#23
Revano mengantar Gema menuju uks, ditemanin oleh beberapa teman Gema tentu saja.
Saat dirinya hendak membawa Gema keluar dari lapangan basket, ia tidak lagi melihat Maudy dan teman-temannya di sana. Revano mengira bahwa Maudy sudah dibawa oleh teman-temannya menuju uks.
Namun ternyata dugaan Revano salah, ia tidak mendapatkan Maudy di uks. Bahkan saat dirinya tiba tidak ada siapa-siapa di sana.
“Vano. Temenin aku,” pinta Gema dengan raut wajah sedih yang ia buat-buatkan.
Revano terdiam sejenak, padahal tadinya ia sudah ada niatan untuk mencari dan menghampiri gadisnya.
Revano tersenyum, lalu melepaskan tangan Gema yang memegang tangannya.
“Di sini dulu, ya, kan ada temen-temen kamu. Aku mau nyusul Maudy dulu,” katanya, lalu tanpa menunggu respon Gema ia segera meninggalkan Gema di sana.
Gema mendecak kesal saat menapatkan respon Revano yang seperti itu.
“Harusnya lebih keras kalian lempar bola ke Maudy tadi,” kesal Gema.
Kecelakaan kecil yang menimpa Maudy di lapangan bola, itu bukan murni kecelakaan, melainkan ulah Gema dan beberapa temannnya. Usaha gadis itu berhasil, namun ia tidak berhasil menahan Revano agar tetap bersamanya.
“Mana bisa, Gem, bisa mati anak orang, bola basket keras, loh,” balas salah satu teman Gema yang masih ada di sana.
“Bodo amat, gue gak peduli.”
“Maudy mana?” tanya Revano ketika dirinya tiba di depan ruang kelas Maudy, yang kebetulan ada beberapa murid laki-laki berdiri di sana.
Mereka menunjuk ke arah Maudy, segera Revano masuk untuk menghampiri Maudy. Benar ada Maudy di sana, Revano sedikit lega melihatnya.
Gadis itu duduk di kursi dengan kepala yang ia tidurkan di atas meja, hanya beralaskan kedua tangannya.
“Dy,” panggil Revano lembut, ketika ia sampai di depan meja Maudy.
Tidak ada respon dari Maudy, melainkan Misel yang kebetulan duduk di samping Maudy. Segera Misel mendongak untuk menatap ke asal suara.
“Mau ngapain lo ke sini?” tanya Misel dengan tatapan sinis dan tajam
Seakan tuli, Revano menghiraukan pertanyaan dari Misel. Revano semakin mendekat untuk melihat keadaan Maudy.
“Ody, ke rumah sakit, ya?” Revano berlutut tepat di depan meja Maudy.
Masih tidak ada respon dari Maudy. Entah gadis itu tidur beneran atau hanya malas menghadapi Revano.
Misel berdecak kesal, lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan yang sedikit kasar, membuat semua mata kini tertuju padanya.
Misel melangkah hingga kini ia berada di samping Revano.
“Bangun, lo.” Misel menarik lengan Revano kasar.
Awalnya Revano malas untuk berhadapan dengan Misel, ia hanya foku kepada Maudy. Sampai akhirnya ia terpancing karena tindakan kasar dari Misel.
Kini keduanya saling berdiri berhadapan, dengan Misel yang memberi tatapan begitu tajam dan mengintimidasi. Berbeda dengan Revano yang terlihat santai.
“Mau lo apa, sih, anjing?” tanya Misel, dengan emosi yang meluap-luap.
Revano hanya diam.
“Sorry to sorry kalo gue toxic. Karena orang macem lo itu butuh dikasarin!”
Revano masih diam, namun tangannya tergepal kuat menandakan ia sudah tersalut emosi.
“Lo butuh dia.” Tangan Misel bergerak menunjuk Maudy, yang masih sama.
“Tapi lo nyakitin dia. Apa maksud lo, gue tanya?”
Misel menarik bibirnya membentuk sebuah seringai. Lalu gadis itu menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tidak paham apa yang ada di pikiran laki-laki yang ada di hadapannya.
“Lo butuh dia karena lo ngerasa sakit, kan? Gue gak tau masalah, lo, tapi gue mau bilang. Di dunia ini bukan cuman lo yang tersakiti, bukan cuman lo! Jadi lo gak usah semena-mena!”
Peringatan dari Misel sama sekali tidak membuat Revano angkat suara.
“Dengan, kan, anjing?”
“Gue bukan anjing,” balas Revano tidak terima saat dirinya dipanggil seperti itu.
Misel tertawa kecil. Akhirnya laki-laki yang ada di hadapannya tidak diam membisu lagi.
“Lo bukan anjing, tapi sikap lo ....” Misel menggantung ucapannya, gadis itu memberi tatapan tajam dan meremehkan kepada Revano.
“Kayak anjing, kayaknya pinteran anjing, deh,” tohok Misel.
Semua murid yang ada di kelas tertawa mendengar serangan demi serangan yang diberi Misel untuk Revano.
“Coba ngomong sekali lagi?” Revano menantang Misel untuk mengulang perkataanya.
Namun Misel adalah Misel, ia tidak akan takut akan apa-apa. “Lo kayak, anj-”
“Udah!”
Ucapan Misel terpotong karena teriakan dari Maudy. Dengan wajah lelahnya, Maudy menatap Misel dan Revano secara bergantian.
“Berisik!” sambungnya lagi.
Revano tersenyum saat melihat Maudy, tanpa ada rasa bersalah ia mendekat untuk mengusap kepala Maudy, tentu saja ditepis dengan kasar oleh Maudy.
“Mana yang sakit? Kepalanya, kan? Kita ke rumah sakit, ya? Jangan di sini,” ucap Revano dengan penuh kekhawatiran.
Tadinya Maudy enggan untuk menatap Revano. Namun kini ia menoleh untuk menatap laki-laki itu.
“Hati aku yang sakit, gak bisa diobatin di rumah sakit, caranya cuman satu ....” Maudy menjeda ucapannya, ia menahan untuk tidak menangis.
“Lo keluar dari sini, Reno!” teriak Maudy beriringan dengan tangisnya.
Revano tertegun, ia tak menyangka Maudy akan semarah itu kepaddanya.
Revano ingin menjelaskan kepada Maudy mengapa bukan dia yang mengantar Maudy, bahkan tidak ada saat Maudy merasa sakit karena terkena bola.
Karena sudah banyak yang membantu Maudy, maka ia harus membantu Gema. Ia yakin Maudy tidak akan mempermasalahkan hal itu, dan Revano akan menjaganya saat dirinya sudah berada di Uks, namun sayangnya Maudy tidak ada di Uks.
“Kamu marah?” Revano bertanya untuk memastikan.
“Lo tuli?” Misel kembali bersuara, lalu kembali berkata, “Lo keluar sebelum gue suruh anak kelas buat nyeret lo, ya!”
Gertakan dari Misel berhasil membuat Revano sedikit takut. Namun Revano tidak terlalu menunjukkan ketakutannya.
Ia malah tersenyum, lalu kembali mencoba untuk mengusap kepala gadisnya, untung saja tiddak ada penolakan kali ini.
“Maafin aku, ya, kalau aku buat kamu sakit. Nanti kita pulang bareng, ya?”