Adya, Andira, Olimpiade
“Andira udah datang?” tanya Adya ketika sampai di depan meja Marsha atau yang sering dipanggil Matcha.
Matcha hanya menggeleng sebagai jawaban, lalu kembali fokus ke buku yang ia baca sedari tadi.
“Belum datang?” Adya bertanya lagi, dan Matcha menjawabnya dengan gelengan lagi.
“Jawab.”
“Kan lo lihat sendiri dia gak ada, palingan bentar lagi juga dat— tuh.” Matcha menunjuk Andira yang baru tiba di kelas.
Segera Adya menghampiri Andira, lalu tiba-tiba ia menarik tangan Andira sedikit kasar, membuat sang pemilik tangan meringis kesakitan.
Andira tidak bisa melawan selain mengikuti langkah Adya yang begitu cepat. Namun Andira tetap berusaha melepaskan tangannya.
“Adya!” pekik Andira.
Namun seakan tuli Adya terus menarik Andira kasar.
“Adyatama Danantya!” Andira berteriak tidak peduli dengan murid-murid lain yang kini melihatnya.
“Lo gila? Sakit anjir!” protes Andira yang sudah tersulut emosi.
Menyadari yang baru saja ia lakukan, segera lelaki itu melepaskan genggaman tangan Andira.
“Sorry.”
Andira mengusap tangannya yang terasa sakit, ia menatap Adya dengan tatapan dingin.
“Kenapa, sih?” tanya Andira sinis.
“Dipanggil pak Dipta, siapa tau kita disuruh ulhar susulan,” jawab Adya tenang namun masih dengan perasaan merasa bersalah.
Andira menggelengkan kepalanya, dengan masih mengusap tangan yang ditarik Adya tadi.
“Gak jelas,” lirihnya seraya membalikkan tubuh hendak kembali ke kelas.
“An, ayok An, demi nilai.” Adya lagi-lagi menahan tangan Andira namun kini sedikit pelan.
“Kok lo tiba-tiba peduli, sih?” tanya Andira penasaran dengan sikap Adya yang tiba-tiba peduli terhadapnya.
Pasalnya selama hampir tiga tahun sekelas, lelaki itu tidak dekat dengannya, bahkan saling bertegur sapa saja tidak pernah.
Wajar saja Andira merasa curiga.
Adya tidak menjawab, ia bungkam dihadapan Andira.
“Kalo lo merasa bersalah karena kejadian kemarin, mending gak usah deh.” tatapan Andira masih sangat tajam.
“Ya. Tapi hari ini, pak Dipta suruh lo ke ruangannya juga.”
Andira menghela nafas kasar. “Bilang dari tadi, jangan asal narik, dikira gue kambing?”
Andira berjalan melewati Adya. Segera Adya mengekor dari belakang.
Saat Andira membuka pintu ruang guru, ia melihat Pak Dipta dan juga Alam di sana.
Andira tiba-tiba membalikkan tubuhnya, hal yang pertama ia lihat adalah dada Adya.
“Kenapa?” Adya menatap Andira keheranan.
Andira sibuk merapikan rambut dan juga pakaiannya, lalu mendongak menatap Adya.
“Gue gak jelek, kan? Rapi, kan?”
Adya mengerutkan keningnya keheranan, namun saat matanya mendapatkan Alam di dalam, barulah ia sadar.
“Jelek,” jawab Adya singkat lalu melewatkan Andira begitu saja.
Andira hanya menatap Adya dengan tatapan kesal.
“Ngeselin amat!”
Adya yang duluan masuk memilih duduk di tengah dan dihadapan Pak Dipta. Tentu hal itu membuat Andira kesal, karena ia kehilangan kesempatan untuk duduk di samping Alam, pujaan hatinya.
“Baik karena sudah berkumpul semua, bisa saya mulai?”
Ketiganya mengangguk sebagai jawaban.
“Beberapa bulan lagi akan diadakan olimpiade matematika tingkat nasional,” kata Dipta menjelaskan tujuan ia memanggil ketiga murid yang ahli dalam pelajaran matematika itu.
“Loh pak, kok tiba-tiba?” tanya Andira.
“Kita masih punya beberapa bulan untuk latihan, Andira,” jawab Dipta.
“Pihak sekolah sangat berharap kalianlah yang akan mewakili sekolah, terlebih kalian yang sudah punya nama dan berpengalaman, akan sangat menguntungkan sekolah kita.”
“Kalo saya setuju saja, pak,” ucap Alam.
“Kalo gitu Andira juga, pak!” timpal Andira dengan semangat.
Alam tertawa kecil saat mendengar seruan Andira, membuat Andira merasa malu.
“Tapi, pak.” Berbeda dengan Alam dan Andira, Adya tidak langsung setuju dengan hal itu.
“Ya, kenapa Adya?”
“Saya sih gak keberatan, tapi kasih kesempatan saya sama Andira ikut ulhar susulan kemarin, ya, pak?”
“Bener, pak!”
Andira kali ini setuju dengan Adya.
Dipta mengangguk menyetujui permintaan dari Adya.
“Boleh, nanti pas pulang kalian boleh susulan,” ujar Dipta membuat Adya dan Andira merasa lega.
Selepas berbincang banyak mengenai olimpiade, kini Adya, Andira dan Alam dipersilahkan untuk kembali ke kelas.
“Sampai jumpa nanti, ya, kak,” kata Andira dengan lembut ke Alam.
Adya menatap Andira dengan tatapan yang aneh.
Berbeda dengan Adya, Alam membalas Andira dengan senyuman yang ramah.
“Iya, Andira. Duluan, ya? Dir, Ad,” ucapnya berpamitan.
“Oke, kak!”
“Hm.”
Adya masih menatap Andira dengan tatapan aneh, karena Andira yang tak henti tersenyum dan menatap kepergian Alam.
“Aneh,” ucap Adya berhasil membuat Andira kesal
“Apasih, sewot amat.” Andira berdecak kesal.
Andira yang kesal memilih untuk meninggalkan Adya ke kelas. Namun Adya mengekor Andira dari belakang.
“Secinta itu lo ke dia?”
“Ya! Cinta gue ke dia itu kayak ilmu matematika MUTLAK!”
“Gak jelas.”
Yang tadinya Adya di belakang, kini Adya melangkahkan melewati Andira.