Panglimakun

“Kenapa lo?” tanya Nabil keheranan dengan tingkah Luna.

Luna sedang mengomel di depan telepon genggamnya, setelah mendapatkan pesan dari Jupiter.

Mendengar pertanyaan dari Nabil, Luna berhenti ngomel, lalu ia menoleh ke Nabil.

“Nih,” ucapnya seraya memperlihatkan isi pesan masuk dari Jupiter.

Nabil membaca dengan seksama pesan tersebut, ia sama sekali tidak takut, karena kenyataannya ia dan Luna tidak tunangan sama sekali.

“Udah sih Lun, lagian bagus begitu dia masuk perangkap kan,” balas Nabil tenang.

“Tapi gue kesel Bil!”

“Ck,” decak Nabil.

Tring Tring Tring

Notifikasi pesan masuk dari telepon mereka berbunyi bersahutan secara terus menerus. Luna dan Nabil sedikit kebingungan.

Keduanya kini tengah fokus dengan teleponnya masing-masing, membaca pesan masuk yang tak kunjung berhenti.

“Makrab,” gumam Luna.

Nabil menoleh setelah mendengar gumaman Luna. “Lo mau ikut?” tanya Nabil seraya meletakkan teleponnya kembali di atas meja di depannya.

Luna menggeleng, walaupun ia sangat tertarik dengan acara tersebut, namun melihat kondisinya yang lumpuh mana mungkin ia dapat ikut ke acara itu.

“Gak lah gila lo lihat bahkan buat berdiri aja gue gak bisa,” jawab Luna pasrah.

“Temen-temen lo ikut?” Nabil bertanyalah lagi dan disahut anggukan kepala sebagai jawaban dari Luna.

“Sama—” ujarnya seraya bangkit dari sofa yang ia duduki.

Luna mendadak menjadi bingung, matanya tertuju pada langkah Nabil yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

Nabil mengulurkan tangannya, namun tidak langsung diterima oleh Luna.

“Kita coba lagi,” ucapnya.

Selama Nabil bersama Luna, ia benar-benar bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan kepada Luna. Ia terus membantu Luna berlatih, dimulai dari berlatih berdiri. Walaupun hasilnya nihil, kaki Luna belum kuat untuk melakukan hal itu.

Hari ini untuk kesekian kalinya Nabil melakukan hal itu, ia sangat berharap Luna dapat berdiri secepat mungkin.

“Tadi kan udah,” kata Luna masih belum menerima uluran tangan Nabil.

“Gagal kan? Ya, coba lagi.”

Luna menghela nafas dan mengangguk pasrah. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua telapak tangan Nabil.

Nabil tersenyum, dengan cepat ia menggenggam tangan Luna, dan menyalurkan tenaga agar Luna dapat berdiri.

“Lo coba dulu sendiri.”

Luna mengangguk. Karena kakinya sudah menyentuh lantai, jadi ia hanya perlu untuk mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat berdiri.

“Argh,” erang Luna, percobaan pertama gagal.

Ia mencoba lagi, lagi dan lagi, namun ia tetap gagal. Luna mendongak menatap Nabil, dengan tatapan menyerah ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seakan paham maksud Luna, Nabil mengangguk. “Gue bantu lo tahan ya?”

“Iya.”

Perlahan Nabil menarik tangan Luna sampai tubuh Luna terangkat dari kursi roda.

Nabil terus menarik tubuh Luna sampai posisi Luna menjadi setengah berdiri.

“Luna, bun— owww maaf.”

Mendengar suara Ririn membuat fokus Nabil hilang, tubuh Luna terhuyung mau tak mau Luna harus menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Nabil. Kini posisi mereka seperti pasangan yang sedang berpelukan, hanya saja Nabil sama sekali tidak menautkan tangannya di tubuh Luna.

“Bunda ihhhh,” lirih Luna. “Nabil ini gimana.”

Nabil masih mematung, ia tertegun tiba-tiba saja suasana menjadi terasa canggung.

“Maaf atuh bunda gak tau anak bunda lagi pacaran,” ucap Ririn dengan senyuman jahilnya.

Nabil hanya tersenyum malu mendengar ucapan Ririn, berbeda dengan Luna yang sedang mencak-mencak dan mengomel, namun ia tidak dapat bergerak banyak, karena hal itu akan menjadi ancaman dirinya terjatuh.

“BUNDA KITA GAK PACARAN!” teriak Luna sedikit membuat Nabil terkejut.

“Iya bunda tau, maaf ya bunda ganggu kalian pacaran. Nabil tolong bawa anak gadis bunda ke kamar ya, udah malam, tapi jangan diapa-apain,” titah Ririn seraya tertawa lalu ia meninggalkan keduanya kembali ke dapur.

“Iya bunda,” jawab Nabil.

“No! Jangan berani lo bawa gue ke kamar,” tolak Luna tegas.

Masih dengan posisi yang sama, Nabil menjawab, “Lah, kenapa? Bukannya udah biasa kan?”

Luna mendecak kesal. “Gak mau tau cepet turunin gue ke kursi roda sekarang!”

“Galak banget ibu tiri jelek,” ejek Nabil.

Tiba-tiba saja pikiran untuk menjahili Luna terlintas di otak Nabil. Tanpa memberi aba-aba, Nabil mengangkat tubuh Luna ke atas pundaknya, menggendong Luna seperti karung beras.

“Arghh!” pekik Luna kaget. “Kok? Kok gini!”

“Ya terus mau gimana?” Nabil memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar Luna yang tak jauh dari ruang tamu dimana mereka berada.

“Nabil!” Luna terus menggoyangkan tubuhnya, tangannya ia gunakan untuk memukul-mukul punggung Nabil.

Namun Nabil hanya tertawa dan tidak peduli dengan ocehan dari Luna. Tangan kanannya ia gunakan untuk membuka kenop pintu kamar Luna, ia melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di samping kasur Luna.

Perlahan ia menurunkan tubuh Luna, tak lupa ia menarik kaki Luna, kini posisi Luna menjadi tertidur di atas kasur.

“Lo gila atau gimana Nabil?” Ucap Luna penuh penekanan. “Kek asu,” cibirnya.

Lagi-lagi Nabil hanya tertawa kecil, ia menarik selimut Luna dan menutupi tubuh Luna dengan selimut itu.

“Selamat tidur jelek, galak.” “Nanti tugasnya gue kasih besok ya, sekarang lo tidur aja.”

“Bodo amat,” sinis Luna seraya memicingkan matanya.

“Butuh kecupan—”

“BUNDA!!!”

“IYA ENGGAK!”

#185

“Kenapa lo?” tanya Nabil keheranan dengan tingkah Luna.

Luna sedang mengomel di depan telepon genggamnya, setelah mendapatkan pesan dari Jupiter.

Mendengar pertanyaan dari Nabil, Luna berhenti ngomel, lalu ia menoleh ke Nabil.

“Nih,” ucapnya seraya memperlihatkan isi pesan masuk dari Jupiter.

Nabil membaca dengan seksama pesan tersebut, ia sama sekali tidak takut, karena kenyataannya ia dan Luna tidak tunangan sama sekali.

“Udah sih Lun, lagian bagus begitu dia masuk perangkap kan,” balas Nabil tenang.

“Tapi gue kesel Bil!”

“Ck,” decak Nabil.

Tring Tring Tring

Notifikasi pesan masuk dari telepon mereka berbunyi bersahutan secara terus menerus. Luna dan Nabil sedikit kebingungan.

Keduanya kini tengah fokus dengan teleponnya masing-masing, membaca pesan masuk yang tak kunjung berhenti.

“Makrab,” gumam Luna.

Nabil menoleh setelah mendengar gumaman Luna. “Lo mau ikut?” tanya Nabil seraya meletakkan teleponnya kembali di atas meja di depannya.

Luna menggeleng, walaupun ia sangat tertarik dengan acara tersebut, namun melihat kondisinya yang lumpuh mana mungkin ia dapat ikut ke acara itu.

“Gak lah gila lo lihat bahkan buat berdiri aja gue gak bisa,” jawab Luna pasrah.

“Temen-temen lo ikut?” Nabil bertanyalah lagi dan disahut anggukan kepala sebagai jawaban dari Luna.

“Sama—” ujarnya seraya bangkit dari sofa yang ia duduki.

Luna mendadak menjadi bingung, matanya tertuju pada langkah Nabil yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

Nabil mengulurkan tangannya, namun tidak langsung diterima oleh Luna.

“Kita coba lagi,” ucapnya.

Selama Nabil bersama Luna, ia benar-benar bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan kepada Luna. Ia terus membantu Luna berlatih, dimulai dari berlatih berdiri. Walaupun hasilnya nihil, kaki Luna belum kuat untuk melakukan hal itu.

Hari ini untuk kesekian kalinya Nabil melakukan hal itu, ia sangat berharap Luna dapat berdiri secepat mungkin.

“Tadi kan udah,” kata Luna masih belum menerima uluran tangan Nabil.

“Gagal kan? Ya, coba lagi.”

Luna menghela nafas dan mengangguk pasrah. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua telapak tangan Nabil.

Nabil tersenyum, dengan cepat ia menggenggam tangan Luna, dan menyalurkan tenaga agar Luna dapat berdiri.

“Lo coba dulu sendiri.”

Luna mengangguk. Karena kakinya sudah menyentuh lantai, jadi ia hanya perlu untuk mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat berdiri.

“Argh,” erang Luna, percobaan pertama gagal.

Ia mencoba lagi, lagi dan lagi, namun ia tetap gagal. Luna mendongak menatap Nabil, dengan tatapan menyerah ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seakan paham maksud Luna, Nabil mengangguk. “Gue bantu lo tahan ya?”

“Iya.”

Perlahan Nabil menarik tangan Luna sampai tubuh Luna terangkat dari kursi roda.

Nabil terus menarik tubuh Luna sampai posisi Luna menjadi setengah berdiri.

“Luna, bun— owww maaf.”

Mendengar suara Ririn membuat fokus Nabil hilang, tubuh Luna terhuyung mau tak mau Luna harus menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Nabil. Kini posisi mereka seperti pasangan yang sedang berpelukan, hanya saja Nabil sama sekali tidak menautkan tangannya di tubuh Luna.

“Bunda ihhhh,” lirih Luna. “Nabil ini gimana.”

Nabil masih mematung, ia tertegun tiba-tiba saja suasana menjadi terasa canggung.

“Maaf atuh bunda gak tau anak bunda lagi pacaran,” ucap Ririn dengan senyuman jahilnya.

Nabil hanya tersenyum malu mendengar ucapan Ririn, berbeda dengan Luna yang sedang mencak-mencak dan mengomel, namun ia tidak dapat bergerak banyak, karena hal itu akan menjadi ancaman dirinya terjatuh.

“BUNDA KITA GAK PACARAN!” teriak Luna sedikit membuat Nabil terkejut.

“Iya bunda tau, maaf ya bunda ganggu kalian pacaran. Nabil tolong bawa anak gadis bunda ke kamar ya, udah malam, tapi jangan diapa-apain,” titah Ririn seraya tertawa lalu ia meninggalkan keduanya kembali ke dapur.

“Iya bunda,” jawab Nabil.

“No! Jangan berani lo bawa gue ke kamar,” tolak Luna tegas.

Masih dengan posisi yang sama, Nabil menjawab, “Lah, kenapa? Bukannya udah biasa kan?”

Luna mendecak kesal. “Gak mau tau cepet turunin gue ke kursi roda sekarang!”

“Galak banget ibu tiri jelek,” ejek Nabil.

Tiba-tiba saja pikiran untuk menjahili Luna terlintas di otak Nabil. Tanpa memberi aba-aba, Nabil mengangkat tubuh Luna ke atas pundaknya, menggendong Luna seperti karung beras.

“Arghh!” pekik Luna kaget. “Kok? Kok gini!”

“Ya terus mau gimana?” Nabil memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar Luna yang tak jauh dari ruang tamu dimana mereka berada.

“Nabil!” Luna terus menggoyangkan tubuhnya, tangannya ia gunakan untuk memukul-mukul punggung Nabil.

Namun Nabil hanya tertawa dan tidak peduli dengan ocehan dari Luna. Tangan kanannya ia gunakan untuk membuka kenop pintu kamar Luna, ia melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di samping kasur Luna.

Perlahan ia menurunkan tubuh Luna, tak lupa ia menarik kaki Luna, kini posisi Luna menjadi tertidur di atas kasur.

“Lo gila atau gimana Nabil?” Ucap Luna penuh penekanan. “Kek asu,” cibirnya.

Lagi-lagi Nabil hanya tertawa kecil, ia menarik selimut Luna dan menutupi tubuh Luna dengan selimut itu.

“Selamat tidur jelek, galak.” “Nanti tugasnya gue kasih besok ya, sekarang lo tidur aja.”

“Bodo amat,” sinis Luna seraya memicingkan matanya.

“Butuh kecupan—”

“BUNDA!!!”

“IYA ENGGAK!”

Setelah berurusan dengan Nabil, kini Luna dkk sedang berada di kantin. Namun, Luna merasa sedih karena Aheng dan juga Kinan yang duduk terpisah dengannya.

“Gue gak habis pikir deh sama jalan pikir lo, Lun.” Lucy membuka topik pembicaraan.

Luna yang sedang minum sedikit tersedak mendengar ucapan Lucy.

“Emang ada yang salah?”

Lucy menggeleng. “Gak ada, cuman di luar nalar aja.”

Luna kembali fokus meminum, minuman miliknya. Namun, tiba-tiba ia, dibuat kaget karena ada tangan yang tiba-tiba menaruh dua buah cek di atas meja di depannya.

“Cek, satu nya lima ratus juta.” Suara berat Nabil mengalihkan pandangan Luna.

Suara Nabil sedikit keras, sehingga menarik perhatian seluruh mahasiswa yang ada di kantin, termasuk Kinan dan juga Aheng yang ada di depan Luna.

Luna mendehem, lalu mengambil dua cek tersebut, membuat kondisi kantin sedikit ricuh.

“Ini bisa langsung di cairkan?” tanya Luna.

“Lun,” panggil Lucy khawatir.

Luna menoleh ke belakang memberi kode ke pada Lucy. Karena paham, Lucy dengan segera Lucy melakukan apa yang sudah Luna bicarakan sebelumnya kepada dia.

“Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna mengangguk mantap, lalu ia mengacungkan jempol ke Nabil.

“Sekarang ini punya gue kan?”

“Iya.”

“Dan gue bisa ngegunain uang ini sesuka hati gue kan?”

Nabil menatap Luna dengan tatapan keheranan. “Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna tersenyum lebar. “Akhirnya gue jadi orang orang kaya!” Serunya lalu tertawa.

Seisi kantin berbisik-bisik, dan menatap aneh ke Luna, namun Luna sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Lo, maafin gue kan?”

Luna mengangguk. “Dari awal udah gue maafin, karena gue bukan orang yang akan kabur kayak lo,” sarkas Luna dengan seringainya.

Walaupun di rendahkan, Nabil bernapas lega, setidaknya ia hanya harus meminta uang satu milyar kepada ayahnya tanpa harus dirinya berurusan dengan hukum.

“Tapi—” tangan Luna bergerak mengetuk-ngetuk meja, lalu ia kembali menatap mata Nabil.

“Lo bakalan ngerawat gue, sampe gue bisa jalan lagi kan?” Tanya Luna.

Dengan cepat Nabil mengangguk dengan tegas. “Tentu!” jawabnya.

Luna tersenyum. “Gue, gak mau lo ngerawat gue, karena rasa kasihan,” ucap Luna sedikit keras agar seisi kantin mendengarnya.

Nabil tertegun, hal apa lagi yang akan ia hadapi, pikirnya.

“Maksud lo?”

Luna tertawa meremehkan. “Gue, udah jadi orang kaya Bil, lo gak lupa kan?”

Luna meraih tangan kiri Nabil, lalu ia meletakkan satu cek di telapak tangan Nabil.

“Lima ratus juta, bayaran untuk lo ngerawat gue— kemurahan? Seharusnya sih nyawa di bayar nyawa, tapi karena gue baik jadi gue yang bayar lo deh.” Lagi-lagi Luna tersenyum ke arah Nabil yang hanya diam.

Suara bisikan di kantin semakin ramai, tapi bukan alasan bagi Luna untuk merasa takut.

Lagi-lagi Nabil dibuat diam oleh Luna, sekaligus dibuat malu.

“Oh ya itu bayarannya sampe gue bisa jalan lagi. Seharusnya sih cukup, daripada gue minta nyawa lo kan? Ini gue, baik loh malah gue yang bayar lo.”

Rahang Nabil mengeras, ia mengepalkan tangan kanannya dengan sangat kuat.

“Satu lagi—”

“Lo, dengan mudah menghilangkan bukti dengan duit,” ucap Luna dengan tangan mengangkat satu cek yang masih ada di tangannya.

“Sekarang …. Gue udah jadi ORANG KAYA,” sambungnya menekankan kata orang kaya.

Luna bergerak meraih tangan kanan Nabil, yang mengepal sempurna. Ia, meletakkan satu cek lagi yang tadinya Nabil kasih untuknya.

“Sekarang gue, suruh lo— dengan duit lima ratus juta itu, gue malu lo, cari dan bawa balik bukti cctv yang ngerekam mobil yang nabrak gue,” perintah Luna dengan tegas.

“Maksud lo apa—”

Nabil hendak memprotes, namun langsung di potong oleh Luna.

“Gue gak suruh protes, itu bukan tawaran. TAPI PERINTAH!” bentak Luna menggelegar di kantin.

Luna membalikkan tubuhnya menghadap Lucy. “Udah lo rekam Cy?” tanya Luna.

Lucy mengangguk mantap. “Udah dong!” jawabnya tegas.

Kinan dan Aheng yang sedari tadi hanya menyaksikan aksi Luna, mereka hanya diam dan saling menatap kebingungan.

“Dengan bukti video ini, dan juga saksi anak fakultas hukum dan ekonomi yang ada di kantin, lo gak bisa ngelawan Nabil.”

Nabil tertawa tangannya meremas kuat kedua cek yang ada di tangannya.

“Lo licik ya?” gumam Nabil geram, ia bergerak mendekat Luna.

“Jangan pernah lari ya, karena lo, udah terikat janji sama gue!”

Luna menyuruh agar Lucy mendorong kursi rodanya, beranjak dari sana, kepergian Luna tidak lupa diikuti oleh Kinan dan juga Aheng.

Sebelum jauh Luna, menyuruh Lucy untuk mendorong balik kursi rodanya ke arah Nabil.

Nabil menatap Luna dengan tatapan penuh amarah.

“Mana handphone lo? Kayaknya lo butuh nomor handphone gue deh, soalnya lo nyuruh-nyuruh temen lo kan? Sini gue kasih,” ucap Luna dengan tangan meminta.

Namun tidak ada jawaban dari Nabil, tidak mau menunggu Luna dengan segera mengambil handphone Nabil yang ada di saku celananya.

Ia mengetik nomor handphone miliknya sendiri, dan tidak lupa ia mengetik nomor handphone Nabil, di handphonenya.

Luna meraih tangan kanan Nabil, dan meletakkan handphone Nabil di telapak tangan Nabil.

Melihat punggung Luna yang perlahan menghilang dari hadapannya, Nabil tidak lagi dapat menahan emosinya.

“Arghhhhh!” teriak Nabil seraya menendang meja kantin.

Ia juga memberantakkan piring dan gelas yang ada di meja yang tadinya Luna duduki.

“Anjing! Bangsat!” Umpatnya dengan penuh amarah.

Mata Nabil memerah sempurna, menatap seluruh mahasiswa yang ada di kantin.

“Apa lo lihat-lihat?”

Setelah berurusan dengan Nabil, kini Luna dkk sedang berada di kantin. Namun, Luna merasa sedih karena Aheng dan juga Kinan yang duduk terpisah dengannya.

“Gue gak habis pikir deh sama jalan pikir lo, Lun.” Lucy membuka topik pembicaraan.

Luna yang sedang minum sedikit tersedak mendengar ucapan Lucy.

“Emang ada yang salah?”

Lucy menggeleng. “Gak ada, cuman di luar nalar aja.”

Luna kembali fokus meminum, minuman miliknya. Namun, tiba-tiba ia, dibuat kaget karena ada tangan yang tiba-tiba menaruh dua buah cek di atas meja di depannya.

“Cek, satu nya lima ratus juta.” Suara berat Nabil mengalihkan pandangan Luna.

Suara Nabil sedikit keras, sehingga menarik perhatian seluruh mahasiswa yang ada di kantin, termasuk Kinan dan juga Aheng yang ada di depan Luna.

Luna mendehem, lalu mengambil dua cek tersebut, membuat kondisi kantin sedikit ricuh.

“Ini bisa langsung di cairkan?” tanya Luna.

“Lun,” panggil Lucy khawatir.

Luna menoleh ke belakang memberi kode ke pada Lucy. Karena paham, Lucy dengan segera Lucy melakukan apa yang sudah Luna bicarakan sebelumnya kepada dia.

“Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna mengangguk mantap, lalu ia mengacungkan jempol ke Nabil.

“Sekarang ini punya gue kan?”

“Iya.”

“Dan gue bisa ngegunain uang ini sesuka hati gue kan?”

Nabil menatap Luna dengan tatapan keheranan. “Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna tersenyum lebar. “Akhirnya gue jadi orang orang kaya!” Serunya lalu tertawa.

Seisi kantin berbisik-bisik, dan menatap aneh ke Luna, namun Luna sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Lo, maafin gue kan?”

Luna mengangguk. “Dari awal udah gue maafin, karena gue bukan orang yang akan kabur kayak lo,” sarkas Luna dengan seringainya.

Walaupun di rendahkan, Nabil bernapas lega, setidaknya ia hanya harus meminta uang satu milyar kepada ayahnya tanpa harus dirinya berurusan dengan hukum.

“Tapi—” tangan Luna bergerak mengetuk-ngetuk meja, lalu ia kembali menatap mata Nabil.

“Lo bakalan ngerawat gue, sampe gue bisa jalan lagi kan?” Tanya Luna.

Dengan cepat Nabil mengangguk dengan tegas. “Tentu!” jawabnya.

Luna tersenyum. “Gue, gak mau lo ngerawat gue, karena rasa kasihan,” ucap Luna sedikit keras agar seisi kantin mendengarnya.

Nabil tertegun, hal apa lagi yang akan ia hadapi, pikirnya.

“Maksud lo?”

Luna tertawa meremehkan. “Gue, udah jadi orang kaya Bil, lo gak lupa kan?”

Luna meraih tangan kiri Nabil, lalu ia meletakkan satu cek di telapak tangan Nabil.

“Lima ratus juta, bayaran untuk lo ngerawat gue— kemurahan? Seharusnya sih nyawa di bayar nyawa, tapi karena gue baik jadi gue yang bayar lo deh.” Lagi-lagi Luna tersenyum ke arah Nabil yang hanya diam.

Suara bisikan di kantin semakin ramai, tapi bukan alasan bagi Luna untuk merasa takut.

Lagi-lagi Nabil dibuat diam oleh Luna, sekaligus dibuat malu.

“Oh ya itu bayarannya sampe gue bisa jalan lagi. Seharusnya sih cukup, daripada gue minta nyawa lo kan? Ini gue, baik loh malah gue yang bayar lo.”

Rahang Nabil mengeras, ia mengepalkan tangan kanannya dengan sangat kuat.

“Satu lagi—”

“Lo, dengan mudah menghilangkan bukti dengan duit,” ucap Luna dengan tangan mengangkat satu cek yang masih ada di tangannya.

“Sekarang …. Gue udah jadi ORANG KAYA,” sambungnya menekankan kata orang kaya.

Luna bergerak meraih tangan kanan Nabil, yang mengepal sempurna. Ia, meletakkan satu cek lagi yang tadinya Nabil kasih untuknya.

“Sekarang gue, suruh lo— dengan duit lima ratus juta itu, gue malu lo, cari dan bawa balik bukti cctv yang ngerekam mobil yang nabrak gue,” perintah Luna dengan tegas.

“Maksud lo apa—”

Nabil hendak memprotes, namun langsung di potong oleh Luna.

“Gue gak suruh protes, itu bukan tawaran. TAPI PERINTAH!” bentak Luna menggelegar di kantin.

Luna membalikkan tubuhnya menghadap Lucy. “Udah lo rekam Cy?” tanya Luna.

Lucy mengangguk mantap. “Udah dong!” jawabnya tegas.

Kinan dan Aheng yang sedari tadi hanya menyaksikan aksi Luna, mereka hanya diam dan saling menatap kebingungan.

“Dengan bukti video ini, dan juga saksi anak fakultas hukum dan ekonomi yang ada di kantin, lo gak bisa ngelawan Nabil.”

Nabil tertawa tangannya meremas kuat kedua cek yang ada di tangannya.

“Lo licik ya?” gumam Nabil geram, ia bergerak mendekat Luna.

“Jangan pernah lari ya, karena lo, udah terikat janji sama gue!”

Luna menyuruh agar Lucy mendorong kursi rodanya, beranjak dari sana, kepergian Luna tidak lupa diikuti oleh Kinan dan juga Aheng.

Sebelum jauh Luna, menyuruh Lucy untuk mendorong balik kursi rodanya ke arah Nabil.

Nabil menatap Luna dengan tatapan penuh amarah.

“Mana handphone lo? Kayaknya lo butuh nomor handphone gue deh, soalnya lo nyuruh-nyuruh temen lo kan? Sini gue kasih,” ucap Luna dengan tangan meminta.

Namun tidak ada jawaban dari Nabil, tidak mau menunggu Luna dengan segera mengambil handphone Nabil yang ada di saku celananya.

Ia mengetik nomor handphone miliknya sendiri, dan tidak lupa ia mengetik nomor handphone Nabil, di handphonenya.

Luna meraih tangan kanan Nabil, dan meletakkan handphone Nabil di telapak tangan Nabil.

Melihat punggung Luna yang perlahan menghilang dari hadapannya, Nabil tidak lagi dapat menahan emosinya.

“Arghhhhh!” teriak Nabil seraya menendang meja kantin.

Ia juga memberantakkan piring dan gelas yang ada di meja yang tadinya Luna duduki.

“Anjing! Bangsat!” Umpatnya dengan penuh amarah.

Mata Nabil memerah sempurna, menatap seluruh mahasiswa yang ada di kantin.

“Apa lo lihat-lihat?”

#97

Setelah berurusan dengan Nabil, kini Luna dkk sedang berada di kantin. Namun, Luna merasa sedih karena Aheng dan juga Kinan yang duduk terpisah dengannya.

“Gue gak habis pikir deh sama jalan pikir lo, Lun.” Lucy membuka topik pembicaraan.

Luna yang sedang minum sedikit tersedak mendengar ucapan Lucy.

“Emang ada yang salah?”

Lucy menggeleng. “Gak ada, cuman di luar nalar aja.”

Luna kembali fokus meminum, minuman miliknya. Namun, tiba-tiba ia, dibuat kaget karena ada tangan yang tiba-tiba menaruh dua buah cek di atas meja di depannya.

“Cek, satu nya lima ratus juta.” Suara berat Nabil mengalihkan pandangan Luna.

Suara Nabil sedikit keras, sehingga menarik perhatian seluruh mahasiswa yang ada di kantin, termasuk Kinan dan juga Aheng yang ada di depan Luna.

Luna mendehem, lalu mengambil dua cek tersebut, membuat kondisi kantin sedikit ricuh.

“Ini bisa langsung di cairkan?” tanya Luna.

“Lun,” panggil Lucy khawatir.

Luna menoleh ke belakang memberi kode ke pada Lucy. Karena paham, Lucy dengan segera Lucy melakukan apa yang sudah Luna bicarakan sebelumnya kepada dia.

“Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna mengangguk mantap, lalu ia mengacungkan jempol ke Nabil.

“Sekarang ini punya gue kan?”

“Iya.”

“Dan gue bisa ngegunain uang ini sesuka hati gue kan?”

Nabil menatap Luna dengan tatapan keheranan. “Iya,” jawab Nabil tegas.

Luna tersenyum lebar. “Akhirnya gue jadi orang orang kaya!” Serunya lalu tertawa.

Seisi kantin berbisik-bisik, dan menatap aneh ke Luna, namun Luna sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Lo, maafin gue kan?”

Luna mengangguk. “Dari awal udah gue maafin, karena gue bukan orang yang akan kabur kayak lo,” sarkas Luna dengan seringainya.

Walaupun di rendahkan, Nabil bernapas lega, setidaknya ia hanya harus meminta uang satu milyar kepada ayahnya tanpa harus dirinya berurusan dengan hukum.

“Tapi—” tangan Luna bergerak mengetuk-ngetuk meja, lalu ia kembali menatap mata Nabil.

“Lo bakalan ngerawat gue, sampe gue bisa jalan lagi kan?” Tanya Luna.

Dengan cepat Nabil mengangguk dengan tegas. “Tentu!” jawabnya.

Luna tersenyum. “Gue, gak mau lo ngerawat gue, karena rasa kasihan,” ucap Luna sedikit keras agar seisi kantin mendengarnya.

Nabil tertegun, hal apa lagi yang akan ia hadapi, pikirnya.

“Maksud lo?”

Luna tertawa meremehkan. “Gue, udah jadi orang kaya Bil, lo gak lupa kan?”

Luna meraih tangan kiri Nabil, lalu ia meletakkan satu cek di telapak tangan Nabil.

“Lima ratus juta, bayaran untuk lo ngerawat gue— kemurahan? Seharusnya sih nyawa di bayar nyawa, tapi karena gue baik jadi gue yang bayar lo deh.” Lagi-lagi Luna tersenyum ke arah Nabil yang hanya diam.

Suara bisikan di kantin semakin ramai, tapi bukan alasan bagi Luna untuk merasa takut.

Lagi-lagi Nabil dibuat diam oleh Luna, sekaligus dibuat malu.

“Oh ya itu bayarannya sampe gue bisa jalan lagi. Seharusnya sih cukup, daripada gue minta nyawa lo kan? Ini gue, baik loh malah gue yang bayar lo.”

Rahang Nabil mengeras, ia mengepalkan tangan kanannya dengan sangat kuat.

“Satu lagi—”

“Lo, dengan mudah menghilangkan bukti dengan duit,” ucap Luna dengan tangan mengangkat satu cek yang masih ada di tangannya.

“Sekarang …. Gue udah jadi ORANG KAYA,” sambungnya menekankan kata orang kaya.

Luna bergerak meraih tangan kanan Nabil, yang mengepal sempurna. Ia, meletakkan satu cek lagi yang tadinya Nabil kasih untuknya.

“Sekarang gue, suruh lo— dengan duit lima ratus juta itu, gue malu lo, cari dan bawa balik bukti cctv yang ngerekam mobil yang nabrak gue,” perintah Luna dengan tegas.

“Maksud lo apa—”

Nabil hendak memprotes, namun langsung di potong oleh Luna.

“Gue gak suruh protes, itu bukan tawaran. TAPI PERINTAH!” bentak Luna menggelegar di kantin.

Luna membalikkan tubuhnya menghadap Lucy. “Udah lo rekam Cy?” tanya Luna.

Lucy mengangguk mantap. “Udah dong!” jawabnya tegas.

Kinan dan Aheng yang sedari tadi hanya menyaksikan aksi Luna, mereka hanya diam dan saling menatap kebingungan.

“Dengan bukti video ini, dan juga saksi anak fakultas hukum dan ekonomi yang ada di kantin, lo gak bisa ngelawan Nabil.”

Nabil tertawa tangannya meremas kuat kedua cek yang ada di tangannya.

“Lo licik ya?” gumam Nabil geram, ia bergerak mendekat Luna.

“Jangan pernah lari ya, karena lo, udah terikat janji sama gue!”

Luna menyuruh agar Lucy mendorong kursi rodanya, beranjak dari sana, kepergian Luna tidak lupa diikuti oleh Kinan dan juga Aheng.

Sebelum jauh Luna, menyuruh Lucy untuk mendorong balik kursi rodanya ke arah Nabil.

Nabil menatap Luna dengan tatapan penuh amarah.

“Mana handphone lo? Kayaknya lo butuh nomor handphone gue deh, soalnya lo nyuruh-nyuruh temen lo kan? Sini gue kasih,” ucap Luna dengan tangan meminta.

Namun tidak ada jawaban dari Nabil, tidak mau menunggu Luna dengan segera mengambil handphone Nabil yang ada di saku celananya.

Ia mengetik nomor handphone miliknya sendiri, dan tidak lupa ia mengetik nomor handphone Nabil, di handphonenya.

Luna meraih tangan kanan Nabil, dan meletakkan handphone Nabil di telapak tangan Nabil.

Melihat punggung Luna yang perlahan menghilang dari hadapannya, Nabil tidak lagi dapat menahan emosinya.

“Arghhhhh!” teriak Nabil seraya menendang meja kantin.

Ia juga memberantakkan piring dan gelas yang ada di meja yang tadinya Luna duduki.

“Anjing! Bangsat!” Umpatnya dengan penuh amarah.

Mata Nabil memerah sempurna, menatap seluruh mahasiswa yang ada di kantin.

“Apa lo lihat-lihat?”

Luna sedang di kamar mandi kampus sekarang, setelah berurusan dengan Nadia dan juga pak Rudi, kebetulan dia dan juga ketiga sahabatnya tidak ada kelas lagi.

Maka dari itu Luna minta ditemani oleh Lucy ke kamar mandi.

Namun saat dirinya hendak keluar, samar-samar Luna mendengar suara segerombolan cewek marah-marah.

“Arghhh gue kesel banget sama Luna!”

Luna menaikkan alisnya sebelah, ia mengenal suara itu, suara Nadia pacar Nabil.

Ia tersenyum kecil, lalu berusaha untuk tenang.

“Udah sih Nad, lagian kan lo gak suka sama Nabil, dan lo punya cowo lain kan?”

Luna kaget bukan main mendengar hal itu namun ia masih tenang.

“Iya sih, tapi gue gak terima lah kalo Nabil nanti jatuh cinta sama tuh cewe kampung!”

Luna hendak tertawa namun dengan segera ia menutup mulutnya.

“Gini ya, bokap gue tuh udah sreg banget sama Nabil, dan kalo nanti gue berhasil nikah sama Nabil, harta bokap gue tuh bakalan pindah tangan ke Nabil dan gue!”

“Dan cowo lo gimana?”

“Aurel! Lo lihat aja sekarang, bahkan satu tahun gue selingkuh dari Nabil, dia gak sadar. Yaudah lanjut aja lah.”

“Wait, jangan bilang kalo lo—”

“Lo, kira gue bolak-balik ke luar negeri ngapain? Cowo gue di luar negeri tau!”

Luna tertegun mendengar percakapan Nadia dengan sahabatnya itu. Ia tidak menyangka lagi-lagi ada manusia yang lebih bangsat daripada Aheng.

Tok tok

Lamunan Luna disadarkan oleh ketukan pintu dari luar.

“Lun, udah belum?” tanya Lucy dari luar.

“Udah bentar,” sahut Luna.

Setelah keluar dari kamar mandi, Lucy bertanya, “Lo denger semua?”

Luna mengangguk. “Semua, lo?”

Lucy juga mengangguk sebagai jawaban. “Kayaknya lo punya rencana keren?”

Luna tertawa kecil. “Apa yang bisa dilakukan gadis kampung kayak gue?”

Lucy menatap mata Luna keheranan, lalu keduanya tertawa.

“Pfft, gadis kampung.”


Kini keempat bersahabat itu sedang berjalan hendak menuju parkiran, namun tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang.

“Kin,” panggil Luna.

“Oit.” Kinan menjawab dengan bersemangat.

Tangan Luna menunjuk kearah seseorang, orang itu adalah, Nabil. “Ke sana dulu.”

Kinan menyeringitkan keningnya. “Lo yakin?”

“Iya.”

“Lo gila? Ngapain lagi sih Lun, gue muak sumpah. Please, mending kita fokus nyari bukti untuk mencoblos kan tuh anak ke penjara, karena ayah gue bilang kita tuh butuh bukti juga selain saksi,” protes Kinan menolak untuk mendorong kursi roda Luna ke Kinan.

“Iya Lun, sumpah sih kalo lo nyamperin tuh jelmaan manusia, AHENG MARAH!” timbal Aheng.

Luna tersenyum. “Percaya gue,” ucapnya meyakinkan Kinan dan juga Aheng.

Sedangkan Lucy hanya diam, sepertinya ia tau apa isi kepala Luna.

Tanpa protes lagi Kinan mendorong kursi roda Luna menghampiri Nabil yang berada tidak jauh dari mereka berada.

“Nabil.” Dengan suara sedikit keras Luna memanggil Nabil. “Lo mau gue maafin?”

Nabil yang mendengar suara Luna, dengan cepat menoleh ke arah suara tersebut.

Ia menghela nafas lega, akhirnya ia menemukan keberadaan Luna.

Nabil mengangguk. “Iya, mau!”

“Nanti malam ke rumah gue, bawa duit satu milyar, Cash.”

Luna dan ketiga sahabatnya kini sedang berada di kantin, seperti biasa, sebelum kelas maka mereka akan menghabiskan waktunya dulu di kantin.

Saat keempatnya sedang menikmati makanan yang ada di hadapan mereka, tiba-tiba saja seseorang menumpahkan minuman ke arah Luna..

“Anjing!” Umpat Luna marah, ia menoleh ke asal tumpahan minuman tersebut.

“Ups, maaf gak sengaja,” ucap sang pelaku seperti sedang mengejek.

Luna meraih tisu yang ada di hadapannya, dengan cepat ia membersihkan tumpahan minum yang mengenai baju dan celananya.

Kinan merasa kesal melihat hal tersebut, ia dengan cepat berdiri dan mendorong sang pelaku.

“Lo ada masalah apa sih!” Bentak Kinan.

Sang pelaku tidak memperdulikan teriakan Kinan. Ia masih terfokus pada Luna.

“Lo Luna kan?” Suaranya membuat Luna menoleh.

“Ya,” jawab Luna singkat.

“Kenalin, gue Nadia. PACAR Nabil, cowo yang lo goda dengan alasan dia nabrak lo,” ucapnya seraya menekankan kata pacar.

Luna memejamkan matanya menahan agar tidak emosi, karena seluruh mahasiswa yang ada di kantin kini tertuju pada mereka.

“Lo apa-apaan sih!” ucap Kinan tidak terima.

Nadia tertawa pelan, ia melipat tangan di depan dadanya. “Kalo gatel tuh garuk, jangan caper!”

“Dasar cabe-cabean!”

Luna tidak menjawab, ia masih terdiam dengan rahang yang mengeras.

Namun sekarang Kinan lah yang sedang beradu mulut dengan Nadia.

Luna menarik nafas dalam-dalam, lalu tangannya bergerak memukul meja dengan keras.

Seisi kantin menjadi hening karena hal itu.

Luna mengeluarkan seringai di bibirnya, ia menoleh menatap Nadia.

“Cabe kok teriak cabe?” Luna memberikan senyuman ke Nadia, membuat Nadia tentu saja kesal.

“Gue bukan CABE!” teriak Nadia tidak terima.

Luna mengangguk dan tersenyum. “Oh, lo bukan cabe.” Mata Luna tertuju pada mangkuk cabe yang ada meja.

Ia mengambil mangkuk cabe tersebut dan dengan cepat menuangkannya tepat mengenai baju putih yang Nadia kenakan.

“Aaaaa!” Nadia berteriak kesal. “Apasih anjing!” Nafas Nadia menggebu-gebu karena emosi.

“Ups, maaf sengaja.” Mata Luna menatap mata Nadia mengejek.

Tangan Luna kembali bergerak meraih gelas jus strawberry miliknya.

Byur

Dengan satu lemparan, muka Nadia basah sempurna.

Seisi kantin hanya tertawa dan juga berbisik-bisik.

“Sekarang lo yang cabe-cabean, karena cabe dan juga jus bersatu— maaf ya? Sengaja.”

Nadia berteriak kesal dan marah kepada Luna, ia menyuruh kedua sahabatnya untuk membantu membersihkan mukanya yang di penuhi oleh jus strawberry.

Luna memberi kode kepada Lucy untuk membantunya mendorong kursi roda, beranjak dari sana.

Lucy yang ada di sebelah Kinan dengan cepat menghampiri Luna. Sedangkan Kinan yang berada di hadapan Luna, menatap ke arah Aheng Yang berada di samping Luna, keduanya seperti sedang merencanakan sesuatu.

Saat Lucy mendorong kursi roda Luna menjauh dari sana. Saat itu lah Kinan dan juga Aheng beraksi.

Mereka mengambil gelas jus yang masih penuh, saat keduanya berjalan menuju Nadia dan kedua sahabatnya.

Byurr

Saat itu juga mereka menumpahkan jus itu di kepala kedua sahabat Nadia.

Keduanya menjerit dengan sangat keras, namun hanya di sambut tawa seisi kantin.

“Arghh! Lo sih Nad!”

“Kok gue sih?”

“Lagian ngapain coba cari masalah sama mereka!”

“Arrgh, kesen!”

Nabil melangkahkan kakinya santai di koridor kampus, lebih tepatnya di koridor fakultas kedokteran universitas Neo.

Walaupun jarak dari fakultas teknik ke fakultas kedokteran lumayan jauh, namun Nabil menyempatkan diri untuk menemui seseorang, siapa lagi kalau bukan Nadia, pacarnya selama satu tahun.

Nabil sudah menanyakan dimana keberadaan Nadia, namun anehnya dia tidak mendapatkan Nadia di kelas itu.

“Hai.” Nabil menyapa seseorang yang baru saja lewat di depannya.

“Iya, kak Nabil kan?” seseorang itu terlihat kebingungan.

“Iya, tau Nadia dimana?”

“Oh kak Nadia, tadi aku barusan lihat di sana—” ucapnya seraya menunjuk ke arah ruangan yang tidak jauh dari sana. “UKS kak,” lanjutnya.

“Oh, makasih banyak ya.” Nabil sedikit senyum lalu melangkah menuju uks.

Saat dirinya hendak membuka kenop pintu ruangan itu, tiba-tiba Nabil mengurungkan niatnya.

“Lo sumpah keren banget sih Nad.” Nabil mendengarkan dengan seksama percakapan Nadia dengan teman-temannya.

“Gue gak nyangka aja gitu loh, yang awalnya cuman taruhan, sekarang bertahan sampe satu tahun, gila.”

Mata Nabil membulat sempurna mendengar hal itu, mukanya sesaat menjadi merah padam.

“Yoi, siapa dulu? Nadia!”

“Tapi, lo gak beneran suka kan sama dia?”

Nabil meredakan sedikit amarahnya, lalu mendekatkan telinganya lebih dekat ke arah pintu.

“Of course not! Because—”

“I'm in love with another.”

Rahang Nabil mengeras, tangan yang kanannya meremas kencang bouqet bunga yang hendak ia kasih untuk sang pacar, sebagai hadiah satu tahun anniversary mereka.

“What!”

“Ok, who is this man?”

Rahang Nabil semakin mengeras, kini emosi berhasil menguasai dirinya.

“That is a secret! But, dia lebih sempurna daripada Nabil.”

“Waw.”

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan uks itu, Nabil bisa saja masuk dan marah-marah kepada Nadia, namun itu malah membuatnya semakin menjadi yang terburuk di depan Nadia dan teman-temannya.

“Gue gak nyangka lo bisa nemuin cowo yang lebih sempurna daripada Nabil.”

“Well, gue bahkan bisa menemukan yang lebih. Yaudah, kuy cabut!”

“Kuy!”

Nabil berusaha tenang, ia, melihat satu ruangan yang terbuka tidak jauh dimana dirinya berada, dengan cepat Nabil memasuki ruangan tersebut agar Nadia dkk tidak mengetahui keberadaannya.


“Arghh!” Nabil, mengeram kesal seraya memukul-mukul setir mobilnya.

“Bangsat! Bisa-bisanya gue gak sadar lagi dipermainkan.”

“Arghhh!”

Lagi-lagi tangan Nabil dengan keras memukul setir mobilnya. Dengan emosi yang masih menguasai dirinya, ia menghidupkan mobil dan mengendarai mobil itu dengan emosi.

Brakk

Suara yang berhasil membuat Nabil memberhentikan mobilnya sejenak. Ia, membelalak kaget.

“Anjir,” gumamnya.

Nabil tertegun melihat sekumpulan mahasiswa di parkiran, melalui kaca spion mobilnya.

Karena panik dan takut, tanpa berpikir panjang, Nabil, kembali menancapkan gas mobilnya tanpa turun dari mobil.

“Woi!!!”

“Anjir jangan lari!”

Samar-samar Nabil mendengar suara teriakan cewek yang sedang berlari mengejar mobilnya.

“Fuck!”

“Lo berat— AMPON!” teriak Aheng akibat pukulan keras dari Luna.

“Diem!” sinis Luna.

“Maung—YA JANGAN DI PUKUL LAGI.” tangan Aheng bergerak melindungi dirinya dari serangan Luna.

“Lagian lo sih Heng,” ucap Lucy yang baru saja keluar dari mobil.

Aheng baru mau membuka mulut, namun dirinya sudah dihadiahkan tatapan maut dari Luna.

“Makasih ya Guys, akhirnya gue ngampus lagi,” ucap Luna seraya memberikan senyum manis kepada dua sahabatnya.

“AAAAAAAA LUCY!” suara teriakan yang sangat familiar di telinga mereka, siapa lagi kalau bukan Kinan.

Kinan yang baru saja sampai di kampus dengan cepat berlari memeluk Lucy.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaa— Asu sakit.” umpat Kinan karena Lucy menoyor kepalanya.

“Masih pagi jangan teriak, simpan tenaga lo,” ucap Lucy seraya menatap Kinan dengan tatapan keheranan.

“Biarin, gue gak pernah KEHABISAN TENAGA!” jawabnya, seraya menekankan kata KEHABISAN TENAGA.

Luna menggeleng pelan sambil tertawa melihat tingkah aneh sahabatnya di pagi hari.

Saat matanya berkontak langsung dengan mata Kinan, dengan cepat Luna menghindar.

“AAAAAAAAAA Luna!”

Telat, Luna menjadi sasaran suara lumba-lumba Kinan selanjutnya.

Kinan beralih memeluk Luna dengan sangat erat, membuat Luna sedikit kesusahan untuk bernapas.

“Sakit!” ringis Luna pelan.

“Hehehe.” Kinan hanya membalas dengan cengengesan.

“Welcome back sayang!”

“Makasih.”

“Udah ah gas ke kantin!” seru Aheng karena capek sedari tadi hanya berdiri di sana.

Kinan melangkahkan ke belakang kursi roda Luna. “Kuy, gas ngengg!” Luna terperanjat kaget karena Kinan yang tiba-tiba mendorong kursi rodanya dengan sangat kencang.

“Kinan!” tegas Luna, yang hanya di balas tawa tak bersalah oleh Kinan.

“Kawan lo,” ucap Lucy yang ada di belakang Kinan dan Luna.

“Lo lah,” balas Aheng.

Keduanya saling bertatapan, lalu tertawa kencang.


Kinan tiba-tiba saja berhenti mendorong kursi roda Luna, yang tadinya mukanya sumringah tiba-tiba saja menjadi kecut.

Begitu juga dengan Luna, ia menghela nafas panjang saat melihat orang yang ada di depannya sekarang.

“Hai,” sapa Nabil.

Orang yang membuat keadaan seketika menjadi kacau.

Lucy dan Aheng juga dengan segera menghampiri, Kinan dan juga Luna.

“Hai,” balas Luna dengan lembut.

Bukan dengan maksud apa-apa, di sana keadaannya cukup ramai, Luna hanya ingin menjaga image nya sebagai adek tingkat Nabil.

“Kenapa ya kak?” tanya Luna.

Nabil mengerutkan keningnya. “Kak?” tanyanya kebingungan.

“Ya, kak, ada yang salah?”

“Kenapa lo manggil gue kak?”

Luna tertawa kecil, lalu ia memutar bola matanya malas.

“Lo, kating gue, ada yang salah saat adik tingkat manggil katingnya kak?”

“Awas dong kak, kita mau ke kantin laper,” ucap Kinan ogah-ogahan.

“Sebentar.” Nabil menahan langkah Kinan yang sedang berusaha mendorong kembali kursi roda Luna.

“Gue, mau minta maaf.” Nabil kembali memohon kepada Luna.

Luna mendecak kesal, ia sudah muak dengan kalimat itu, kalimat yang terus-menerus ia dengar dari mulut Nabil.

“Gue—”

“Gue, maafin Lo, puas?” tohok Luna dengan tatapan sinis.

“Awas.”

Luna memberi kode agar Kinan kembali mendorong kursi rodanya, namun lagi-lagi Nabil menahan mereka.

Lucy yang sudah muak melihat ini semua, ia melangkah maju menghampiri Nabil. Tanpa takut Luna menarik tas yang Nabil kenakan.

“Jangan cari masalah sama kita— karena lo tau, kita gak akan pernah menang sama lo!” hardik Lucy.

“Gih balik, Fakultas teknik di seberang, bukan di sini!”

Lucy memberikan tatapan menantang, tidak lupa melipat kedua tangannya di depan dada. “Kayaknya lo suka banget deh sama fakultas kita, pas waktu kejadian aja kenapa lo ada di parkiran kita? Bukannya di fakultas teknik ada parkirannya sendiri ya?”

Nabil hanya diam, ia menatap mata Lucy, dengan tatapan tak kalah tajam.

Memang benar apa yang dibilang oleh Lucy, namun pada saat itu ia ingin menjemput Nadia yang kebetulan ada di sini.

“Tapi karena itu sih lo mudah ketahuan, karena anak fakultas kita gak ada yang bawa Pajero ke kampus, cuman anak teknik yang gayanya selangit!” sindir Lucy dengan seringai di bibirnya.

“Gih, jangan gangguin kita— kita sadar diri, gak selevel lo!”

Lucy melangkahkan kakinya melewati Nabil, ia sengaja menabrak tubuh Nabil dengan tubuhnya.

“Yuk guys,” ajak Lucy kepada ketiga sahabatnya.

Sedari tadi pandangan mahasiswa yang ada di sana, terfokus kepada mereka. Nabil menatap satu-satu ke arah mereka, membuat mereka seakan-akan tidak melihat kejadian tadi.

“Fuck,” umpat Nabil pelan.

“Hai, gue boleh nanya gak.” Nabil menahan sekumpulan mahasiswi yang lewat di depannya.

“Ya boleh,” jawab salah satu dari mereka.

“Tau gak mereka jurusan apa?” Tanya Nabil seraya menunjukkan foto Luna dan ketiga sahabatnya.

“Gak tau, tapi setau gue Lucy sama Kinan anak fakultas hukum, terus Luna sama Aheng anak fakultas ekonomi, jurusan—” cewek itu menatap Nabil.

“Lo kak Nabil? Yang nabrak Luna?”

“Kata gue mending lo jangan berurusan sama mereka deh kak— Mereka licik,” ucapnya memperingatkan Nabil, lalu meninggalkan Nabil sendirian di sana.

Rahang Nabil kembali mengeras, ia benar-benar emosi sekarang. Kalau saja bukan karena salahnya, Nabil sudah menghabisi Luna dkk.

#. 62

Nabil melangkahkan kakinya santai di koridor kampus, lebih tepatnya di koridor fakultas kedokteran universitas Neo.

Walaupun jarak dari fakultas teknik ke fakultas kedokteran lumayan jauh, namun Nabil menyempatkan diri untuk menemui seseorang, siapa lagi kalau bukan Nadia, pacarnya selama satu tahun.

Nabil sudah menanyakan dimana keberadaan Nadia, namun anehnya dia tidak mendapatkan Nadia di kelas itu.

“Hai.” Nabil menyapa seseorang yang baru saja lewat di depannya.

“Iya, kak Nabil kan?” seseorang itu terlihat kebingungan.

“Iya, tau Nadia dimana?”

“Oh kak Nadia, tadi aku barusan lihat di sana—” ucapnya seraya menunjuk ke arah ruangan yang tidak jauh dari sana. “UKS kak,” lanjutnya.

“Oh, makasih banyak ya.” Nabil sedikit senyum lalu melangkah menuju uks.

Saat dirinya hendak membuka kenop pintu ruangan itu, tiba-tiba Nabil mengurungkan niatnya.

“Lo sumpah keren banget sih Nad.” Nabil mendengarkan dengan seksama percakapan Nadia dengan teman-temannya.

“Gue gak nyangka aja gitu loh, yang awalnya cuman taruhan, sekarang bertahan sampe satu tahun, gila.”

Mata Nabil membulat sempurna mendengar hal itu, mukanya sesaat menjadi merah padam.

“Yoi, siapa dulu? Nadia!”

“Tapi, lo gak beneran suka kan sama dia?”

Nabil meredakan sedikit amarahnya, lalu mendekatkan telinganya lebih dekat ke arah pintu.

“Of course not! Because—”

“I'm in love with another.”

Rahang Nabil mengeras, tangan yang kanannya meremas kencang bouqet bunga yang hendak ia kasih untuk sang pacar, sebagai hadiah satu tahun anniversary mereka.

“What!”

“Ok, who is this man?”

Rahang Nabil semakin mengeras, kini emosi berhasil menguasai dirinya.

“That is a secret! But, dia lebih sempurna daripada Nabil.”

“Waw.”

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan uks itu, Nabil bisa saja masuk dan marah-marah kepada Nadia, namun itu malah membuatnya semakin menjadi yang terburuk di depan Nadia dan teman-temannya.

“Gue gak nyangka lo bisa nemuin cowo yang lebih sempurna daripada Nabil.”

“Well, gue bahkan bisa menemukan yang lebih. Yaudah, kuy cabut!”

“Kuy!”

Nabil berusaha tenang, ia, melihat satu ruangan yang terbuka tidak jauh dimana dirinya berada, dengan cepat Nabil memasuki ruangan tersebut agar Nadia dkk tidak mengetahui keberadaannya.


“Arghh!” Nabil, mengeram kesal seraya memukul-mukul setir mobilnya.

“Bangsat! Bisa-bisanya gue gak sadar lagi dipermainkan.”

“Arghhh!”

Lagi-lagi tangan Nabil dengan keras memukul setir mobilnya. Dengan emosi yang masih menguasai dirinya, ia menghidupkan mobil dan mengendarai mobil itu dengan emosi.

Brakk

Suara yang berhasil membuat Nabil memberhentikan mobilnya sejenak. Ia, membelalak kaget.

“Anjir,” gumamnya.

Nabil tertegun melihat sekumpulan mahasiswa di parkiran, melalui kaca spion mobilnya.

Karena panik dan takut, tanpa berpikir panjang, Nabil, kembali menancapkan gas mobilnya tanpa turun dari mobil.

“Woi!!!”

“Anjir jangan lari!”

Samar-samar Nabil mendengar suara teriakan cewek yang sedang berlari mengejar mobilnya.

“Fuck!”