Panglimakun

#23

Revano mengantar Gema menuju uks, ditemanin oleh beberapa teman Gema tentu saja.

Saat dirinya hendak membawa Gema keluar dari lapangan basket, ia tidak lagi melihat Maudy dan teman-temannya di sana. Revano mengira bahwa Maudy sudah dibawa oleh teman-temannya menuju uks.

Namun ternyata dugaan Revano salah, ia tidak mendapatkan Maudy di uks. Bahkan saat dirinya tiba tidak ada siapa-siapa di sana.

“Vano. Temenin aku,” pinta Gema dengan raut wajah sedih yang ia buat-buatkan.

Revano terdiam sejenak, padahal tadinya ia sudah ada niatan untuk mencari dan menghampiri gadisnya.

Revano tersenyum, lalu melepaskan tangan Gema yang memegang tangannya.

“Di sini dulu, ya, kan ada temen-temen kamu. Aku mau nyusul Maudy dulu,” katanya, lalu tanpa menunggu respon Gema ia segera meninggalkan Gema di sana.

Gema mendecak kesal saat menapatkan respon Revano yang seperti itu.

“Harusnya lebih keras kalian lempar bola ke Maudy tadi,” kesal Gema.

Kecelakaan kecil yang menimpa Maudy di lapangan bola, itu bukan murni kecelakaan, melainkan ulah Gema dan beberapa temannnya. Usaha gadis itu berhasil, namun ia tidak berhasil menahan Revano agar tetap bersamanya.

“Mana bisa, Gem, bisa mati anak orang, bola basket keras, loh,” balas salah satu teman Gema yang masih ada di sana.

“Bodo amat, gue gak peduli.”


“Maudy mana?” tanya Revano ketika dirinya tiba di depan ruang kelas Maudy, yang kebetulan ada beberapa murid laki-laki berdiri di sana.

Mereka menunjuk ke arah Maudy, segera Revano masuk untuk menghampiri Maudy. Benar ada Maudy di sana, Revano sedikit lega melihatnya.

Gadis itu duduk di kursi dengan kepala yang ia tidurkan di atas meja, hanya beralaskan kedua tangannya.

“Dy,” panggil Revano lembut, ketika ia sampai di depan meja Maudy.

Tidak ada respon dari Maudy, melainkan Misel yang kebetulan duduk di samping Maudy. Segera Misel mendongak untuk menatap ke asal suara.

“Mau ngapain lo ke sini?” tanya Misel dengan tatapan sinis dan tajam

Seakan tuli, Revano menghiraukan pertanyaan dari Misel. Revano semakin mendekat untuk melihat keadaan Maudy.

“Ody, ke rumah sakit, ya?” Revano berlutut tepat di depan meja Maudy.

Masih tidak ada respon dari Maudy. Entah gadis itu tidur beneran atau hanya malas menghadapi Revano.

Misel berdecak kesal, lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan yang sedikit kasar, membuat semua mata kini tertuju padanya.

Misel melangkah hingga kini ia berada di samping Revano.

“Bangun, lo.” Misel menarik lengan Revano kasar.

Awalnya Revano malas untuk berhadapan dengan Misel, ia hanya foku kepada Maudy. Sampai akhirnya ia terpancing karena tindakan kasar dari Misel.

Kini keduanya saling berdiri berhadapan, dengan Misel yang memberi tatapan begitu tajam dan mengintimidasi. Berbeda dengan Revano yang terlihat santai.

“Mau lo apa, sih, anjing?” tanya Misel, dengan emosi yang meluap-luap.

Revano hanya diam.

“Sorry to sorry kalo gue toxic. Karena orang macem lo itu butuh dikasarin!”

Revano masih diam, namun tangannya tergepal kuat menandakan ia sudah tersalut emosi.

“Lo butuh dia.” Tangan Misel bergerak menunjuk Maudy, yang masih sama.

“Tapi lo nyakitin dia. Apa maksud lo, gue tanya?”

Misel menarik bibirnya membentuk sebuah seringai. Lalu gadis itu menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tidak paham apa yang ada di pikiran laki-laki yang ada di hadapannya.

“Lo butuh dia karena lo ngerasa sakit, kan? Gue gak tau masalah, lo, tapi gue mau bilang. Di dunia ini bukan cuman lo yang tersakiti, bukan cuman lo! Jadi lo gak usah semena-mena!”

Peringatan dari Misel sama sekali tidak membuat Revano angkat suara.

“Dengan, kan, anjing?”

“Gue bukan anjing,” balas Revano tidak terima saat dirinya dipanggil seperti itu.

Misel tertawa kecil. Akhirnya laki-laki yang ada di hadapannya tidak diam membisu lagi.

“Lo bukan anjing, tapi sikap lo ....” Misel menggantung ucapannya, gadis itu memberi tatapan tajam dan meremehkan kepada Revano.

“Kayak anjing, kayaknya pinteran anjing, deh,” tohok Misel.

Semua murid yang ada di kelas tertawa mendengar serangan demi serangan yang diberi Misel untuk Revano.

“Coba ngomong sekali lagi?” Revano menantang Misel untuk mengulang perkataanya.

Namun Misel adalah Misel, ia tidak akan takut akan apa-apa. “Lo kayak, anj-”

“Udah!”

Ucapan Misel terpotong karena teriakan dari Maudy. Dengan wajah lelahnya, Maudy menatap Misel dan Revano secara bergantian.

“Berisik!” sambungnya lagi.

Revano tersenyum saat melihat Maudy, tanpa ada rasa bersalah ia mendekat untuk mengusap kepala Maudy, tentu saja ditepis dengan kasar oleh Maudy.

“Mana yang sakit? Kepalanya, kan? Kita ke rumah sakit, ya? Jangan di sini,” ucap Revano dengan penuh kekhawatiran.

Tadinya Maudy enggan untuk menatap Revano. Namun kini ia menoleh untuk menatap laki-laki itu.

“Hati aku yang sakit, gak bisa diobatin di rumah sakit, caranya cuman satu ....” Maudy menjeda ucapannya, ia menahan untuk tidak menangis.

“Lo keluar dari sini, Reno!” teriak Maudy beriringan dengan tangisnya.

Revano tertegun, ia tak menyangka Maudy akan semarah itu kepaddanya.

Revano ingin menjelaskan kepada Maudy mengapa bukan dia yang mengantar Maudy, bahkan tidak ada saat Maudy merasa sakit karena terkena bola.

Karena sudah banyak yang membantu Maudy, maka ia harus membantu Gema. Ia yakin Maudy tidak akan mempermasalahkan hal itu, dan Revano akan menjaganya saat dirinya sudah berada di Uks, namun sayangnya Maudy tidak ada di Uks.

“Kamu marah?” Revano bertanya untuk memastikan.

“Lo tuli?” Misel kembali bersuara, lalu kembali berkata, “Lo keluar sebelum gue suruh anak kelas buat nyeret lo, ya!”

Gertakan dari Misel berhasil membuat Revano sedikit takut. Namun Revano tidak terlalu menunjukkan ketakutannya.

Ia malah tersenyum, lalu kembali mencoba untuk mengusap kepala gadisnya, untung saja tiddak ada penolakan kali ini.

“Maafin aku, ya, kalau aku buat kamu sakit. Nanti kita pulang bareng, ya?”

Seperti hari biasa, pada saat jadwal pelajaran olahraga, maka kelas Revano dan Maudy akan disatukan. Karena kebetulan jamnya sama.

Guru olahraga mereka akan memberi keringanan bagi siswi yang sedang masanya, atau bagi murid yang tidak kuat untuk ikut kelas olahraga. Dengan syarat mereka harus membuat sebuah tugas, mengenai topik yang dipelajari pada hari itu.

Namun hari guru yang mengajar berhalangan untuk hadir. Jadi para murid memilih untuk melakukan kegiatannya masing-masing, ada yang memilih menghabiskan waktu di taman, di kantin, atau di lapangan basket indoor.

Seperti yang sedang Maudy dan Model lakukan. Keduanya disuruh oleh sang pacar untuk tetap di sana.

Misel dengan senang hati menuruti Moreo, namun tidak dengan Maudy, semakin lama ia di sana, semakin panas dirinya. Sebab melihat Gema yang sedari tadi tak henti-hentinya genit ke Revano.

Maudy mendecak kesal, saat melihat Gema yang sedang bersama Revano.

“Gatel banget,” gerutu Maudy kesal.

Misel menoleh menatap Maudy, lalu ia tertawa kecil. “Kan udah gue bilang, putusin. Makan hati, kan, lo.”

Maudy memutar bola matanya malas. Saat yang bersamaan, tatapannya bertemu dengan Gema, ia melihat Gema membentuk sebuah seringai dari jauh sama, seakan mengatakan. 'haha cemburu, kan, lo.'

“Ah, rese banget!” gerutu Maudy lagi, dengan suara yang sedikit keras.

Dari jauh, Gema sedang berbisik dengan teman-temannya, entah apa yang sedang gadis itu bilang, Maudy tentu saja tidak peduli.

Perlu diketahui Maudy dan Misel duduk di pinggir lapangan, tanpa ada pembatas antara mereka. Rentan keduanya hampir terkena bola.

Bugh

Terbukti, sebuah bola mendarat tepat mengenai kepala Maudy.

“Awh,” ringis Maudy.

Ia memegang kepalanya dengan erat, hantaman dari bola itu benar-benar keras.

“Anjir, Maudy!” Teriakan Misel menarik perhatian murid yang ada di sana, tanpa terkecuali.

“Sakit, Sel.” Maudy mengadu kesakitan. Ia tidak berbohong, rasa sakit dari hantaman itu benar-benar terasa, bahkan untuk membuka mata saja Maudy tidak kuat.

Revano dan ketiga temannya segera berlari ke arah Maudy dan Misel. Namun saat Revano hampir sampai, ia mendengar suara Gema meringis kesakitan.

“Vano! Tolong, perut aku sakit banget.”

Revano terdiam sejenak, bahkan menghentikan langkahnya.

“Lo kenapa diem?” tanya Damar. “Cewe lo anjir, bantu!” Damar meninggalkan Revano yang masih terdiam di sana.

Revano melihat sudah banyak yang membantu Maudy. Saat ia melihat Gema, hanya ada beberapa temannya di sana.

Ia bimbang harus memilih siapa. Berulang kali terdengar ketiga sahabatnya memanggil Revano, namun Revano tetap diam.

Hingga kini ia kembali melangkah, namun bukan melangkah menuju Maudy, melainkan berbelok untuk membantu Gema.

Maudy sudah terlebih dahulu sampai di sekolah, sesampainya ia di sekolah, segera gadis itu melangkah ke kelas Revano.

Kebetulan mereka berdua berbeda kelas. Jadi sudah menjadi rutinitas Maudy, setiap pagi akan pergi ke kelas Revano.

Senyum Maudy mengembang saat melihat Revano muncul dari balik pintu, namun senyum itu hanya sesaat, dan pudar saat melihat Gema yang ada di belakang Revano.

“Pagi?” sapa Revano ketika sampai di tempat duduk yang sudah ada Maudy.

Tak lupa Revano mengusap kepala Maudy dengan lembut, sebagai sapaan paginya.

“Pagi, Reno!” balas Maudy dengan semangat, persetan dengan Gema.

“Aku bawa sandwich, loh, buat kamu.” Maudy mengangkat kotak bekal yang tadinya ada di meja.

“Wah, sandwich!” seru Gema menarik perhatian Maudy dan Revano.

“Boleh buat aku, gak, Dy? Aku belum makan, nih, boleh, ya?” pinta Gema dengan raut wajah yang ia imutkan.

Namun begitu menjijikkan untuk Maudy lihat. Maudy terdiam, ia kembali menoleh ke arah Revano, berharap Revano tidak menyerahkan sarapannya itu untuk Gema.

“Boleh, kan, Dy? Kasihan Gema, lagian aku gak terlalu suka sarapan,” kata Revano membuat Maudy begitu kecewa.

Dengan raut wajah tidak bersahabat, Maudy menyerahkan kotak bekalnya kepada Gema.

Gema berseru kesenangan dan tersenyum, lalu ia duduk di bangku yang ada di sebelah bangku Revano.

“Kalo gitu aku mau ke kelas dulu, ya.” Maudy hendak melangkah keluar, namun langkahnya tertahan karena Revano menarik tangannya.

“Kamu gak marah, kan?” tanya Revano sedikit khawatir.

Maudy menggeleng, ia menepis tangan Revano sedikit kasar.

“Gak. Ngapain.” Suara Maudy kecil namun tegas. Tersirat kekecewaan di sana.

Maudy kembali melangkah, secara kebetulan ia bertemu dengan tiga serangkai, Moreo, Zaidan dan Damar di pintu.

“Eh, Audy,” sapa Damar.

“Halo Ody sahabat, ku,” sapa Zaidan kemudian.

“Ngapain, Dy?” tanya Moreo penasaran.

“Biasalah jumpa pujaan hati,” timpal Zaidan menjawab pertanyaan Moreo.

Maudy mengangguk membenarkan, ia seperti malas untuk menjawab pertanyaan Moreo.

“Duluan, ya.” Maudy berjalan melewati tiga serangkai itu.

“Ody sahabat ku, nanti pinjam novel lagi, ya!” teriak Zaidan sebelum Maudy melangkah lebih jauh.

Maudy merespon dengan mengangkat tangannya.

“Wihh enak banget, nih, sarapan sandwich.” Zaidan menatap Gema dan kotak bekal yang ada di hadapannya.

“Ya, dong!”

Saat Gema hendak memakan sandwich tersebut, segera Moreo menahan tangan Gema.

“Kenapa, sih?” decak Gema kesal.

Moreo meraih sandwich yang sudah ada di tangan Gema tadi, lalu meletakkannya kembali di tempat bekal.

“Makan.” Moreo melempar kotak bekal itu ke hadapan Revano.

Sontak Revano menatap Moreo keheranan.

“Apaan?”

“Apaan?” Moreo mengulang pertanyaan Revano.

Lalu Moreo tertawa sini, dan berkata, “Cewe lo udah susah-susah buat sarapan, malah lo kasih ke cewe lain?”

Revano menghela napas kasar, jujur ia tidak mau menanggapi perkataan Moreo barusan.

“Moreo apa, sih! Aku laper,” bentak Gema tidak terima. Gema hendak merampas kembali kotak bekal itu.

Namun dengan sekuat tenaga Moreo menahannya.

“Lo kalo gak sayang sama Maudy lagi, putusin bego!” Tegas Moreo.

Ok, kini Revano mulai tertarik, ia mendongak untuk menatap Moreo yang ada dihadapannya.

Sedangkan Damar yang ada di sisi kiri, berusaha untuk membungkam Zaidan yang sedari tadi ingin bersuara.

Satu persatu murid mulai berdatangan, tentu saja suara lantang Moreo menarik perhatian mereka.

“Gue sayang sama Maudy,” ucap Revano.

Moreo mendecak kesal, bahkan ia mengeluarkan seringai di bibirnya.

“Sayang kata, lo? Darimana sayang kalo jelas-jelas lo kasih pemberian dia, buat cewek lain!”

“Bukan cewek lain! Tapi Gema!” Suara Revano sama keras dan tegasnya seperti Moreo.

Tak ingin urusannya semakin panjang, segera Revano mengambil kotak bekal yang ada di tangan Moreo.

Revano mengambil sandwich dan memakannya dengan kasar.

“Puas, lo?”

Moreo hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat tingkah laku Revano.

Moreo segera mengambil langkah menuju kursinya.

“Astaga sahabat, mari kita tarik napas dan keluarkan. Tidak baik bermusuhan,” seru Zaidan saat Damar sudah tidak membungkamnya.

Namun seruan Zaidan tidak ada yang tanggapi.

“Sabar Idan, Idan mah happy selalu!!”

Maudy sudah terlebih dahulu sampai di sekolah, sesampainya ia di sekolah, segera gadis itu melangkah ke kelas Revano.

Kebetulan mereka berdua berbeda kelas. Jadi sudah menjadi rutinitas Maudy, setiap pagi akan pergi ke kelas Revano.

Senyum Maudy mengembang saat melihat Revano muncul dari balik pintu, namun senyum itu hanya sesaat, dan pudar saat melihat Gema yang ada di belakang Revano.

“Pagi?” sapa Revano ketika sampai di tempat duduk yang sudah ada Maudy.

Tak lupa Revano mengusap kepala Maudy dengan lembut, sebagai sapaan paginya.

“Pagi, Reno!” balas Maudy dengan semangat, persetan dengan Gema.

“Aku bawa sandwich, loh, buat kamu.” Maudy mengangkat kotak bekal yang tadinya ada di meja.

“Wah, sandwich!” seru Gema menarik perhatian Maudy dan Revano.

“Boleh buat aku, gak, Dy? Aku belum makan, nih, boleh, ya?” pinta Gema dengan raut wajah yang ia imutkan.

Namun begitu menjijikkan untuk Maudy lihat. Maudy terdiam, ia kembali menoleh ke arah Revano, berharap Revano tidak menyerahkan sarapannya itu untuk Gema.

“Boleh, kan, Dy? Kasihan Gema, lagian aku gak terlalu suka sarapan,” kata Revano membuat Maudy begitu kecewa.

Dengan raut wajah tidak bersahabat, Maudy menyerahkan kotak bekalnya kepada Gema.

Gema berseru kesenangan dan tersenyum, lalu ia duduk di bangku yang ada di sebelah bangku Revano.

“Kalo gitu aku mau ke kelas dulu, ya.” Maudy hendak melangkah keluar, namun langkahnya tertahan karena Revano menarik tangannya.

“Kamu gak marah, kan?” tanya Revano sedikit khawatir.

Maudy menggeleng, ia menepis tangan Revano sedikit kasar.

“Gak. Ngapain.” Suara Maudy kecil namun tegas. Tersirat kekecewaan di sana.

Maudy kembali melangkah, secara kebetulan ia bertemu dengan tiga serangkai, Moreo, Zaidan dan Damar di pintu.

“Eh, Audy,” sapa Damar.

“Halo Ody sahabat, ku,” sapa Zaidan kemudian.

“Ngapain, Dy?” tanya Moreo penasaran.

“Biasalah jumpa pujaan hati,” timpal Zaidan menjawab pertanyaan Moreo.

Maudy mengangguk membenarkan, ia seperti malas untuk menjawab pertanyaan Moreo.

“Duluan, ya.” Maudy berjalan melewati tiga serangkai itu.

“Ody sahabat ku, nanti pinjam novel lagi, ya!” teriak Zaidan sebelum Maudy melangkah lebih jauh.

Maudy merespon dengan mengangkat tangannya.

“Wihh enak banget, nih, sarapan sandwich.” Zaidan menatap Gema dan kotak bekal yang ada di hadapannya.

“Ya, dong!”

Saat Gema hendak memakan sandwich tersebut, segera Moreo menahan tangan Gema.

“Kenapa, sih?” decak Gema kesal.

Moreo meraih sandwich yang sudah ada di tangan Gema tadi, lalu meletakkannya kembali di tempat bekal.

“Makan.” Moreo melempar kotak bekal itu ke hadapan Revano.

Sontak Revano menatap Moreo keheranan.

“Apaan?”

“Apaan?” Moreo mengulang pertanyaan Revano.

Lalu Moreo tertawa sini, dan berkata, “Cewe lo udah susah-susah buat sarapan, malah lo kasih ke cewe lain?”

Revano menghela napas kasar, jujur ia tidak mau menanggapi perkataan Moreo barusan.

“Moreo apa, sih! Aku laper,” bentak Gema tidak terima. Gema hendak merampas kembali kotak bekal itu.

Namun dengan sekuat tenaga Moreo menahannya.

“Lo kalo gak sayang sama Maudy lagi, putusin bego!” Tegas Moreo.

Ok, kini Revano mulai tertarik, ia mendongak untuk menatap Moreo yang ada dihadapannya.

Sedangkan Damar yang ada di sisi kiri, berusaha untuk membungkam Zaidan yang sedari tadi ingin bersuara.

Satu persatu murid mulai berdatangan, tentu saja suara lantang Moreo menarik perhatian mereka.

“Gue sayang sama Maudy,” ucap Revano.

Moreo mendecak kesal, bahkan ia mengeluarkan seringai di bibirnya.

“Sayang kata, lo? Darimana sayang kalo jelas-jelas lo kasih pemberian dia, buat cewek lain!”

“Bukan cewek lain! Tapi Gema!” Suara Revano sama keras dan tegasnya seperti Moreo.

Tak ingin urusannya semakin panjang, segera Revano mengambil kotak bekal yang ada di tangan Moreo.

Revano mengambil sandwich dan memakannya dengan kasar.

“Puas, lo?”

Moreo hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat tingkah laku Revano.

Moreo segera mengambil langkah menuju kursinya.

“Astaga sahabat, mari kita tarik napas dan keluarkan. Tidak baik bermusuhan,” seru Zaidan saat Damar sudah tidak membungkamnya.

Namun seruan Zaidan tidak ada yang tanggapi.

“Sabar Idan, Idan mah happy selalu?”

Between us It's hurt, but I'm letting go

Revano atau yang sering dipanggil Reno. Di mata orang dia adalah sosok laki-laki yang sangat mengagumkan. Namun bagi Maudy atau yang sering dipanggil Ody, dia adalah sosok laki-laki sekaligus pacar yang sangat egois.

Menjalin hubungan selama dua tahun sebagai pacar dan tiga tahun sebagai sahabat, tidak mudah bagi Ody. Begitu sering Reno menyakiti gadis itu.

Namun Ody tidak pernah mau melepskan Reno, ia akan selalu menjadi rumah untuk Reno. Namun bukan rumah untuk pulang, tapi rumah untuk sekedar beristirahat kala ia merasakan luka dari rumah sebenarnya.

Karena rumah untuk pulang sudah menjadi tugas Gema, sahabat Reno sedari kecil. Pernah sekali Ody bertanya, “Kalo Gema rumah untuk kamu pulang, dan kamu nyaman sama dia, kenapa kamu gak pacaran aja sama dia, Ren?”

Maka Reno akan menjawab, “Aku gak mau jadi musuh Gema, kalau suatu saat hubungan yang aku bangun dengan dia selesai.”

Ody hanya bisa tersenyum saat mendengar jawaban yang tak pernah ia duga itu. Ody yang penasaran, juga pernah beertanya, “Lalu bagaimana dengan aku? Kita, between us?”

Reno menjawabnya dengan senyuman yang selalu membuat Ody luluh. “Aku pastiin hubungan kita gak akan pernah selesai, Ody. You’re the only one until the end.”

Jawaban bulshit yang menjadi alasan Ody bertahan sampai sekarang.

Tak jarang Ody mendapatkan tamparan berupa kalimat dari dua sahabatnya, yaitu Misel dan Moreo yang juga menjalin hubungan.

Misel pernah berkata, “Let him go, Ody. Dia bakalan nyakitin lo terus menerus.” Perkataan Misel disetujui oleh Moreo selaku pacar Misel dan juga sahabat Reno. Then Ody answer, “Yeah, I know it’s hurt. Tapi kalo ngelepasin dia bakalan lebih sakit.”

Between us It's hurt, but I'm letting go

Revano atau yang sering dipanggil Reno. Di mata orang dia adalah sosok laki-laki yang sangat mengagumkan. Namun bagi Maudy atau yang sering dipanggil Ody, dia adalah sosok laki-laki sekaligus pacar yang sangat egois.

Menjalin hubungan selama dua tahun sebagai pacar dan tiga tahun sebagai sahabat, tidak mudah bagi Ody. Begitu sering Reno menyakiti gadis itu.

Namun Ody tidak pernah mau melepskan Reno, ia akan selalu menjadi rumah untuk Reno. Namun bukan rumah untuk pulang, tapi rumah untuk sekedar beristirahat kala ia merasakan luka dari rumah sebenarnya.

Karena rumah untuk pulang sudah menjadi tugas Gema, sahabat Reno sedari kecil. Pernah sekali Ody bertanya, “Kalo Gema rumah untuk kamu pulang, dan kamu nyaman sama dia, kenapa kamu gak pacaran aja sama dia, Ren?”

Maka Reno akan menjawab, “Aku gak mau jadi musuh Gema, kalau suatu saat hubungan yang aku bangun dengan dia selesai.”

Ody hanya bisa tersenyum saat mendengar jawaban yang tak pernah ia duga itu. Ody yang penasaran, juga pernah beertanya, “Lalu bagaimana dengan aku? Kita, between us?”

Reno menjawabnya dengan senyuman yang selalu membuat Ody luluh. “Aku pastiin hubungan kita gak akan pernah selesai, Ody. You’re the only one until the end.”

Jawaban bulshit yang menjadi alasan Ody bertahan sampai sekarang.

Tak jarang Ody mendapatkan tamparan berupa kalimat dari dua sahabatnya, yaitu Misel dan Moreo yang juga menjalin hubungan.

Misel pernah berkata, “Let him go, Ody. Dia bakalan nyakitin lo terus menerus.” Perkataan Misel disetujui oleh Moreo selaku pacar Misel dan juga sahabat Reno. Then Ody answer, “Yeah, I know it’s hurt. Tapi kalo ngelepasin dia bakalan lebih sakit.”

Kalimat itu tidak bertahan lama, sampai Ody berada di titik yang paling menyakitkan. Ia harus memilih melepasakan atau mempertahankan.

Between us It's hurt, but I'm letting go

Revano atau yang sering dipanggil Reno. Di mata orang dia adalah sosok laki-laki yang sangat mengagumkan. Namun bagi Maudy atau yang sering dipanggil Ody, dia adalah sosok laki-laki sekaligus pacar yang sangat egois. Menjalin hubungan selama dua tahun sebagai pacar dan tiga tahun sebagai sahabat, tidak mudah bagi Ody. Begitu sering Reno menyakiti gadis itu. Namun Ody tidak pernah mau melepskan Reno, ia akan selalu menjadi rumah untuk Reno. Namun bukan rumah untuk pulang, tapi rumah untuk sekedar beristirahat kala ia merasakan luka dari rumah sebenarnya. Karena rumah untuk pulang sudah menjadi tugas Gema, sahabat Reno sedari kecil. Pernah sekali Ody bertanya, “Kalo Gema rumah untuk kamu pulang, dan kamu nyaman sama dia, kenapa kamu gak pacaran aja sama dia, Ren?” Maka Reno akan menjawab, “Aku gak mau jadi musuh Gema, kalau suatu saat hubungan yang aku bangun dengan dia selesai.” Ody hanya bisa tersenyum saat mendengar jawaban yang tak pernah ia duga itu. Ody yang penasaran, juga pernah beertanya, “Lalu bagaimana dengan aku? Kita, between us?” Reno menjawabnya akan dengan senyuman yang selalu membuat Ody luluh. “Aku pastiin hubungan kita gak akan pernah selesai, Ody. You’re the only one until the end.” Jawaban bulshit yang menjadi alasan Ody bertahan sampai sekarang. Tak jarang Ody mendapatkan tamparan berupa kalimat dari dua sahabatnya, yaitu Misel dan Moreo yang juga menjalin hubungan. Misel pernah berkata, “Let him go, Ody. Dia bakalan nyakitin lo terus menerus.” Perkataan Misel disetujui oleh Moreo selaku pacar Misel dan juga sahabat Reno. Then Ody answer, “Yeah, I know it’s hurt. Tapi kalo ngelepasin dia bakalan lebih sakit.” Kalimat itu tidak bertahan lama, sampai Ody berada di titik yang paling menyakitkan. Ia harus memilih melepasakan atau mempertahankan.

Setelah memarkirkan motornya, Andira tak sengaja melihat Adya yang juga sedang memarkirkan motor miliknya.

Semua chat dari Adya semalam, masih teringat jelas di pikiran Andira. Tak mau dibuat bingung, Andira berlari menyusul Adya yang sudah melangkah menuju gedung sekolah.

“Adya!” teriak Andira memanggil nama Adya.

Teriakan Andira tak hanya menarik perhatian Adya, melainkan seluruh murid yang berada di sekitar sana juga.

Andira merasa sedikit malu, karena kini semua tatapan tertuju pada dirinya.

“Kenapa?” Adya memberhentikan langkahnya, agar sejajar dengan Andira.

“Maksud chat lo semalem apa, sih?” tanya Andira to the point.

Adya terdiam sejenak, lalu ia kembali melangkah tanpa menjawab pertanyaan dari Andira.

Andira mendecak kesal, seraya menghentakkan kakinya.

“Jawab dong, gue kan nanya,” tagih Andira seraya mengikuti langkah Adya.

Andira terus bertanya, dan Adya terus diam hingga mereka tiba di depan kelas.

Terpampang jelas raut wajah kecewa di wajah Andira saat mereka berdua masuk ke kelas.

“Cieee tumben, nih, bareng.”

Baru saja mereka masuk, sudah disambut dengan teriakan heboh dari Hengkara.

Andira tidak memperdulikannya, namun Adya menoyor kepala Hengkara tiba-tiba.

“Dih, jahat amat si abang,” protes Hengkara tidak terima.

“Kok lo bisa bareng Adya?” tanya Marsha saat Andira sudah duduk dibangkunya.

“Ya, bisa? Orang satu sekolah, satu kelas,” jawab Andira ketus.

Marsha hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali membaca buku yang sempat ia tunda.


Saat ini Andira, Adya dan Alam sedang berada di ruangan dimana mereka akan berlatih, untuk olimpiade matematika nanti.

Setelah Dipta membahas beberapa materi, kini ketiganya mendapatkan masing-masing lima puluh soal, untuk menguji seberapa jauh kemampuan mereka.

Entah soalnya yang begitu mudah, atau mereka yang begitu pintar, sehingga tidak ada ekspresi kesulitan terpancar saat mereka sedang mengerjakan soal-soal tersebut.

Setelah berperang dengan lima puluh soal, kini mereka tinggal menunggu hasil dari Dipta, yang sedang mengoreksi.

Tak banyak yang mereka lakukan, Adya memilih untuk mengerjakan tugas sekolah yang baru diberikan tadi, begitu juga dengan Andira.

Berbeda dengan Adya dan Andira, Alam kini sedang bermain dengan handphonenya.

“Oke.” Seruan Dipta membuat ketiganya menghentikan kegiatan.

“Nilai kalian sudah ada di tangan saya, sebelum itu saya mau bertanya. Soal yang tadi saya berikan, mudah atau susah?” tanya Dipta seraya menatap ketiganya secara bergantian.

“Mudah,” jawab Adya dan Alam secara bersamaan.

Namun Andira hanya diam, seperti ada yang menggangu pikirannya.

“Andira?” Dipta memanggil nama Andira.

Andira masih diam.

Adya yang sadar segera menepuk pelan pundak Andira, membuat Andira tersentak.

“Mudah, Pak,” jawabnya.

Terdengar suara helaan nafas kasar dari Dipta. Lalu tangannya mengangkat satu kertas yang entah milik siapa.

“Lalu kenapa hampir setengah soal kamu salah?”

Jantung Andira hampir berhenti berdetak mendengar hal itu, ia yakin sudah mengerjakannya dengan hati-hati tadi.

“Kenapa Andira? Ini masih soal dasar, bagaimana kalau sudah masuk ketahap berikutnya? Setidaknya jangan mempermalukan sekolah, Andira,” tegas Dipta dengan penuh penekanan.

Mata Andira terasa panas, ia tidak berani untuk menatap Dipta.

“Salah, tidak masalah, kan, Pak?” tanya Adya. “Sekarang kami masih dalam pembelajaran, wajar saja, kan?”

Dipta mengangguk setuju. “Hanya Alam yang mendapatkan nilai sempurna.” Dipta meletakkan kertas milik mereka di meja masing-masing.

Adya melihat hasil yang ia dapatkan, ada dua soal yang salah. Dan itu sama sekali tidak menggangu pikirannya, ia bisa belajar nanti.

“Terima kasih, Pak,” ujar Alam dengan senyum lebar terukir di bibirnya.

“Ya, sekarang kalian boleh pulang, jangan lupa dipelajari lagi soalnya, terutama kamu, Andira.”

“Baik, Pak.”

Setelah Dipta keluar, Adya, Andira dan Alam pun membereskan alat tulis mereka, lalu bergegas untuk pulang.

“Kak Alam, boleh pulang bareng?” tanya Andira berharap dirinya bisa diantar oleh Alam.

Alam tersenyum canggung, ia bahkan menggaruk tengkuknya dengan canggung.

“Maaf, ya, An. Gue udah ada janji,” jawab Alam menolak.

“Sama Bina?”

Alam mengangguk membenarkan.

“Duluan, ya? Adya, duluan.” Alam bergegas meninggalkan Andira dan Adya berdua di sana.

Andira hanya bisa memasang wajah kecewa, ia tau Alam berbohong soalnya Bina sudah sedari tadi pulang.

“Lo bawa motor, kan?” tanya Adya.

Andira mengangguk lemah.

“Kenapa minta dianterin?”

“Ngetes doang.”

“Yaudah gue anter.”

Andira menoleh cepat untuk menatap Adya.

“Lo mau naikin motor gue, ke motor, lo?”

Bukannya menjawab, Adya melangkah keluar dari ruangan itu. Tentu saja langkahnya diikuti oleh Andira dari belakang.

“Jawab dong!” ujar Andira merasa geram.

“Lo sanggup pegang dari belakang?” tanya Adya seraya mengenakan helm miliknya.

Andira yang tak mau ditinggal segera ia memakai helm miliknya juga, lalu menjawab, “Ya, enggak, aneh aja lo.”

Adya bergumam, ia segera menaiki motor sport miliknya dan menyalakan motor tersebut. Diikutin oleh Andira yang menyalakan motor matic miliknya.

“Duluan,” ucap Adya mempersilahkan Andira untuk jalan duluan.

Andira tak langsung nurut, ia menatap Adya penuh curiga terlebih dahulu.

“Lo beneran mau nganter, gue?”

“Hmm.”

“Beneran?”

“Iya, bawel.”

Andira tersenyum penuh kemenangan, ia sedikit tidak percaya. Namun gadis itu akan memastikan apa lelaki dihadapannya sekarang, akan benar-benar mengantarnya atau hanya tipu belaka.

Beberapa menit setelah menempuh dan melewati jalanan Jakarta yang begitu macet di sore hari. Akhirnya Andira sampai di rumahnya, ia berhenti tepat di depan pagar rumah miliknya.

Gadis itu melepaskan helm, lalu menghampiri Adya yang ternyata benar-benar mengantarnya sampai ke rumah.

“Padahal gue bercanda,” ucap Andira seraya tertawa. “Lo, suka gue, ya?”

Tanpa melepaskan helm miliknya, Adya menatap Andira.

“Udah sampe rumah, kalaupun rumah bukan tempat untuk pulang, setidaknya jadikan untuk tempat istirahat.”

Andira terdiam.

“Kalau ada masalah, yang diselesaikan masalahnya, bukan hidupnya,” lanjut Adya mengucapkan kalimat yang membuat Andira keheranan.

“Lo kenapa?” tanya Andira yang lagi-lagi kebingungan dengan kalimat demi kalimat dari Adya.

“Untuk mengucapkan sebuah kalimat, tidak perlu kenapa-kenapa terlebih dahulu, kan?”

Mata Adya tertuju pada lengan kiri Andira yang tidak tertutup lengah Hoodie panjangnya.

Segera Andira menarik lengan hoodienya, dan menutup sesuatu di dalam sana.

“Jangan lupa mandi terus keramas, gue pulang dulu.” Adya kembali menghidupkan motornya lalu pergi dari hadapan Andira yang masih terdiam.

Andira tersadar, lalu ia segera mencium rambutnya. Bahkan dirinya sendiri tidak tahan dengan bau rambutnya.

“Gue belum keramas tiga hari anjir, pasti kak Alam gak mau anter gue gara-gara ini.”

Andira merasa geli terhadap dirinya sendiri. Lalu segera ia membawa masuk motornya ke dalam rumah.

Rumah yang kini ia jadikan tempat untuk pulang, walaupun tanpa kehangatan.

Mengetahui Adya sudah sampai di rumahnya, dengan langkah malas Andira menuju pintu.

Saat Andira membuka pintu, begitu terkejutnya, saat ia melihat Adya bersama Alam di sana.

“Kak Alam!” Andira memekik terkejut.

Alam tersenyum saat namanya dipanggil. “Hai,” sahutnya.

Andira mengerjapkan mata berkali-kali, sangking tidak percayanya ia.

“Kakak mau ngapain ke sini?” tanyanya pada Alam sampai ia tidak menghiraukan keberadaan Adya.

“Mau bahas materi yang dikasih pak Dipta, karena kamu pingsan tadi jadi kita mutusin buat bahas di rumah kamu, nggak apa-apa, kan?” tanya Alam memastikan.

Dengan sigap Andira mengangguk. “Ya, nggak apa-apa, masuk, kak.” Andira mempersilahkan Alam masuk.

“Gue?” Adya bersuara saat Andira hendak meninggalkan dirinya tanpa mempersilahkan masuk juga.

Andira mendengkus kesal. “Ya ....” Andira menjeda ucapannya. “Keluar,” katanya.

Adya terkekeh, ia melangkah masuk ke rumah Andira, lelaki itu tau pasti Andira hanya bercanda.

“Eh, ada tamu,” ucap Dona setibanya mereka di ruang tamu.

“Halo tante saya alam,” ucap Alam memperkenalkan diri serta menyalami tangan Dona.

“Saya Adya tante, teman sekelas Andira.” Sambung Adya yang juga menyalami tangan Dona.

Dona tersenyum bahagia melihat Andira yang kini lebih terbuka dan mempunyai banyak teman.

“Silahkan duduk,” ucap Dona mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa ruang tengah.

Tanpa protes Alam dan Adya menurut.

“Nak, buat minum gih.”

“Gak usah disuruh juga gue bikin,” kata Andira dengan muka melas.

Moodnya terlanjur jelek karena Dona.

Adya memperhatikan gerak-gerik Andira yang sedang berada di dapur. Ia menyadari ada hal yang berbeda darinya.

“Nih minum,” ucap Andira setelah membuatkan minuman untuk Adya dan Alam.

“Materinya ada berapa banyak, sih?” tanya Andira seraya memperhatikan kertas-kertas yang sudah berserakan di atas meja.

Adya dan Alam saling melempar tatapan, merasa aneh dengan nada bicara Andira.

Menyadari tidak ada jawaban dari kedua lelaki itu, Andira mendongak menatap mereka secara bergantian.

“Tuli?”

“Eh, ada seratus soal sama penjelasan, An. Kata pak Dipta kerjain dulu baru nanti dibahas sama-sama,” jawab Alam menjelaskan.

“Oh,” sahut Andira singkat.

Lalu Adya membagikan lembar soal ke masing-masing dari mereka. Setelah itu keadaan menjadi hening, karena fokus mereka sekarang tertuju ke soal.

Dona yang memperhatikan dari jauh, seperti ingin menangis. Menangis karena bahagia dan menangis karena sedih, karena sikap Andira terhadapnya.


Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, cukup lama mereka menghabiskan waktu untuk membahas materi olimpiade yang akan mendatang.

“Kita pulang, ya, An.” Alam yang sudah selesai memakai sepatu berpamitan ke Andira yang berdiri di ujung pintu.

Andira mengangguk sebagai jawaban.

“Hati-hati, kak.” Andira tersenyum.

Alam mengangguk, lalu menoleh ke arah Adya yang masih sibuk dengan sepatunya.

“Duluan, ya, Dya.”

“Yo, sana.”

Setelah Alam menghilang dari pandangan Andira, saat itu juga Adya selesai menggunakan sepatunya.

Ia berdiri di samping Andira, menatap Andira yang kini sedang melamun.

“Kalo butuh tempat cerita, gue bisa, kok,” katanya membuat Andira tersadar dari lamunan.

Andira menghela nafas sedikit kasar.

“Bener, ya? Lo itu manusia tersksd,” tohok Andira. “Gih pulang,” ucapnya lebih ke mengusir Adya.

Adya sama sekali tidak tersinggung, bahkan ia tertawa kecil mendengar Andira.

“Kalo gitu izinin gue jadi temen, lo, biar gak sksd.”

“Heng,” panggil Adya yang duduk di samping Hengara, ia berusaha membangunkan Hengkara dari tidurnya, sebab ini masih di jam pelajaran PKN.

“Hm,” respon Hengkara dengan gumaman.

“Bangun, dengerin yang dijelasin sama pak Yono,” kata Adya masih berusaha membangunkan Hengkara.

Bukannya bangun, Hengkara memilih untuk tetap tidur dengan posisi tangan di atas meja, dan kepalanya di atas tangan miliknya.

“Udah biarin aja, sih, Adya,” balas Nakula yang duduk di bangku belakang Adya dan Hengkara, bersama Arjuna.

“Nanti dia gak tau apa-apa, Na.”

“Emang udah bodoh, Adya, mau gimana lagi,” sahut Arjuna geram.

Adya menyahut dengan anggukan, tidak memperpanjang obrolan mereka, bisa-bisa nanti malah dirinya yang dihukum oleh Pak Yono.

Saat Adya sedang fokus ke papan tulis, tiba-tiba andangannya tertuju pada Andira. Beberapa menit ia terus menatap Andira dalam diam, hingga tanpa sengaja ia tersenyum.

“Ekhem.” Nakula yang sedari tadi sadar kemana arah pandangan Adya, berdehem pelan.

Adya segera mengalihkan pandangannya kembali ke papan tulis.

“Akhirnya, ya, Dya. Setelah beberapa tahun jatuh cinta juga, nih,” ejek Nakula dengan nada yang sangat menjengkelkan.

“Apa sih.”


Setelah jam pelajaran selesai, kini saatnya para murid menghabiskan waktu untuk istirahat.

Yang tadinya ngantuk kini pada seger, terutama Hengkara.

“Koy gas kantin,” serunya dengan penuh semangat seraya berjalan ke luar kelas.

“Giliran kantin aja semangat tuh bocah,” ujar Nakula yang hanya bisa menggelengkapn kepala, saat melihat tingkah sahabatnya.

“Namanya juga Hengkara,” balas Arjuna yang sudah tidak heran dengan tingkah sahabatnya itu. “Lo ikut ke kantin gak, Dya?” tanya Arjuna kepada Adya yang masih duduk di bangkunya.

Adya yang sedari tadi melamun, seketika tersedar mendengar pertanyaan dari Arjuna.

“Ya, ikut,” jawabnya singkat.

Ketiganya pun berlalu menuju kantin, menyusul Hengkara yang mungkin saja sudah tiba di sana.

“Kantin, yuk, An,” ajak Marsha yang sudah memasuki semua buku-bukunya ke dalam tas.

“Yuk, sebentar,” jawab Andira menyetujui ajakan dari Marha.

“Yuk.”

Marha dan Andira melangkah menuju kantin, untuk mengisi perut mereka. Setibanya di kantin, mereka dibuat bingung karena kantina sudah full, dan kedua gadis itu tidak tau mau duduk dimana.

“Oh ini cewek gatel yang deket-deket sama Alam?”

Mendegar sindiran yang bertepatan dengan langkah Andira dan Marsha, kedua gadis itu menoleh ke asal suara. Ternyata sindiran itu bersal dari Rosha atau yang sering dipanggil Ocha.

“Ha ha ha, kalo cakep mah nggak apa-apa, ya, kan? bisa bersanding sama Bina, eh ini,” lanjut siswi bernama Risha atau Icha yang ada di sebelah Ocha.

Andira dan Marsha sadar sindiran itu tertuju ke salah satu dari mereka, pasalnya, cewek yang ada di dekat mereka hanya Andira dan Marsha.

Tak ingin ambil pusing, Andira tidak meresponnya. Ia memilih untuk fokus mencari bangku kosong yang bisa dirinya dan Marha dudukin.

“Eh, jangan gitu guys, Andira cantik, kok,” ucap Bina yang ada di hadapan Ocha dan Icha.

Ocha maupun Icha terkejut karena Bina menyebutkan nama Andira. Andira yang tadinya tidak terpancing, kini sedikit terpancing karena Bina menyebut namanya.

“Mulut lo gak usah lantam, bisa?” tanya Marha yang emosinya sudah tak terkontrol.

“Dih, lo siapa?” tanya Ocha sambil tertaawa remeh.

“Gue sahabat Andira, cewek yang lo sebut namanya tadi, lo ke-geeran atau gimana, sih, Bin?” Marsha menatap Bina dengan tatapan tajam.

Andira berusaha untuk menahan Marsha agar tidak melanjutkan perdebatan itu, karena mereka kini sudah menjadi pusat perhatian.

“Eh? sorry, ya, kalo tersinggung. Tapi aku bilang yang sebenarnya kok, Andira cantik tapi gak secantik itu di mata Alam, eh maaf.”

Rahang Andira mengeras mendengar hal itu, sekarang ia benar-benar kehilangan kesabaran.

“Makasih, ya, gue emang cantik. Mungkin gak secantik itu di mata kak Alam karena muka gue satu, kalo lo? muka dua, ya? eh maaf.”

Murid yang berada di kantin pun tertawa mendengar serangan balik dari Andira.

begitupun dengan Adya dkk yang berada tak jauh dari sana hanya menyaksikan keributan itu.

“Maksud lo apaan, sih?” Suara Bina meninggi, ia pun berdiri dari bangkunya dan berhadap dengan Andira.

Andira sama sekali tidak takut, ia malah menertawai keberanian Bina.

“Lo yang apa! Bisanya main nyindir, lawak lo.”

Tak terima kalah dari Andira, Bina memikirkan sesuatu hal yang licik. Ia menarik rambut Andira saat gadis itu lengah.

“Arghh!” Andira memekik kesakitan, ia berusaha melepaskan tangan Bina dari rambutnya, “Lepas setan, jangan kayak bocah!”

Seakan tuli bukannya melepas, Bina semakin menarik rambut gadis itu. Bina merasa sangat puas saat Andira tidak melawan atau menarik rambutnya balik.

Marha yang tiddak terima, ia hendak membalas perbuatan Bina, namun sialnya ia ditahan oleh Ocha.

“Lepas anjir!” teriak Marsha saat tangannya ditarik oleh Ocha.

“Gak mau.”

Kembali ke Andira, ia merasakan kepalanya sangat sakit, gadis itu mau saja melawan namun tiddak bisa. Kemarin baru saja ia menerima perlakuan yang sama dari ayahnya, lukanya belum sembuh kini harus menerima luka yang sama.

“Lepas!”

“Gak, minta maaf sama gue, karena lo udah ngatain gue muka dua.”

“Gak akan, emang lo muka dua setan!”

Bina semakin emosi saat mendegar kalimat yang keluar dari mulut Andira, ia semakin kuat menarik rambut Andira.

“Arghh lepas setan!” Andira memekik lebih keras.

Adya yang sedari tadi melihat pertengkaran itu, kini ia tak bisa menahan dirinya lagi, ia bangun dari duduknya dan melangkah menuju Andira.

“Woi, Dya, mau kemana?” tanya Hengkara seraya berteriak, namun diacuhkan oleh Adya.

Saat Bina hendak menarik lebih kuat, tangannya ditahan oleh tangan kekar Adya, dengan sekali hentakan tangan Bina terlepas dari rambut Andira.

“Sakit sialan,” umpat Bina.

“Lo kira gue gak sakit, hah!” Baru saja Andira hendak membalas perlakuan Bina, namun dirinya segera ditahan oleh Adya.

“Udah,” ucap Adya tenang.

“Lo siapa sih ikut campur?” tanya Bina penuh penekanan.

Tidak mau urusannya semakin panjang, Adya memilih untuk tidak menjawab dan fokus kepada Andira.

“Duduk sama gue sama yang lain aja, yuk?” ajaknya dengan lembut.

“Gak! Sakit kepala gue gara-gara dia,” tolak Andira masih emosi.

Tanpa aba-aba Adya meletakkan tangannya di kepala Andira, lalu mengusapnya perlahan.

Andira tertegun, tak hanya Andira, Adya juga tertegun tak percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang.

“Udah gak sakit, kan? Yuk.” Adya membalikkan tubuh Andira. “Yuk, Sha,” lanjutnya mengajak Marsha juga.