembicaraan yang ia pilih begitu berat, namun entah mengapa rasanya Jiwa sangat ingin menanyakan hal itu kepada Luna.

Luna kembali mengangguk kecil. “Punya, Kak.”

“Apa?”

“Hidup.”

Jiwa terkekeh kecil mendengar jawaban Luna.

“Curang, masa hidup, yang lain?”

Luna tertawa, lalu ia menunjukkan raut wajah seakan-akan sedang berpikir keras.

“Ulang tahun,” katanya, suara yang Luna keluarkan sedikit kecil saat mengatakan itu namun masih dapat didengar oleh Jiwa.

Jiwa tersenyum kecil, lalu kembali bertanya, “Kenapa Luna benci ulang tahun?”

Luna tidak langsung menjawab, gadis kecil itu diam sejenak, mengingat-ingat alasan mengapa ia bisa benci dengan ulang tahun. Padahal, bagi anak seumurannya ulang tahun itu adalah salah satu moment terbahagia yang paling ditunggu-tunggu. Terlebih mereka akan mendapatkan hadiah dari orang terdekatnya.

Namun pada kenyataannya, hal itu tidak terjadi kepada Luna. Dia sama sekali tidak pernah merasakan hari bahagia di hari ulang tahunnya.

“Mama meninggal waktu hari ulang tahun Luna ... .”

Jiwa terdiam seribu bahasa, ia menjadi sedih seketika, bahkan rasa sakitnya terganti dengan rasa sedih itu.

“Maaf Kakak enggak tah—”

“Waktu itu Luna masih sembilan tahun. Luna iri sama teman-teman Luna yang selalu dapat hadiah waktu ulang tahunnya. Ngerayain sama kedua orang tuanya. Sedangkan Luna ... Sama sekali tidak pernah.”

Jiwa tidak membalasnya, ia hanya diam dan menunggu Luna selesai berbicara.

Luna menunduk sebentar, lalu ia kembali mengangkat kepalanya, menoleh menatap Jiwa.

“Luna minta kue ulang tahun sama Mama buat ulang tahun Luna kesepuluh. Mama bilang Mama engga ada uang, tapi Luna maksa Mama.”

Pikiran Luna kembali dibawa ke masa lalu, dua tahun yang lalu ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Mamanya meninggal dengan cara tergantung di dalam kamar.

“Kata Nenek, Mama lagi ada masalah. Luna ... Terus merasa bersalah.” Suara Luna semakin mengecil seperti tidak sanggup berbicara lagi. Namun ia tidak juga menangis.

Paham dengan keadaan Jiwa pun berkata, “Maafin Kakak, ya, seharusnya Kakak gak mulai topik berat ini.”

“Tapi Kakak tahu?”

Jiwa mengernyit kemudian menggeleng.

“Di atas meja kamar Mama ada kue ulang tahun untuk Luna.”

Luna tersenyum kemudian bertanya, “Kalau Kak Jiwa apa?”

“Hm?”

“Apa yang Kakak benci?”

Jiwa tersenyum kecil. “Hidup,” jawabnya.

Jawaban Luna mendapatkan protes dari Luna karena ia merasa dicurangi, sebelumnya gadis itu juga menjawab hal yang sama.

“Curang ih! Tadi Luna jawab hidup juga ngga boleh katanya.”

“Anak kecil ngga boleh.”

Jiwa tertawa karena berhasil membuat teman kecilnya itu kesal.

“Kakak hidup di dunia adalah satu hal yang paling Kakak benci.”

Jiwa tidak berbohong, karena apapun yang telah ia alami selama hidupnya adalah hal terkonyol yang pernah ada.

Berbagai alasan, tidak pernah mendapat perlakuan adil dan baik dari kedua orang tuanya, selalu diremehkan terlebih oleh saudara laki-lakinya.

Hal itu membuat Jiwa benci dengan hidupnya, dan menyesal karena sudah lahir ke dunia ini.

“Orang tua,” kata Jiwa, menarik atensi Luna untuk menatapnya kembali.

“Kakak juga benci orang tua Kakak.”

“Kenapa?”

“Kakak lahir ke dunia ini karena mereka, tapi dengan hadirnya Kakak ke dunia ini seakan-akan tidak diterima oleh mereka. Karena itu Kakak selalu bertanya, kenapa mereka membuat Kakak lahir kalau tidak mereka inginkan?”

“Karena Kakak istimewa?”

Jiwa menggeleng. “Karena mereka tidak tahu cara agar Kakak tidak lahir.”

Jiwa kembali mengingat pembicaraan samar-samar antara kedua orang tuanya kemarin malam. Pembicaraan itu tidak sengaja Jiwa dengar karena ia ingin ke dapur untuk mengambil minum.

Tidak banyak yang Jiwa dengar, tapi ada beberapa kalimat yang ia dengar, dan kalimat itu menjadi jawaban atas pertanyaannya selama ini.

Semua cara udah dilakukan juga anak itu tetap lahir! Yang kena getahnya sekarang siapa? Ya, kita! Kalimat itu Jiwa dengar melalui mulut sang Ibu, sang Ibu yang melahirkannya ke dunia ini.

“Kak ...”

Suara Luna menyadarkan Jiwa dari lamunannya.

“Iya?”

“Ayo kita bahagia di universe lain,” ajak Luna dengan wajah polosnya.

Jiwa ingin tertawa, menerka kalau Luna terkontaminasi film yang baru saja tayang beberapa hari ini.

“Mana ada, Luna,” balas Jiwa sambil menggelengkan kepalanya.

“Universe lain, surga mungkin? Ayo, kak, bahagia di sana.”

Selesai makan malam seperti rencana aku ada jadwal dengan Papa. Aku yakin Papa sudah berada di ruang kerjanya, dan Papa sudah bilang agar aku ke ruang kerjanya setelah makan malam selesai.

Namun, aku tidak langsung ke sana setelah makan malam. Aku memilih untuk diam di kamar beberapa menit. Bukan tanpa alasan, hanya saja aku begitu takut. Takut kalau Papa akan menghukumku sama seperti guru yang ada di les.

Padahal, tidak ada gunanya bertindak kasar, kan.

Brak!

Aku terkesiap kala seseorang masuk ke dalam kamarku dari jendela, dan menutup jendela itu dengan begitu kasar. Aku tidak usah menebak siapa pelakunya, karena sudah pasti Rayna. Gadis aneh penunggu rumah keluarga Adhitama.

“Lo gak ada kerjaan lain selain gangguin gue?” Aku bertanya kepadanya. Karena aku begitu penasaran, dari awal kedatanganku dia terus mengganggu kerjanya.

“Mau jawaban jujur atau bohong?”

“Jujur.”

“Gak.”

Aku menghela napas kasar, karena jawaban yang dia berikan sama seperti dugaan ku.

“Bukannya lo udah ditunggu di ruang kerja, Tuan Adhitama, ya?” Rayna bertanya, sambil duduk di atas kasur ku.

“Tau darimana lo?”

Dia tidak langsung menjawab melainkan tersenyum yang lebih tepatnya menyeringai.

“Gue tau semuanya, sih.”

“Aneh.

“Lo aneh! Diajarin malah takut, ha ha ha.”

Apa aku tidak salah dengar? Dia menertawai ku baru saja? Dasar gadis aneh.

“Hmm ... .” Aku memilih untuk bergumam saja karena tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

“Jangan takut, asal hati sama otak lo saling kerja sama.”


Akhirnya setelah satu jam di kamar, aku punya keberanian untuk menghampiri Papa di ruang kerjanya. Saat aku melangkah ke sana, kebetulan Mama keluar dari ruang kerja Papa, katanya masuk aja. Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja Papa.

Saat perlahan pintu aku buka, samar-samar aku mendengar alunan musik piano, aku yakin pasti itu alunan musik yang dimainkan oleh Papa.

Dugaan ku benar, aku melihat Papa sedang memainkan piano yang ada di dalam ruang kerjanya itu. Perlahan aku menutup pintu ruang kerja Papa berharap Papa tidak menyadari kehadiranku. Namun, ternyata Papa sadar juga.

Papa melemparkan senyuman dan memberikan kode agar aku duduk di sebelahnya. Tanpa menunggu dan protes, aku pun segera melangkah dan duduk di samping Papa. Rasanya begitu takut dan begitu menegangkan. Coba saja yang ada di sebelahku sekarang Ayah, pasti beda ceritanya.

“Dengarkan baik-baik, ya,” kata Papa, kemudian kembali memulai memainkan piano dengan jari-jari yang begitu lincah.

Benar kata Mama ternyata, Papa begitu lihai dan lagu yang dia mainkan juga benar-benar terdengar begitu menenangkan.

Tapi, aku semakin takut karena aku tidak bisa seperti itu.

“Sebuah alunan musik akan terasa begitu indah jika dimainkan dengan hati,” ucap Papa setelah menyelesaikan alunan musik yang dia mainkan.

“Untuk menjadi hebat butuh otak agar bisa menguasainya.” Papa menoleh menatapku.

Ucapan Papa membuatku teringat dengan ocehan aneh Rayna. Aku tidak tahu, mungkin itu hanya kalimat pasaran yang digunakan untuk motivasi diri saja mungkin.

“Papa tahu kamu belum menguasainya, 'kan?”

Aku tersenyum kecut, wajar saja Papa tahu. Tanpa menutupinya aku mengangguk walaupun aku malu dan takut.

“Belum tapi akan.”

“Susah, Pa.” Aku memberanikan diri untuk mengeluh sedikit, walau sedikit takut dengan reaksi yang akan diberikan oleh Papa nantinya.

Di luar dugaan, Papa malah tersenyum sambil mengangguk. “Tapi kamu punya guru yang baik.”

“Papa gurunya?”

“No ...., Papa enggak akan mengajari kamu.”

Aku mengernyit lantas apa tujuan Papa? Tapi, sejujurnya dari awal Papa memang tidak mengajari apa-apa kepadaku. Seperti saat itu, dia hanya memantang ku saja.

“Guru kamu, ya, guru les kamu, Zel.”

Aku mengangguk membenarkan, bodoh sekali aku bertanya seperti tadi.

“Ada hal lain yang ingin Papa sampaikan sebenarnya.”

Detak jantungku berdetak kencang-sekencangnya.

“Dua Minggu lagi akan ada pertemuan keluarga besar Adhitama, dan kamu akan saya perkenalkan secara resmi. Jangan buat saya kecewa, ya?”

Ya, Papa tidak pernah mengajariku, tapi, Papa seakan menuntut ku untuk bisa. Bukankah aku harusnya menyadari hal ini dari awal? Aku ini Adhitama.

“Maaf itu hanya kata yang gak ada artinya sama sekali.”

tw // self harm , blood , cutter


Setiap kali Nara berusaha untuk melupakan semuanya dan berdamai. Tapi, rasanya begitu sulit. Sulit hingga Nara ingin mengakhiri semuanya lagi.

Nara tidak mau membenci kepada siapapun untuk kesekian kalinya, maka dari itu dia punya cara sendiri untuk meluapkan semuanya. Dengan cara menyakiti diri sendiri, dengan begitu dia bisa meluapkan rasa sakitnya.

Nara menatap lengan kirinya yang kini mengeluarkan darah akibat sayatan dari cutter yang ada di tangan kanannya.

Namun herannya kenapa tidak sakit sama sekali.

Tak!

Nara menjatuhkan cutter yang ada di tangannya, dua tangannya dengan sendiri tergerak menutup kedua telinga. Di kamar Nara tidak ada siapa-siapa di sana, namun Nara kembali mendengar suara-suara yang dulu selalu dia dengar.

Suara yang selalu membuat Nara takut.

“Kamu yang salah, Mas!”

“Aku? Aku yang salah kamu bilang?

“Ya! Kamu egois, Mas.”

“Keluarga kita hancur karena kamu, Mas!”

Plak!

“Mama ...”

Nara memejamkan matanya seketika, kedua tangannya semakin erat menutup telinga, berusaha agar suara-suara itu tidak kembali menghantui pikirannya.

“Jangan p ... pukul Mama, Pa,” ucap Nara begitu lirih. Perlahan air matanya mengalir, dan mengalir begitu deras, seiringan dengan sepasang tangan yang membantu menutup telinga Nara juga.

Nara mengangkat kepalanya perlahan, mendapatkan sosok yang dia kenal sebagai Abang—Abang yang mempunyai nama lengkap Shakka Abbas Nakara, namun Nara panggil dengan San agar lebih singkat.

Untuk kesekian kalinya San yang menolong Nara saat dia seperti ini. Namun, kali ini San lebih tenang daripada yang pertama kalinya.

Nara melihat bibir San bergerak mengucapkan sebuah kalimat, tapi Nara tidak bisa mendegarnya.

“Abang di sini, Nara ... Abang gak pergi lagi.”

Tangis Nara semakin pecah, bahkan luka sayatan di tangannya kini terasa menyakitkan.

Segera San menarik tubuh kecil Nara ke pelukannya, tidak peduli dengan darah yang akan menodai kemeja putih yang dia kenakan.

Setelah memastikan Nara tenang, San membantu Nara mengobati dan juga membalut luka sayatan Nara. Kemudian menemani Nara, hingga Nara tertidur, melupakan semua yang baru saja terjadi padanya.

San tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Nara saat ini. Namun, dia yakin ada sesuatu yang memicu dirinya hingga berbuat seperti ini lagi.

Memicu Nara kembali mengingat masa lalu kelam yang pernah dia alami. Dimana San sama sekali tidak ada untuk Nara pada saat itu.

Hanya kata maaf yang bisa San ucapkan, namun bagi Nara kata maaf itu hanya kata yang sama sekali tidak ada artinya. Hingga sampai saat ini Nara belum memaafkan dirinya.

San keluar dari kamar San, setelah memastikan adiknya baik-baik saja. Tidak lupa dia membawa kembali sebuah amplop coklat yang dia bawakan untuk Nara tadinya. Amplop yang berisikan kontrak kerja dengan sebuah penerbit, yang San perjuangkan selama ini, agar Nara bisa memulai kembali dan melupakan masa lalu, serta melanjutkan masa kini demi masa depannya.

Namun, kali ini San gagal untuk kesekian kalinya. San hanya mendapatkan rasa sakit setelah melihat Nara seperti tadi.

“Lo itu cupu.”

“Lo pecundang.”

“Dan sekarang lo pembunuh!”

“Jul, gue adek lo, kan? Tapi, kenapa gue?”

“Julio ..., Julio ..., bangun.”

“Argh!” Alaska Julio Bakhtiar, atau yang sering dipanggil Julio. Dia memekik dengan begitu kerasnya saat kalimat demi kalimat dan juga namanya dipanggil.

Ternyata kalimat-kalimat menyeramkan tadi hanya mimpi saja. Untung saja Julio terbangun dengan cepat sebelum kalimat-kalimat itu membunuhnya dalam mimpi.

Julio menoleh ke samping kiri kasurnya, melihat Naya—sang Mama—sudah duduk di sana. Julio pun mengubah posisinya menjadi terduduk dibangun oleh Naya.

“Minum dulu,” suruh Naya sambil menyerahkan segelas air putih kepada putranya itu.

Tanpa menolak Julio pun meneguk air itu, namun hanya sedikit. Julio kembali memejamkan matanya, mengingat mimpi buruk yang baru saja dia alami tadi.

“Sini Mama peluk,” kata Naya sembari merentangkan tangannya, tidak lupa dia memberikan senyuman yang begitu tulus.

Julio pun menghamburkan tubuhnya ke tubuh Naya, menumpahkan semua ketakutannya di dalam pelukan itu.

“It's okay, Mama here,” ucap Naya, sembari mengusap kepala dan punggung Julio yang masih saja bergetar ketakutan.

Julio mengangguk, namun tidak memberikan jawaban apa-apa. Karena rasa takut itu masih menghantui dirinya.

“Why me?” tanya Julio kepada Naya, dengan suara bergetarnya.

Bukan pertama kalinya Julio bertanya seperti itu. Bahkan Julio sendiri tidak tahu jawaban yang pasti dari pertanyaannya sendiri.

Naya tidak menjawab, karena dia pun tidak tahu harus menjawab dengan kalimat apa. Dan juga dia sedikit takut akan menyakiti perasaan anaknya itu.

“Mama percaya kamu bisa, Julio,” ucap Naya.

Julio hanya mengangguk kemudian melepaskan pelukan Naya, dan kembali menyenderkan tubuhnya di kepala kasur.

“Mama harus pergi, Mama gak bisa lama-lama, sayang. Maafin mama.”

“It's okey.”

Tidak masalah bagi Julio, karena ini bukan pertama kali, tidak izin pun tidak masalah baginya.

“Jangan takut.” Naya mengusap keringat yang mengalir di pipi Julio. “Kamu gak sendirian di sini.”

tw// harsh word


Lonceng menandakan waktu istirahat baru saja berbunyi. Para siswa dan siswi Prima Garuda pun berbondong-bondong keluar kelas, ada yang memilih untuk ke kantin, atau ke lapangan. Bahkan ada yang memilih di kelas saja.

Sama seperti Nara dan beberapa siswa dan siswi di kelas 11-2. Hari ini hari pertama setelah kenaikan kelas, jadi bagi Nara berdiam diri di kelas pilihan yang terbaik.

Namun, baru saja Nara hendak memejamkan matanya, dia sudah dihadiahi sebuah pukulan pelan menggunakan buku dari belakangnya. Sudah dapat ditebak pelakunya pasti Rowy.

“ARGH!” erang Nara kesal, sembari mengangkat kepalanya yang tadinya ada di meja.

“Nih,” ucap Rowy sembari meletakkan buku yang dia gunakan untuk memukul Nara tadinya.

“Gila aja tuh guru masa hari pertama udah dikasih tugas, mana nanti habis istirahat dikumpul,” kata Rowy sambil mengoceh tidak terima.

Nara hanya membalas dengan anggukan, sama sekali tidak ada niatan untuk membalas ocehan Rowy.

Baru saja Nara hendak meletakkan kepalanya lagi di atas meja, namun dengan segera Rowy menahannya dan menarik tubuh Nara dengan kuat.

“Mau ngapain, sih!” protes Nara, sambil berusaha memberontak.

“Lo mau jatah cilok lo diambil orang?”

“Oh, ya! Cilok Bu Jaya, i'm coming!”


Seperti biasa kantin selalu ramai, terlebih hari ini hari pertama setelah liburan, maka dapat dipastikan sangat ramai. Nara dan Rowy dapat melihat Abby sedang sibuk memberikan cilok-cilok yang sebelumnya sudah dititipkan kepadanya. Kemudian Abby melambaikan tangannya ketika melihat Nara dan Rowy.

Nara dan Rowy pun melangkah menuju meja panjang yang muat untuk empat orang di sana.

“Nah, buat lo pada. Khusus hari ini buat Juinara Kalandra gratis! Sepesial!” seru Abby setelah memberikan cilok jatah Nara dan Rowy.

Segera Rowy meraihnya dan memakannya. Sedangkan Nara diam sejenak menatap Abby dengan mata menyipit. Yang ditatap pun hanya bisa tersenyum masam.

“Semalam lo kenapa, sih?” tanya Nara sambil melahap cilok miliknya.

Abby yang ada di hadapan Nara dan di samping Rowy kini ditatap oleh kedua gadis itu. Abby hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tidak bisa jujur tentang semalam.

“Gak jelas,” gerutu Nara kesal.


Sekitar lima belas menit tiga serangkai itu menghabiskan waktunya di kantin. Namun belum ada tanda-tanda untuk kembali ke kelas.

Nara mulai mengamati sekitar, seperti ada yang aneh, karena kini seisi kantin seperti sedang berbisik-bisik.

“Nia.” Nara menahan tangan salah satu siswi teman sekelasnya yang kebetulan lewat di samping meja mereka.

“Kenapa, Nar?”

Tidak hanya Nia yang kebingungan,Rowy dan Abby pun demikian.

“Ini pada kenapa, ya? Kok kayak lagi pada ghibah?”

“Lo pada gak tahu?”

Mereka bertiga pun menggeleng serentak. Segera Nia mengambil posisi duduk di samping Nara.

“Memang lo peka banget sama gosip begini, Nar. Tapi, masa kalian gak tahu, sih, rumor hari ini? Secara kalian, kan, biang gosip,” ujar Nia sedikit menyindir.

Bukannya tersindir atau tersinggung, mereka hanya tertawa tidak jelas.

“Kalian tahu dia, gak?” Nia menunjuk seseorang yang berada tidak jauh di belakang Rowy dan Abby.

Setelah melihatnya mereka serempak mengangguk.

“Julian.”

“Julian.”

“Julio.”

Rowy dan Abby memberikan jawaban yang sama yaitu Julian, namun berbeda dengan Nara yang menjawab Julio.

“Iya, Julio!” Nia menjentikkan jarinya. “Jadi ada rumor kalau Julian meninggal dan ...”

Nia menggantungkan ucapannya, kemudian mengajak Nara, Rowy dan Abby semakin mendekat, lalu Nia mengatakan seraya berbisik, “Julio pembunuhnya.”

“Apa!” teriak Nara sambil menggebrak meja berhasil menarik atensi seluruh isi kantin.

Rowy pun segera menarik tubuh Nara agar duduk kembali, Abby dan Nia mengambil tugas untuk minta maaf kepada siswa-siswi yang ada di sana.

“Santai aja kali, Nar,” ucap Rowy.

“Yang bener aja, lo, Ni?”

“Rumor Nara. Dan yang memperkuat rumor tuh, Julian gak datang hari ini. Udahlah! Gue mau ke kelas.” Nia pun beranjak dari sana meninggalkan tiga serangkai itu yang sedang bergelut dengan pikirannya.

Rowy yang kebingungan dan mencoba mengingat siapa itu Julio dan Julian, Nara yang sama sekali tidak percaya, sedangkan Abby yang terdiam dan mengingat kembali seseorang yang memakai jasa curhatnya semalam.

Segera Abby mengeluarkan handphonenya dengan tergesa-gesa, menarik atensi Nara dan Rowy tentu saja.

Abby mencari pesan yang semalam, dia yakin belum menghapus pesan itu.

“ANJIR!”

☀️