Panglimakun

“Andira udah datang?” tanya Adya ketika sampai di depan meja Marsha atau yang sering dipanggil Matcha.

Matcha hanya menggeleng sebagai jawaban, lalu kembali fokus ke buku yang ia baca sedari tadi.

“Belum datang?” Adya bertanya lagi, dan Matcha menjawabnya dengan gelengan lagi.

“Jawab.”

“Kan lo lihat sendiri dia gak ada, palingan bentar lagi juga dat— tuh.” Matcha menunjuk Andira yang baru tiba di kelas.

Segera Adya menghampiri Andira, lalu tiba-tiba ia menarik tangan Andira sedikit kasar, membuat sang pemilik tangan meringis kesakitan.

Andira tidak bisa melawan selain mengikuti langkah Adya yang begitu cepat. Namun Andira tetap berusaha melepaskan tangannya.

“Adya!” pekik Andira.

Namun seakan tuli Adya terus menarik Andira kasar.

“Adyatama Danantya!” Andira berteriak tidak peduli dengan murid-murid lain yang kini melihatnya.

“Lo gila? Sakit anjir!” protes Andira yang sudah tersulut emosi.

Menyadari yang baru saja ia lakukan, segera lelaki itu melepaskan genggaman tangan Andira.

“Sorry.”

Andira mengusap tangannya yang terasa sakit, ia menatap Adya dengan tatapan dingin.

“Kenapa, sih?” tanya Andira sinis.

“Dipanggil pak Dipta, siapa tau kita disuruh ulhar susulan,” jawab Adya tenang namun masih dengan perasaan merasa bersalah.

Andira menggelengkan kepalanya, dengan masih mengusap tangan yang ditarik Adya tadi.

“Gak jelas,” lirihnya seraya membalikkan tubuh hendak kembali ke kelas.

“An, ayok An, demi nilai.” Adya lagi-lagi menahan tangan Andira namun kini sedikit pelan.

“Kok lo tiba-tiba peduli, sih?” tanya Andira penasaran dengan sikap Adya yang tiba-tiba peduli terhadapnya.

Pasalnya selama hampir tiga tahun sekelas, lelaki itu tidak dekat dengannya, bahkan saling bertegur sapa saja tidak pernah.

Wajar saja Andira merasa curiga.

Adya tidak menjawab, ia bungkam dihadapan Andira.

“Kalo lo merasa bersalah karena kejadian kemarin, mending gak usah deh.” tatapan Andira masih sangat tajam.

“Ya. Tapi hari ini, pak Dipta suruh lo ke ruangannya juga.”

Andira menghela nafas kasar. “Bilang dari tadi, jangan asal narik, dikira gue kambing?”

Andira berjalan melewati Adya. Segera Adya mengekor dari belakang.

Saat Andira membuka pintu ruang guru, ia melihat Pak Dipta dan juga Alam di sana.

Andira tiba-tiba membalikkan tubuhnya, hal yang pertama ia lihat adalah dada Adya.

“Kenapa?” Adya menatap Andira keheranan.

Andira sibuk merapikan rambut dan juga pakaiannya, lalu mendongak menatap Adya.

“Gue gak jelek, kan? Rapi, kan?”

Adya mengerutkan keningnya keheranan, namun saat matanya mendapatkan Alam di dalam, barulah ia sadar.

“Jelek,” jawab Adya singkat lalu melewatkan Andira begitu saja.

Andira hanya menatap Adya dengan tatapan kesal.

“Ngeselin amat!”

Adya yang duluan masuk memilih duduk di tengah dan dihadapan Pak Dipta. Tentu hal itu membuat Andira kesal, karena ia kehilangan kesempatan untuk duduk di samping Alam, pujaan hatinya.

“Baik karena sudah berkumpul semua, bisa saya mulai?”

Ketiganya mengangguk sebagai jawaban.

“Beberapa bulan lagi akan diadakan olimpiade matematika tingkat nasional,” kata Dipta menjelaskan tujuan ia memanggil ketiga murid yang ahli dalam pelajaran matematika itu.

“Loh pak, kok tiba-tiba?” tanya Andira.

“Kita masih punya beberapa bulan untuk latihan, Andira,” jawab Dipta.

“Pihak sekolah sangat berharap kalianlah yang akan mewakili sekolah, terlebih kalian yang sudah punya nama dan berpengalaman, akan sangat menguntungkan sekolah kita.”

“Kalo saya setuju saja, pak,” ucap Alam.

“Kalo gitu Andira juga, pak!” timpal Andira dengan semangat.

Alam tertawa kecil saat mendengar seruan Andira, membuat Andira merasa malu.

“Tapi, pak.” Berbeda dengan Alam dan Andira, Adya tidak langsung setuju dengan hal itu.

“Ya, kenapa Adya?”

“Saya sih gak keberatan, tapi kasih kesempatan saya sama Andira ikut ulhar susulan kemarin, ya, pak?”

“Bener, pak!”

Andira kali ini setuju dengan Adya.

Dipta mengangguk menyetujui permintaan dari Adya.

“Boleh, nanti pas pulang kalian boleh susulan,” ujar Dipta membuat Adya dan Andira merasa lega.

Selepas berbincang banyak mengenai olimpiade, kini Adya, Andira dan Alam dipersilahkan untuk kembali ke kelas.

“Sampai jumpa nanti, ya, kak,” kata Andira dengan lembut ke Alam.

Adya menatap Andira dengan tatapan yang aneh.

Berbeda dengan Adya, Alam membalas Andira dengan senyuman yang ramah.

“Iya, Andira. Duluan, ya? Dir, Ad,” ucapnya berpamitan.

“Oke, kak!”

“Hm.”

Adya masih menatap Andira dengan tatapan aneh, karena Andira yang tak henti tersenyum dan menatap kepergian Alam.

“Aneh,” ucap Adya berhasil membuat Andira kesal

“Apasih, sewot amat.” Andira berdecak kesal.

Andira yang kesal memilih untuk meninggalkan Adya ke kelas. Namun Adya mengekor Andira dari belakang.

“Secinta itu lo ke dia?”

“Ya! Cinta gue ke dia itu kayak ilmu matematika MUTLAK!”

“Gak jelas.”

Yang tadinya Adya di belakang, kini Adya melangkahkan melewati Andira.

Selepas dijemput oleh Johnny, kini keduanya sudah tiba di rumah.

Tanpa basa-basi, Andira langsung masuk ke dalam bahkan ia tidak memperdulikan Dona yang berada di sana, sedari tadi menunggu kepulangan mereka

“Udah pulang, nak? Ayah ngapain kamu?” tanya Dona khawatir terlebih dengan kondisi wajah Andira, yang dipenuhi lebam-lebam.

“Andira,” panggil Dona sebab Andira mengacuhkannya.

Setelah melepas sepatu dan menaruhnya di rak yang ada di belakang pintu, Andira hendak melangkahkan kakinya menuju kamar, tanpa mau menjawab pertanyaan mama nya.

“Andira.” Dona menahan tangan Andira.

Andira mendecak kesal, lalu ia menoleh dan menarik tangannya kasar.

“Apa sih, ma?” tanya Andira kesal seraya menatap Dona yang duduk di kursi rodanya.

“Kamu nggak apa-apa, kan?”

“Menurut mama? Setelah semua yang terjadi ke Andira, Andira akan baik-baik saja?” Andira menjawab dengan bertanya balik kepada Dona.

“Nak ....”

“Udahlah, ma, basi.”

Andira hendak melangkahkan kakinya kembali, namun lagi-lagi tertahan.

“Segitu bencinya kamu ke mama, Andira? Maafin mama, An, sungguh mama menyesal.” Sedikit terdengar suara isakan dari Dona. Namun hal itu tak membuat Andira goyah.

“Maaf atas kebodohan yang mama lakukan dulu, maaf karena mama telah menanam luka yang besar di kamu ....” Dona menggantung ucapannya, ia menunduk menangis di sana.

“Maaf karena mama, kamu harus menerima luka dari ayah kamu.”

Kata demi kata yang diucapkan oleh Dona, sama sekali tak menggoyahkan Andira, ia tetap pada pendiriannya yang dari dulu ia tetapkan. Diam dan berjalan di atas luka sendirian.

Andira sudah terlanjut nyebur dan basah, setiap luka yang akan ia terima akan selalu ia terima.

Andira naik melewati anak-anak tangga menuju kamarnya, ia tidak peduli dengan Dona yang menangis di bawah sana.

“Ma? Mama kenapa?” Johnny yang baru saja masuk ke kamar tampak khawatir mendapatkan Dona yang sedang menangis.

“Mama hina banget, ya, Jo? Bahkan Andira gak mah natap mama. Mama kena karma, ya, Jo?”

“Hust, ma, jangan gitu ah. Andira cuman belum bisa melupakan kejadian dulu, mama jangan khawatir, ya? Mama fokus aja ke penyembuh mama.”

“Dulu waktu Andira sedang butuh-butuhnya, bahkan dipanggil pun mama gak noleh, dia terus-menerus mencari perhatian mama, tapi mama gak pernah kasih. Sekarang? Sekarang mama dapat karmanya, Jo.”

Dona menangis didalam dekapan anak sulungnya itu. Menangis karena merasa bersalah, bukan karena sikap Andira.

“Biar Jo ngomong ke Andira, ya, ma? Mama istirahat udah malam.”

Selepas Johnny mengantarkan Dona ke kamar, ia melangkah menuju kamar Andira.

Berulang kali Johnny mengetuk pintu kamar Andira, namun tidak ada jawaban. Lelaki itu berinisiatif untuk masuk tanpa izin, untung saja pintu kamar tidak terkunci.

Johnny tidak menemukan Andira di dalam sana, ia tampak heran, tapi juga tidak berinisiatif keluar karena ia yakin Andira sudah di kamarnya tadi.

“An,” panggil Johnny lembut.

Tidak ada jawaban.

“Andira.”

Masih tidak ada jawaban.

Johnny melangkahkan mendekat kamar mandi yang ada di dalam kamar Andira, ia mendekatkan telinganya ke pintu, samar-samar ia mendengar suara tangis yang tertahan, ia yakin itu suara Andira.

“An, sini keluar nangis dipelukan abang,” ucap Johnny sembari mengetuk pintu kamar mandi.

Andira tidak menjawab, ia masih menangis di dalam sana.

“Jangan gini, ya? Sekarang kan kamu udah ada abang, mama juga udah berubah, kamu punya kita untuk berbagi cerita, An.”

Andira mendengar semua perkataan Johnny dari dalam, bukannya tenang, malah ia semakin terisak.

Andira duduk di depan pintu kamar mandi, menekuk kedua lututnya dan mengigit jari-jarinya agar suara tangisnya tertahan.

“An, sakit, ya?”

Pertanyaan dari Johnny berhasil membuat tangis Andira pecah. Dadanya terasa sangat sakit, gadis itu menggunakan tangannya untuk memukul-mukul dadanya.

“Sini abang obatin lukanya. Abang peluk sampai tidur.”

Andira semakin terisak, ia tidak bisa mengendalikannya lagi.

“Capek bang ....” Lirih Andira dengan suara bergetar.

“Kemana semua orang saat Andira butuh? Kemana semua orang saat Andira hampir mati?”

Air mata Andira semakin deras mengalir, semua ingatan yang membuatnya terluka kembali hadir.

Semua kejadian itu terputar dengan jelas di pikirannya.

“Kemana kalian saat Andira dipukul ayah, karena Andira lihat ayah selingkuh?”

Moment menyakitkan itu kembali hadir.

“Kemana kalian saat Andira dibully karena ayahnya selingkuh? Kemana kalian saat Andira diejek punya ibu seorang kupu-kupu malam?”

Tangis dan emosi Andira tak tertahan lagi, ia memukul-mukul dinding untuk melampiaskannya.

“Kemana bang? Gak ada. Kalian lari dengan alasan, kalian juga terluka.”

Johnny yang berada di luar tertegun dan terdiam mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Andira.

“Sekarang Andira udah terbiasa, bang, terbiasa dengan luka dan terluka.”

Setelah beberapa menit suara Andira tidak terdengar lagi, membuat Johnny sedikit khawatir, takut terjadi apa-apa ke Andira di dalam sana.

Saat Johnny hendak mengetuk pintu kamar mandi, tangannya tertahan karena Andira membuka pintunya dari dalam.

Johnny dibuat terkejut dengan keadaan Andira sekarang yang sangat berantakan.

Segera Johnny menarik Andira kedalam dekapannya.

“Maaf, maaf dulu abang egois, dulu abang juga belum bisa nerima semua ini, Andira.”

Johnny mengusap pelan punggung Andira yang begitu bergetar.

“Sakit waktu Andira cuekin mama, bang. Tapi waktu Andira lihat mama, Andira kembali teringat saat Andira hampir mati, mati karena mama.”

“Maaf .... Maaf ....” Berulang kali Johnny mengeluarkan kata maaf agar Andira tenang.

“Capek, bang, takut.”


Peluk dia, sebelum hilangnya menjadi sebuah penyesalan.

tw // Violence


Sudah pukul delapan malam, dan seperti yang ayahnya suruh, kini Andira sudah berada di kediaman keluarga Jordan, dan istri barunya.

Sudah rutinitas Andira setiap Sabtu dan Minggu berada di rumah ini, tapi tidak untuk saat ini, karena hari ini masih hari Senin, dan Andira harus berhadapan dengan sang ayah lagi.

Andira sedang menunggu kepulangan Jordan di kamar yang disediakan untuk dirinya, dikala dirinya menginap.

Andira menyiapkan diri agar siap dikala Jordan pulang, dan menghukumnya nanti.

Andira duduk di bangku meja belajarnya, tak berhenti gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar.

“Ayo dong tenang, An,” katanya pada diri sendiri.

Akhirnya saat yang tidak ia tunggu-tunggu datang. Jordan pulang dan saling membuka pintu kamar Andira.

Tanpa basa-basi Jordan langsung menutup pintu dan menguncinya.

“Buat masalah apa kamu?” tanya Jordan dengan nada dan tatapan yang sangat mengintimidasi.

Bahkan hanya dengan kalimat itu membuat Andira, tidak berani mengangkat kepala.

“Maaf, ayah.” Hanya itu yang bisa Andira.

Merasa geram, Jordan mengangkat dagu Andira agar mendongak.

“Saya di sini, bukan di bawah.”

“Maaf, ayah.”

“Saya gak butuh maaf dari kamu, saya hanya butuh penjelasan dari kamu, Andira!”

Mendengar bentakan dari Jordan, air mata Andira tak tertahan lagi.

Dengan amarah yang menguasai dirinya, Jordan mendorong Andira sehingga terjatuh dan terbentur meja belajarnya.

Andira hanya bisa menangis tanpa bisa melawan.

“Apa susahnya nurut, Andira? Saya tidak menutut banyak! Saya hanya mau kamu sempurna di segala aspek.”

Jordan menarik tangan Andira agar berdiri di hadapannya.

“Susah, Andira?”

“Tidak, Ayah, maafin Andira.”

“Belajar yang rajin, dapat nilai sempurna, hanya itu! Karena saya tidak mau punya keturunan bodoh, Andira.”

Andira memejamkan matanya saat Jordan mengangkat tangan hendak menamparnya.

Gadis itu ingin saja melawan dan berkata bahwa dirinya tidak mau menjadi bodoh, tapi dirinya tidak bisa.

Yang Andira lakukan hanya menerima semua hukuman dari Jordan, sampai amarah Jordan benar-benar terbalaskan.


“Saya sediakan fasilitas, saya sediakan uang, supir, mobil, motor, tapi kenapa bisa telat, Adya!” David ; papa Adya kini sedang membentak Adya habis-habisan.

“Karena kamu telat, kamu tidak mengikuti pelajaran, kan? Hm? Senang kamu?” geramnya.

Adya tidak menunduk bahkan matanya sama sekali tidak bergetar.

“Sama sekali tidak, Pa. Adya akan menggantinya hari ini, Pa. Maaf, Adya menyesal.”

David tersenyum masam, ia menampar pipi Adya berkali-kali dengan tamparan kecil.

“Saya begini karena kamu satu-satunya harapan keluarga Aditama, Adya!”

“Iya, Pa, maaf.”

“Bagus, sekarang belajar.” David meninggalkan kamar Adya.

Seketika lutut Adya lemas, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai.

Terkadang ia berfikir, apa kehadirannya di dunia ini hanya untuk memuaskan ekspetasi keluarga. Tanpa bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri.

Adya takut, takut tidak bisa melakukan hal itu, saat kondisinya seperti ini. Semakin hari semakin memburuk.

Ia hanya bisa sabar dan bertahan sampai saat itu tiba.


Capek, ya? Selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tanpa ada dukungan, melainkan paksaanAndira

tw // Violence


Sudah pukul delapan malam, dan seperti yang ayahnya suruh, kini Andira sudah berada di kediaman keluarga Jordan, dan istri barunya.

Sudah rutinitas Andira setiap Sabtu dan Minggu berada di rumah ini, tapi tidak untuk saat ini, karena hari ini masih hari Senin, dan Andira harus berhadapan dengan sang ayah lagi.

Andira sedang menunggu kepulangan Jordan di kamar yang disediakan untuk dirinya, dikala dirinya menginap.

Andira menyiapkan diri agar siap dikala Jordan pulang, dan menghukumnya nanti.

Andira duduk di bangku meja belajarnya, tak berhenti gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar.

“Ayo dong tenang, An,” katanya pada diri sendiri.

Akhirnya saat yang tidak ia tunggu-tunggu datang. Jordan pulang dan saling membuka pintu kamar Andira.

Tanpa basa-basi Jordan langsung menutup pintu dan menguncinya.

“Buat masalah apa kamu?” tanya Jordan dengan nada dan tatapan yang sangat mengintimidasi.

Bahkan hanya dengan kalimat itu membuat Andira, tidak berani mengangkat kepala.

“Maaf, ayah.” Hanya itu yang bisa Andira.

Merasa geram, Jordan mengangkat dagu Andira agar mendongak.

“Saya di sini, bukan di bawah.”

“Maaf, ayah.”

“Saya gak butuh maaf dari kamu, saya hanya butuh penjelasan dari kamu, Andira!”

Mendengar bentakan dari Jordan, air mata Andira tak tertahan lagi.

Dengan amarah yang menguasai dirinya, Jordan mendorong Andira sehingga terjatuh dan terbentur meja belajarnya.

Andira hanya bisa menangis tanpa bisa melawan.

“Apa susahnya nurut, Andira? Saya tidak menutut banyak! Saya hanya mau kamu sempurna di segala aspek.”

Jordan menarik tangan Andira agar berdiri di hadapannya.

“Susah, Andira?”

“Tidak, Ayah, maafin Andira.”

“Belajar yang rajin, dapat nilai sempurna, hanya itu! Karena saya tidak mau punya keturunan bodoh, Andira.”

Andira memejamkan matanya saat Jordan mengangkat tangan hendak menamparnya.

Gadis itu ingin saja melawan dan berkata bahwa dirinya tidak mau menjadi bodoh, tapi dirinya tidak bisa.

Yang Andira lakukan hanya menerima semua hukuman dari Jordan, sampai amarah Jordan benar-benar terbalaskan.


“Saya sediakan fasilitas, saya sediakan uang, supir, mobil, motor, tapi kenapa bisa telat, Adya!” David ; papa Adya kini sedang membentak Adya habis-habisan.

“Karena kamu telat, kamu tidak mengikuti pelajaran, kan? Hm? Senang kamu?” geramnya.

Adya tidak menunduk bahkan matanya sama sekali tidak bergetar.

“Sama sekali tidak, Pa. Adya akan menggantinya hari ini, Pa. Maaf, Adya menyesal.”

David tersenyum masam, ia menampar pipi Adya berkali-kali dengan tamparan kecil.

“Saya begini karena kamu satu-satunya harapan keluarga Aditama, Adya!”

“Iya, Pa, maaf.”

“Bagus, sekarang belajar.” David meninggalkan kamar Adya.

Seketika lutut Adya lemas, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai.

Terkadang ia berfikir, apa kehadirannya di dunia ini hanya untuk memuaskan ekspetasi keluarga. Tanpa bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri.

Adya takut, takut tidak bisa melakukan hal itu, saat kondisinya seperti ini. Semakin hari semakin memburuk.

Ia hanya bisa sabar dan bertahan sampai saat itu tiba.


Capek, ya? Selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tanpa ada dukungan, melainkan paksaanAndira

tw // Violence


Sudah pukul delapan malam, dan seperti yang ayahnya suruh, kini Andira sudah berada di kediaman keluarga Jordan, dan istri barunya.

Sudah rutinitas Andira setiap Sabtu dan Minggu berada di rumah ini, tapi tidak untuk saat ini, karena hari ini masih hari Senin, dan Andira harus berhadapan dengan sang ayah lagi.

Andira sedang menunggu kepulangan Jordan di kamar yang disediakan untuk dirinya, dikala dirinya menginap.

Andira menyiapkan diri agar siap dikala Jordan pulang, dan menghukumnya nanti.

Andira duduk di bangku meja belajarnya, tak berhenti gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar.

“Ayo dong tenang, An,” katanya pada diri sendiri.

Akhirnya saat yang tidak ia tunggu-tunggu datang. Jordan pulang dan saling membuka pintu kamar Andira.

Tanpa basa-basi Jordan langsung menutup pintu dan menguncinya.

“Buat masalah apa kamu?” tanya Jordan dengan nada dan tatapan yang sangat mengintimidasi.

Bahkan hanya dengan kalimat itu membuat Andira, tidak berani mengangkat kepala.

“Maaf, ayah.” Hanya itu yang bisa Andira.

Merasa geram, Jordan mengangkat dagu Andira agar mendongak.

“Saya di sini, bukan di bawah.”

“Maaf, ayah.”

“Saya gak butuh maaf dari kamu, saya hanya butuh penjelasan dari kamu, Andira!”

Mendengar bentakan dari Jordan, air mata Andira tak tertahan lagi.

Dengan amarah yang menguasai dirinya, Jordan mendorong Andira sehingga terjatuh dan terbentur meja belajarnya.

Andira hanya bisa menangis tanpa bisa melawan.

“Apa susahnya nurut, Andira? Saya tidak menutut banyak! Saya hanya mau kamu sempurna di segala aspek.”

Jordan menarik tangan Andira agar berdiri di hadapannya.

“Susah, Andira?”

“Tidak, Ayah, maafin Andira.”

“Belajar yang rajin, dapat nilai sempurna, hanya itu! Karena saya tidak mau punya keturunan bodoh, Andira.”

Andira memejamkan matanya saat Jordan mengangkat tangan hendak menamparnya.

Gadis itu ingin saja melawan dan berkata bahwa dirinya tidak mau menjadi bodoh, tapi dirinya tidak bisa.

Yang Andira lakukan hanya menerima semua hukuman dari Jordan, sampai amarah Jordan benar-benar terbalaskan.


“Saya sediakan fasilitas, saya sediakan uang, supir, mobil, motor, tapi kenapa bisa telat, Adya!” David ; papa Adya kini sedang membentak Adya habis-habisan.

“Karena kamu telat, kamu tidak mengikuti pelajaran, kan? Hm? Senang kamu?” geramnya.

Adya tidak menunduk bahkan matanya sama sekali tidak bergetar.

“Sama sekali tidak, Pa. Adya akan menggantinya hari ini, Pa. Maaf, Adya menyesal.”

David tersenyum masam, ia menampar pipi Adya berkali-kali dengan tamparan kecil.

“Saya begini karena kamu satu-satunya harapan keluarga Aditama, Adya!”

“Iya, Pa, maaf.”

“Bagus, sekarang belajar.” David meninggalkan kamar Adya.

Seketika lutut Adya lemas, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai.

Terkadang ia berfikir, apa kehadirannya di dunia ini hanya untuk memuaskan ekspetasi keluarga. Tanpa bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri.

Adya takut, takut tidak bisa melakukan hal itu, saat kondisinya seperti ini. Semakin hari semakin memburuk.

Ia hanya bisa sabar dan bertahan sampai saat itu tiba.


Capek, ya? Selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tanpa ada dukungan, melainkan paksaanAndira

tw // Violence , blood


Sudah pukul delapan malam, dan seperti yang ayahnya suruh, kini Andira sudah berada di kediaman keluarga Jordan, dan istri barunya.

Sudah rutinitas Andira setiap Sabtu dan Minggu berada di rumah ini, tapi tidak untuk saat ini, karena hari ini masih hari Senin, dan Andira harus berhadapan dengan sang ayah lagi.

Andira sedang menunggu kepulangan Jordan di kamar yang disediakan untuk dirinya, dikala dirinya menginap.

Andira menyiapkan diri agar siap dikala Jordan pulang, dan menghukumnya nanti.

Andira duduk di bangku meja belajarnya, tak berhenti gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar.

“Ayo dong tenang, An,” katanya pada diri sendiri.

Akhirnya saat yang tidak ia tunggu-tunggu datang. Jordan pulang dan saling membuka pintu kamar Andira.

Tanpa basa-basi Jordan langsung menutup pintu dan menguncinya.

“Buat masalah apa kamu?” tanya Jordan dengan nada dan tatapan yang sangat mengintimidasi.

Bahkan hanya dengan kalimat itu membuat Andira, tidak berani mengangkat kepala.

“Maaf, ayah.” Hanya itu yang bisa Andira.

Merasa geram, Jordan mengangkat dagu Andira agar mendongak.

“Saya di sini, bukan di bawah.”

“Maaf, ayah.”

“Saya gak butuh maaf dari kamu, saya hanya butuh penjelasan dari kamu, Andira!”

Mendengar bentakan dari Jordan, air mata Andira tak tertahan lagi.

Dengan amarah yang menguasai dirinya, Jordan mendorong Andira sehingga terjatuh dan terbentur meja belajarnya.

Andira hanya bisa menangis tanpa bisa melawan.

“Apa susahnya nurut, Andira? Saya tidak menutut banyak! Saya hanya mau kamu sempurna di segala aspek.”

Jordan menarik tangan Andira agar berdiri di hadapannya.

“Susah, Andira?”

“Tidak, Ayah, maafin Andira.”

“Belajar yang rajin, dapat nilai sempurna, hanya itu! Karena saya tidak mau punya keturunan bodoh, Andira.”

Andira memejamkan matanya saat Jordan mengangkat tangan hendak menamparnya.

Gadis itu ingin saja melawan dan berkata bahwa dirinya tidak mau menjadi bodoh, tapi dirinya tidak bisa.

Yang Andira lakukan hanya menerima semua hukuman dari Jordan, sampai amarah Jordan benar-benar terbalaskan.


“Saya sediakan fasilitas, saya sediakan uang, supir, mobil, motor, tapi kenapa bisa telat, Adya!” David ; papa Adya kini sedang membentak Adya habis-habisan.

“Karena kamu telat, kamu tidak mengikuti pelajaran, kan? Hm? Senang kamu?” geramnya.

Adya tidak menunduk bahkan matanya sama sekali tidak bergetar.

“Sama sekali tidak, Pa. Adya akan menggantinya hari ini, Pa. Maaf, Adya menyesal.”

David tersenyum masam, ia menampar pipi Adya berkali-kali dengan tamparan kecil.

“Saya begini karena kamu satu-satunya harapan keluarga Aditama, Adya!”

“Iya, Pa, maaf.”

“Bagus, sekarang belajar.” David meninggalkan kamar Adya.

Seketika lutut Adya lemas, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai.

Terkadang ia berfikir, apa kehadirannya di dunia ini hanya untuk memuaskan ekspetasi keluarga. Tanpa bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri.

Adya takut, takut tidak bisa melakukan hal itu, saat kondisinya seperti ini. Semakin hari semakin memburuk.

Ia hanya bisa sabar dan bertahan sampai saat itu tiba.


Capek, ya? Selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tanpa ada dukungan, melainkan paksaanAndira

Andira sedari tadi tidak bisa tenang, karena jadwal ulangan harian matematika pasti sudah dimulai sedari tadi.

Namun Adya tak kunjung sadar dari pingsannya.

“Padahal lo laki, kok pingsan.”

“Emang laki-laki gak boleh pingsan?”

Jantung Andira hampir merosot kebawah mendengar suara berat itu. Saat ia melihat Adya, lelaki itu masih pingsan.

“Laki-laki juga manusia, Dira.”

“Kak Alam!”

Andira segera merapikan penampilannya saat Alam masuk ke UKS dan menghampiri Andira.

“Kakak sakit?” tanya Andira khawatir.

Alam, lelaki yang didambakan oleh Andira itu menggeleng.

“Saya cuman mau ambil obat untuk, Bina.”

“Oh,” sahut Andira dengan suara kecil.

“Adya kenapa?” tanya Alam sambil melihat Adyan yang masih terpejam.

Andira tampak tidak semangat, tak seperti saat pertama kali ia melihat Alam di sana.

“Dira?” panggil Alam seraya menjentikkan jarinya.

“Ah itu, pingsan tadi pas lagi bersihin kolam.”

Alam tertawa kecil. “Kalian dihukum?”

Andira mengangguk malu. “Iya.”

“Ha ha ha, yasudah, saya ke kelas dulu, ya? Oh ya kata Pak Yono, kalian disuruh hubungi orang tua.”

“Kak, beneran?” Andira bertanya tak percaya.

“Ya, iya, ngapain saya bohong? Sudah, ya.”

Alam berpamitan keluar dari uks, sedangkan Andira masih terdiam dengan pikirannya yang campur aduk.

“Baru dibilang dia ambil obat buat, Bina, langsung kepikiran.” Adya sedari tadi sudah sadar, namun ia tetap terpejam dan mendengarkan semua pembicaraan Alam dan Andira.

“Lo udah sadar?”

“Hm.”

“Dih! Ahh ngeselin!”

“Kenapa, sih?”

“Lo ngeselin.”

Adya dan Andira saling melempar tatapan tajam.

“Apa, lo?”

Adya menggelengkan kepalanya lalu tertawa sinis.

“Lo beneran suka sama, Alam? Bisa suka sama laki-laki juga, ya? Kirain sama buku aja.”

“Gue mau berantem sama, lo.”

Andira mengambil ancang-ancang untuk menyerang Adya, sedangkan Adya kembali masuk ke dalam selimutnya dan memejamkan matanya, lalu berdoa kepada Tuhan yang maha esa agar dirinya diselamatkan dari Andira.

“Kalian ini harusnya memberi contoh yang baik, malah telat,” ucap Yono yang kini sudah berdiri dengan sebuah penggaris panjang kebanggaannya, di tangan.

“Maaf, pak,” jawab Adya penuh penyesalan.

“Memang kita gak boleh telat, pak? Kan kita juga murid biasa.” Berbeda dengan Adya yang meminta maaf, Andira memilih untuk menjawab, tentu hal itu membuat Yono murka.

Yono menatap Andira dengan tajam. “Kamu ini Andira, juara umum terus-menerus, pernah juara olimpiade saat kelas sebelas, nama kamu sudah ada loh di sekolah ini.”

“Maaf, pak,” lirih Andira dengan kepala tertunduk.

“Harusnya kalian ini bertanggung jawab dengan kesalahan yang kalian lakukan, tah!”

“Iya, pak.”

“Maaf, pak.”

Yono menghela nafas kasar lalu menggelengkan kepalanya perlahan.

“Mari ikut saya.”

“Kemana, pak?” tanya Andira keheranan.

“Ya, saya beri hukuman, lari keliling lapangan.”

Adya dan Andira sama-sama terkejut mendengar hukuman yang akan mereka hadapi. Namun reaksi yang mereka berikan cukup berbanding terbalik, Adya yang memilih untuk diam dan Andira yang tidak terima.

“Duh, pak, jangan lari, pelase? Berkeringat, pak, gimana kalo bersih-bersih saja, pak?”

“Kok malah nawar, kamu? Kamu kira saya lagi jualan?”

“Ha ha ha, bapak ngelawak, ya? Lucu kok, pak, please?”

“Saya tidak sedang melucu, Andira!”

Nyali Andira menciut seketika.

Tanpa protes lagi Andira dan Adya mengikuti langkah Yono. Sepanjang perjalanan, Andira tak berhenti mengomel dengan suara yang kecil, tapi masih dapat didengar oleh Adyan.

“Berisik,” kata Adya merasa terganggu dengan omelan yang terus keluar dari mulut Andira.

“Dih, sokap.”


“Loh pak kok ke kolam renang?” tanya Andira penasaran, pasalnya arah lapangan ke kiri dan kolam renang ke kanan, Yono berbelok ke kanan.

“Andira, kamu ikut saja, tak usah banyak protes, tah.”

“Baik, tah,” sahut Andira mengikuti cara bicara Yono, yang sering mengucapkan kata tah.

Refleks Adya tertawa, namun ia segera memasang ekspresi datar.

“Nah, sampai!” Seru Yono ketika mereka sampai di kolam renang yang cukup luas di sekolah.

“Tugas kalian membersihkan kolam renang yang kebetulan masih kosong,” ucap Yono menjelaskan hukuman apa yang harus dilakukan Adya dan Andira.

“Loh, pak, lama dong? Saya ada ulangan, pak, hari ini. Lari saja, ya, pak?” Andira memohon semanis mungkin.

Adya tidak berkutik, namun dibenaknya ia berharap permohonan Andira berhasil.

“Saya bilang tidak bisa menawar, tuh, lihat kotor banget. Atas dan bawah dibersihkan!”

Yono segera meninggalkan Adya dan Andira. Padahal baru saja Andira hendak protes kembali.

“ARGHHHH!” Pekik Andira dengan kuat. “Gara-gara, lo, sih.” Andira menatap Adyan dengan penuh amarah.

“Kok gue? Lo yang telat juga.”

“Tapi gara-gara, lo, gegabah! Coba kalo lo pelan dikit pas manjat tadi, arghhh!”

“Lagian siapa suruh telat,” sewot Adya seraya berlalu melewati Andira dan meraih alat-alat untuk mulai membersihkan kolam tersebut.

“Lah, kok sewot.”

Andira hanya diam tanpa melakukan apa-apa, sedangkan Adya sudah bersiap-siap untuk melakukan hukumannya.

Tiba-tiba terbersit pikiran licik di otak Andira. Pelan-pelan ia mundur, berencana untuk kabur dari sana.

“Mau kemana?” Adya menahan tangan Andira segera saat mengetahui Andira hendak kabur.

“Nih.” Adya menyerahkan ember ke Andira agar gadis itu tidak kabur lagi.

“Ambil air di keran sana,” titahnya secara menunjuk keran air yang sedikit jauh dari tempat mereka berdiri.

Andira mengambil ember yang ada di tangan Adya secara kasar, lalu ia berjalan menuju keran dengan rasa kesal yang masih ada dibenaknya.

Adya dan Andira membersihkan kolam renang dengan telaten, walaupun Andira masih diliputi rasa kesal.

“Kok lo gak bersuara, Ya?” tanya Andira karena merasa hening banget di sana.

Adya menjawab dengan gumaman. Bukannya tidak mau menjawab namun tiba-tiba ia merasa pusing. Tapi lelaki itu menahannya.

“Adya, harusnya lo protes tadi, biar kita ikut ulhar, lo tau, kan, gimana kejamnya pak Dipta.”

“Ya, Adya. ad—”

“Adya!” Andira memekik terkejut saat melihat Adyan pingsan.

Andira melemparkan alat pel yang ia pegang tadi, ke sembarang arah. Lalu ia melangkah menghampiri Adya.

“Adya, jangan main-main, ah.”

“Ya, Adya!” Andira menggoyangkan tubuh Adyan.

Namun tidak ada tanggapan dari Adya.

“Aduh gimana, nih.”

“Ya, bangun, Ya.”

“Ihhh, nyusahin dasar.”

Andira berfikir apa yang harus ia lakukan. Setelah mendapat jalan keluar, ia berlari dengan cepat.

Melewati beberapa ruang kelas, sampai ia melewati ruang kelasnya sendiri, 12 Ipa-1.

Andira awalnya hendak mencari Pak Yono, kebetulan Pak Yono berada di kelasnya.

“Pak!” teriak Andira menarik perhatian teman-teman kelasnya.

Yono yang sedang berbincang dengan guru yang sedang mengajar di kelas itu, segera menoleh.

“Apalagi, tah, sudah siap?”

“Anu, pak.” Andira tidak bisa langsung melapor, ia masih berusaha mengatur nafasnya.

“Anu wanu, yang jelas.”

“Adya ..... Adya pingsan, pak,” lapor Andira.

“What! Adya pingsan?” Suara Hengkara menggelegar isi kelas.

“Kok bisa, An?” Nakula bertanya dengan raut wajah yang panik.

“Di mana, An?” tanya Arjuna tak kalah panik.

Dengan nafas yang masih belum teratur, Andira menunjuk ke arah kolam renang.

“Kolam, kolam renang.”

Mendengar dimana Adyan, segera Hengkara, Nakuladan Arjuna berlari ke sana, disusul oleh Yono dan Andira.


Di UKS, Adya juga belum sadar dari pingsannya.

“Kamu apakan, Adya, Andira?” tanya Yono.

“Loh kok, saya, pak? Saya mah gak tau, orang pas saya lihat udah pingsan.”

“Kayaknya Adya kecapean deh, pak,” jawab Nakula. “Soalnya dia sering kecapean, pak.”

“Yasudah, yang lain balik ke kelas.”

Hengkara, Nakula dan Arjuna hendak beranjak dari sana, begitu juga dengan Andira.

“Kamu enggak, Andira.”

“Loh kok saya enggak, pak?”

“Ya, kamu masih dihukum, tah.”

Andira mendengkus kesal, ia hanya bisa menurut.

Andira sedari tadi tidak bisa tenang, karena jadwal ulangan harian matematika pasti sudah dimulai sedari tadi.

Namun Adyan tak kunjung sadar dari pingsannya.

“Padahal lo laki, kok pingsan.”

“Emang laki-laki gak boleh pingsan?”

Jantung Andira hampir merosot kebawah mendengar suara berat itu. Saat ia melihat Adyan, lelaki itu masih pingsan.

“Laki-laki juga manusia, Dira.”

“Kak Alam!”

Andira segera merapikan penampilannya saat Alam masuk ke UKS dan menghampiri Andira.

“Kakak sakit?” tanya Andira khawatir.

Alam, lelaki yang didambakan oleh Andira itu menggeleng.

“Saya cuman mau ambil obat untuk, Bina.”

“Oh,” sahut Andira dengan suara kecil.

“Adyan kenapa?” tanya Alam sambil melihat Adyan yang masih terpejam.

Andira tampak tidak semangat, tak seperti saat pertama kali ia melihat Alam di sana.

“Dira?” panggil Alam seraya menjentikkan jarinya.

“Ah itu, pingsan tadi pas lagi bersihin kolam.”

Alam tertawa kecil. “Kalian dihukum?”

Andira mengangguk malu. “Iya.”

“Ha ha ha, yasudah, saya ke kelas dulu, ya? Oh ya kata Pak Yono, kalian disuruh hubungi orang tua.”

“Kak, beneran?” Andira bertanya tak percaya.

“Ya, iya, ngapain saya bohong? Sudah, ya.”

Alam berpamitan keluar dari uks, sedangkan Andira masih terdiam dengan pikirannya yang campur aduk.

“Baru dibilang dia ambil obat buat, Bina, langsung kepikiran.” Adyan sedari tadi sudah sadar, namun ia tetap terpejam dan mendengarkan semua pembicaraan Alam dan Andira.

“Lo udah sadar?”

“Hm.”

“Dih! Ahh ngeselin!”

“Kenapa, sih?”

“Lo ngeselin.”

Adyan dan Andira saling melempar tatapan tajam.

“Apa, lo?”

Adyan menggelengkan kepalanya lalu tertawa sinis.

“Lo beneran suka sama, Alam? Bisa suka sama laki-laki juga, ya? Kirain sama buku aja.”

“Gue mau berantem sama, lo.”

“Kalian ini harusnya memberi contoh yang baik, malah telat,” ucap Yono yang kini sudah berdiri dengan sebuah penggaris panjang kebanggaannya, di tangan.

“Maaf, pak,” jawab Adyan penuh penyesalan.

“Memang kita gak boleh telat, pak? Kan kita juga murid biasa.” Berbeda dengan Adyan yang meminta maaf, Andira memilih untuk menjawab, tentu hal itu membuat Yono murka.

Yono menatap Andira dengan tajam. “Kamu ini Andira, juara umum terus-menerus, pernah juara olimpiade saat kelas sebelas, nama kamu sudah ada loh di sekolah ini.”

“Maaf, pak,” lirih Andira dengan kepala tertunduk.

“Harusnya kalian ini bertanggung jawab dengan kesalahan yang kalian lakukan, tah!”

“Iya, pak.”

“Maaf, pak.”

Yono menghela nafas kasar lalu menggelengkan kepalanya perlahan.

“Mari ikut saya.”

“Kemana, pak?” tanya Andira keheranan.

“Ya, saya beri hukuman, lari keliling lapangan.”

Adyan dan Andira sama-sama terkejut mendengar hukuman yang akan mereka hadapi. Namun reaksi yang mereka berikan cukup berbanding terbalik, Adyan yang memilih untuk diam dan Andira yang tidak terima.

“Duh, pak, jangan lari, pelase? Berkeringat, pak, gimana kalo bersih-bersih saja, pak?”

“Kok malah nawar, kamu? Kamu kira saya lagi jualan?”

“Ha ha ha, bapak ngelawak, ya? Lucu kok, pak, please?”

“Saya tidak sedang melucu, Andira!”

Nyali Andira menciut seketika.

Tanpa protes lagi Andira dan Adyan mengikuti langkah Yono. Sepanjang perjalanan, Andira tak berhenti mengomel dengan suara yang kecil, tapi masih dapat didengar oleh Adyan.

“Berisik,” kata Adyan merasa terganggu dengan omelan yang terus keluar dari mulut Andira.

“Dih, sokap.”


“Loh pak kok ke kolam renang?” tanya Andira penasaran, pasalnya arah lapangan ke kiri dan kolam renang ke kanan, Yono berbelok ke kanan.

“Andira, kamu ikut saja, tak usah banyak protes, tah.”

“Baik, tah,” sahut Andira mengikuti cara bicara Yono, yang sering mengucapkan kata tah.

Refleks Adyan tertawa, namun ia segera memasang ekspresi datar.

“Nah, sampai!” Seru Yono ketika mereka sampai di kolam renang yang cukup luas di sekolah.

“Tugas kalian membersihkan kolam renang yang kebetulan masih kosong,” ucap Yono menjelaskan hukuman apa yang harus dilakukan Adyan dan Andira.

“Loh, pak, lama dong? Saya ada ulangan, pak, hari ini. Lari saja, ya, pak?” Andira memohon semanis mungkin.

Adyan tidak berkutik, namun dibenaknya ia berharap permohonan Andira berhasil.

“Saya bilang tidak bisa menawar, tuh, lihat kotor banget. Atas dan bawah dibersihkan!”

Yono segera meninggalkan Adyan dan Andira. Padahal baru saja Andira hendak protes kembali.

“ARGHHHH!” Pekik Andira dengan kuat. “Gara-gara, lo, sih.” Andira menatap Adyan dengan penuh amarah.

“Kok gue? Lo yang telat juga.”

“Tapi gara-gara, lo, gegabah! Coba kalo lo pelan dikit pas manjat tadi, arghhh!”

“Lagian siapa suruh telat,” sewot Adyan seraya berlalu melewati Andira dan meraih alat-alat untuk mulai membersihkan kolam tersebut.

“Lah, kok sewot.”

Andira hanya diam tanpa melakukan apa-apa, sedangkan Adyan sudah bersiap-siap untuk melakukan hukumannya.

Tiba-tiba terbersit pikiran licik di otak Andira. Pelan-pelan ia mundur, berencana untuk kabur dari sana.

“Mau kemana?” Adyan menahan tangan Andira segera saat mengetahui Andira hendak kabur.

“Nih.” Adyan menyerahkan ember ke Andira agar gadis itu tidak kabur lagi.

“Ambil air di keran sana,” titahnya secara menunjuk keran air yang sedikit jauh dari tempat mereka berdiri.

Andira mengambil ember yang ada di tangan Adyan secara kasar, lalu ia berjalan menuju keran dengan rasa kesal yang masih ada dibenaknya.

Adyan dan Andira membersihkan kolam renang dengan telaten, walaupun Andira masih diliputi rasa kesal.

“Kok lo gak bersuara, Yan?” tanya Andira karena merasa hening banget di sana.

Adyan menjawab dengan gumaman. Bukannya tidak mau menjawab namun tiba-tiba ia merasa pusing. Tapi lelaki itu menahannya.

“Yan, harusnya lo protes tadi, biar kita ikut ulhar, lo tau, kan, gimana kejamnya pak Dipta.”

“Yan, Adyan. ad—”

“Adyan!” Andira memekik terkejut saat melihat Adyan pingsan.

Andira melemparkan alat pel yang ia pegang tadi, ke sembarang arah. Lalu ia melangkah menghampiri Adyan.

“Yan, jangan main-main, ah.”

“Yan, Adyan!” Andira menggoyangkan tubuh Adyan.

Namun tidak ada tanggapan dari Adyan.

“Aduh gimana, nih.”

“Yan, bangun, Yan.”

“Ihhh, nyusahin dasar.”

Andira berfikir apa yang harus ia lakukan. Setelah mendapat jalan keluar, ia berlari dengan cepat.

Melewati beberapa ruang kelas, sampai ia melewati ruang kelasnya sendiri, 12 Ipa-1.

Andira awalnya hendak mencari Pak Yono, kebetulan Pak Yono berada di kelasnya.

“Pak!” teriak Andira menarik perhatian teman-teman kelasnya.

Yono yang sedang berbincang dengan guru yang sedang mengajar di kelas itu, segera menoleh.

“Apalagi, tah, sudah siap?”

“Anu, pak.” Andira tidak bisa langsung melapor, ia masih berusaha mengatur nafasnya.

“Anu wanu, yang jelas.”

“Adyan ..... Adyan pingsan, pak,” lapor Andira.

“What! Adyan pingsan?” Suara Hengkara menggelegar isi kelas.

“Kok bisa, An?” Nakula bertanya dengan raut wajah yang panik.

“Di mana, An?” tanya Arjuna tak kalah panik.

Dengan nafas yang masih belum teratur, Andira menunjuk ke arah kolam renang.

“Kolam, kolam renang.”

Mendengar dimana Adyan, segera Hengkara, Nakula dan Arjuna berlari ke sana, disusul oleh Yono dan Andira.


Di UKS, Adyan juga belum sadar dari pingsannya.

“Kamu apakan, Adyan, Andira?” tanya Yono.

“Loh kok, saya, pak? Saya mah gak tau, orang pas saya lihat udah pingsan.”

“Kayaknya Adyan kecapean deh, pak,” jawab Nakula. “Soalnya dia sering kecapean, pak.”

“Yasudah, yang lain balik ke kelas.”

Hengkara, Nakula dan Arjuna hendak beranjak dari sana, begitu juga dengan Andira.

“Kamu enggak, Andira.”

“Loh kok saya enggak, pak?”

“Ya, kamu masih dihukum, tah.”

Andira mendengkus kesal, ia hanya bisa menurut.